Salah satu impian saya sedari kecil adalah dapat menginjakkan kaki di salah satu wilayah paling barat Indonesia, di Kilometer Nol, Kota Sabang, Provinsi Aceh.
Alhamdulillah impian saya ini pun terwujud di November 2023 lalu. Lebih berkesannya lagi perjalanan saya ke Kota Sabang juga bersamaan dengan misi mengajar kami ke Aceh mewakili grup Pertamina yang akan saya ceritakan di artikel lainnya.
Sekilas Tentang Kota Sabang
Kota Sabang faktanya benar adalah kota paling barat di Indonesia, namun banyak yang masih keliru bahwa Pulau Weh yang merupakan bagian Kota Sabang adalah pulau paling barat di Indonesia karena Monumen Kilometer Nol berada di Pulau Weh yang termasuk bagian Kota Sabang.
Padahal Pulau Benggala yang merupakan pulau tidak berpenghuni dan menjadi bagian Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh secara geografis terletak lebih barat dari Pulau Weh, namun mungkin karena lebih populer dan dimasukkan dalam potongan lirik dari Sabang sampai Merauke, maka Pulau Weh yang identik dengan Sabang dianggap juga sebagai pulau paling barat.
Kota Sabang sendiri secara geografis terdiri dari lima buah pulau utama yaitu Pulau Weh yang merupakan pulau terbesar dan mejadi pusat pemerintahan serta bisnis dari Kota Sabang, selanjutnya adalah Pulau Rubiah, Pulau Seulako, Pulau Klah dan Pulau Rondo.
Kota Sabang secara administratif pemerintahan terdiri dari dua kecamatan dan 18 desa atau kelurahan, dengan jumlah penduduk sekitar 35 ribuan jiwa.
Perjalanan ke Pulau Weh, Kota Sabang
Saya bersama tiga rekan sekantor saya berkesempatan untuk menjadi perwakilan kantor kami untuk mengajar di salah satu SD di Aceh Besar dalam acara Pertamina Energi Negeri 6.0.
Kami hadir di Aceh dua hari sebelum acara untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan tentunya mengeksplorasi keindahahan alam, budaya dan kulinernya.
Salah satu tujuan utama kami adalah mengunjungi Pulau Weh yang menjaid pusat pemerintahan dan kehidupan sosial di Kota Sabang.
Sehari sebelum berangkat ke Pulau Weh, setelah berwisata kuliner di Kota Banda Aceh, kami sengaja datang ke Pelabuhan Ulee Lheue yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota.
Kami sengaja ke sana untuk mengecek kondisi dan menanyakan ke petugas tentang cuaca serta izin perjalanan dengan Kapal Feri menuju Pulau Weh. Hal ini kami lakukan karena menurut salah satu keluarga dari rekan sekantor saya yang asli Lhokseumawe bahwa jika cuaca buruk penyeberangan ke Pulau Weh bisa saja ditunda ataupun dibatalkan dami alasan keselamatan.
Sebelum ke pelabuhan kami sudah mengecek ramalan cuaca untuk keesokan harinya, di ramalan cuaca terlihata bahwa cuaca cukup cerah di daerah Kota Sabang dan Banda Aceh, namun akan turun hujan di siang dan sore hari. Hal ini membuat kami cukup khawatir apakah penyeberangan diizinkan oleh syahbandar atau tidak.
Alhamdulillah ketika kami ke pelabuhan disampaikan bahwa beberapa hari terakhir cuaca cukup kondisif dan tidak ada informasi pembatalan jadwal kapal ke Pulau Weh.
Kami juga langsung membeli tiket kapal cepat ke Pulauh Weh di loket di Pelabuhan Ulee Lheue untuk keesokan harinya dengan harga tiket eksekutif Rp100.000,-/orang. Pembelian tiket kapal cepat juga bisa dilakukan melalui website, whatsapp, bahkan aplikasi terkait.
Kami memilih jadwal kapal cepat paling pagi yaitu pukul 08.00 karena kami merencanakan untuk tidak menginap dan hanya sampai sore saja mengekplorasi Kota Sabang khususnya Pulau Weh untuk selanjutnya kembali ke Banda Aceh.
Setelah boarding menuju ke kapal, di sisi samping jalur masuk kapal ada beberapa pedagang yang menjajakan sejumlah penganan tradisional, buah potong dan minuman. Saya sempat membeli nasi kuning sebagai sarapan saya selama perjalanan.
Di kapal cepat yang kami naiki ombak relatif tenang meski sempat hujan rintik sempat turun. Di dalam kapal kami bertemu banyak pelancong dalam negeri bahkan luar negeri.
Ada satu rombongan anak muda dengan gaya yang cukup nyentrik dengan riuhnya bercakap-cakap di dalam kapal. Saya menduga mereka adalah pelancong asal Malaysia karena bahasa Melayu yang mereka gunakan.
Lucunya beberapa dari mereka mencoba berinteraksi dengan Bahasa gaul anak jaksel, namun alih-alih terdengar gaul justru terdengar "cringe" dan agak aneh dengan logat melayunya. Saya sampai menahan gelak tawa ketika mereka bercakap-cakap.
Saya membayangkan jika kita warga +62 ini sedang melancong ke negara lain dan berusaha bercakap-cakap dengan bahasa lokalnya, namun dengan logat missal sumatera, jawa ataupun daerah timur, mungkin saja warga lokal merasa percakapan warga +62 terdengar aneh.
Menjejakkan Kaki ke Pulauh Weh, Kota Sabang
45 menit perjalanan di laut tak terasa, sampailah kami di Pelabuhan Balohan. Kesan pertama yang tampak adalah gedung pelabuhannya cukup megah untuk sekelas pelabuhan kecil, namun sayangnya masih banyak sampah berserakan di sana sini.
Di pelabuhan kita akan bertemu dengan anak-anak yang berenang menantikan lemparan uang-uang recehan dari para penumpang kapal. Mereka memamerkan keahlian mereka berenang tanpa bantuan alat bantu di bibir dermaga demi memburu uang recehan yang diberikan oleh para pengunjung.
Meski berbahaya, apalagi tempat mereka berenang tidak jauh dari mesin atau baling-baling kapal, namun anak-anak Sabang ini tampaknya tetap bersemangat sekadar untuk menambah uang jajan.
Sesampainya di Pelabuhan Balongan, Sabang kami melihat sebuah dermaga yang cukup megah dan cantik, meski aktivitas di dalam dermaga tentunya tidak seramai di Pelabuhan Merak atau Bakauheni penghubung Pulau Sumtra dan Pulau Jawa.
Di sana kami sudah dijemput oleh pengemudi mobil sewaan yang sudah rekan saya pesan sebelumnya. Tidak ada angkutan umum dari pelabuhan menuju area Kilometer 0 di Pulau Weh ini atau ke tempat wisata utama lainnya. Ongkos mobil sewaan ini sekitar 300ribu, diluar tip untuk perjalanan pulang pergi dari pelabuhan menuju area Kilometer Nol.
Perjalanan ke Monumen Kilometer Nol dari pelabuhan membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Selama perjalanan kami melihat di samping kiri dan kanan yang dipenuhi dengan hutan hujan tropis diselingi dengan rumah-rumah warga dengan topografi menanjak. Di beberapa tempat juga terlihat gugusan pulau yang menjadi bagian Kota Sabang yang cantik.
Oleh bapak pengemudi kami diceritakan juga berbagai hal tentang Kota Sabang dan sekitarnya. Dari legenda Danau Aneuk Laot yang ada di tengah Pulau Weh yang menjadi sumber utama air tawar masyarakat Kota Sabang, sampai dengan cerita tentang Pulau Klah yang sempat menjadi pusat perjudian tidak hanya di Indonesia, namun juga di Asia pada masa dahulu. Ya, rekan-rekan tidak salah baca, benar dahulu sebelum hukum Syariah diterapkan di seluruh Aceh, justru salah satu bagian Aceh menjadi pusat perjudian kelas dunia.
Akhirnya Menjejakkan Kaki di Kilometer NolÂ
45 menit perjalanan menuju Kilometer Nol di Pulau Weh pun tidak terasa dengan berbagai cerita dari Pak Supir tentang Kota Sabang. Sesampainya di Kawasan wisata ini kami melihat juga banyak wisatawan lokal yang berfoto dan mengabadikan momen mereka da di wilayah paling ujung barat Indonesia, termasuk saya dan rekan-rekan saya.
Kami juga tidak lupa berbelanja buah tangan sampai mencetak sertifikat dengan nama kami yang ditandatangani oleh Walikota Sabang yang menerangkan bahwa secara resmi kami sudah pernah mengunjungi Monumen Kilometer Nol Kota Sabang ini.
Ada cerita unik ketika kami ingin mencetak sertifikat dari salah penjual buah tangan di sana, dikarenakan printer yang dioperasikan oleh penjual tersebut error dan tidak dapat mencetak tulisan di blanko sertifikatnya.
Beliau menyampaikan biasanya yang membantunya untuk memperbaiki printer adalah anaknya, namun karena anakany sedangn kuliah dan jauh, beliau kewalahan untuk memperbaikinya, belum lagi ternyata pesanan sertifikat semakin banyak berdatangan.
Alhasil, saya dan rekan-rekan saya membantu bapak tersebut untuk memperbaiki printernya dengan mengecek setting computer, memindahkan colokan kabel printer ke beberapa terminal listrik. Setidaknya hampir 1 jam kami membantu Bapak tersebut hingga printernya kembali beroperasi.
Di Kawasan Monumen Kilometer Nol kami menghabiskan sekitar 3 jam untuk berkeliling dan berrfoto serta berbelanja di area tersebut.
Setelahnya dalam perjalanan pulang ke Pelabuhan Balohan kami menyempatkan untuk megunjungi Pantai Rubiah dnegan pasir putihnya. Kami sempat berfoto-foto dan membeli buah-buah segar yang dijajakan di sepanjang bibir pantai. Kami tidak memiliki cukup waktu untuk menyeberang ke Pulau Rubiah yang terkenal dengan spot snorkeling-nya.
Karena sudah lewat tengah hari, kami pun mencari warung makan dengan cita rasa melayu khas Sabang yang kental akan makanan bahari dan bumbu khasnya. Supir kami pun mengantarkan kami ke salah satu Rumah Makan paling terkenal di Kota Sabang yaitu Rumah Makan (RM) Kencana.
Menu RM Kencana didominasi dengan masakan Melayu dengan kuah berbumbu yang kental khas Aceh. ayam goreng, gulai cumi, ikan bakar, sayur lodeh, gulai kepala kakap, udang goreng, urap, ikan bilis dan lain sebagainya. Citarasanya sangat cocok dengan lidah saya yang keturunan Sumatra ini. Pedas, gurih, teksturnya pun sangat beragam. Di sini juga ada es timun dan es pepaya muda yang menyegarkan dipadu dengan cincau dan sirup merah. Bagi para pelancong jangan lupa untuk mampir ke rumah makan ini.
Setelah kenyang menikmati makanan di RM Kencana kami pun langsung menuju pelabuhan untuk kembali menaiki kapal cepat menyeberang ke Banda Aceh.
Di perjalanan pulang karena cukup lelah, kami pun mengistirahatkan kaki dan kepala kami di ruang penumpang berAC sambil sesekali mata tertutup karena mengantuk sambil tersenyum memandangi foto-foto kami di Pulau Sabang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H