Just Sharing....
Sari seorang pekerja kantoran. Usianya masuk kategori Gen Z. Enam bulan lalu Sari mengajukan kredit paylater.Â
Tiga bulan pertama lancar. Tapi tiga bulan terakhir sampai dengan closing sistem per 31 Agustus 2024 oustanding tidak berkurang. Yang bertambah malah denda keterlambatanÂ
"Tak terhubung. Nomor sudah terblokir. Alamat kost sudah pindah," demikian laporan hasil penanganan akun Sari.
Namun pegawai tak habis akal. Bila tak ketemu di kontrakkan, mengapa tak coba di cari ke alamat di E KTP. Siapa tahu pihak keluarga bisa memberi info dimana kini si nasabah berdomisili.Â
Kedatangan pegawai disambut orang tua nasabah yang tak tau apa -apa terkait kredit anak mereka. Bahkan terkejut manakala diinfokan besar kewajiban cicilan yang belum terbayar.Â
Mereka juga tak paham mengapa nomor HP Sari yang terdaftar di sistem tak sama dengan nomor HP yang digunakan tuk komunikasi sehari-hari di rumah. Pegawai kemudian hanya menitipkan pesan lalu pulang.Â
Besoknya Sari komplen via chat WA. Tak terima gara -gara kedatangan pegawai ke rumahnya bikin bapak nya masuk UGD (Unit Gawat Darurat).Â
Tekanan darahnya naik ketika tau anaknya punya hutang di perusahaan pembiayaan.Â
Siapa yang harus disalahkan? Pegawai yang mencari nasabah ke rumahnya atau kah Sari yang tak pernah menginfokan terkait kreditnya pada keluarganya.Â
Dan mengapa pula nasabah memutus komunikasi selama tiga bulan dengan maksud agar tak dihubungi pihak pembiayaan padahal kewajiban hutang juga tak dilunasi.Â
Menangani akun - akun gagal bayar memerlukan ekstra kesabaran, ekstra kehati-hatian selain teknik negoisasi.Â
Ini bukan soal nasabah tak punya kapasitas finansial, tapi lebih banyak kompleksitas masalah yang ditemukan di lapangan akibat dari kontrak tertunggak.Â
Salah satunya perihal nasabah tak pernah memberitahu pada keluarga inti terkait keputusan kredit.Â
Keluarga inti adalah siapa-siapa yang tercantum dalam satu Kartu Keluarga dengan debitur. Bisa orang tua, suami/istri dan saudara kandung. Atau bisa juga saudara kandung yang sudah menikah dan beda KK.Â
Sepintas terasa sangat merepotkan. Ribet. Masa mau kredit ini kredit itu harus info dulu ke keluarga karena ada surat SPP (Surat Persetujuan Penjamin) yang mesti dilampirkan.Â
Lha yang bayar saya kok, bukan mereka. Mungkin kurang lebih seperti itu yang ada di benak debitur. Bagaimana andai mereka berkeberatan dan tak mengizinkan, ambyar dah tak bisa kredit.Â
Beraneka cara kemudian dipikirkan nasabah. Misalnya memalsukan tanda tangan penjamin atau menyatakan bahwa ini sudah sepengetahuan pasangan.Â
Perilaku semacam ini berpotensi konflik internal di keluarga bila suatu saat diketahui.Â
Seperti pada kisah Sari di atas. Demikian juga yang terjadi pada Ibu Mega(nama samaran), seorang nasabah lain.
Si suami tak tahu-menahu ketika Bu Mega kredit iPhone 13 buat anak mereka padahal suaminya sudah beri uang 3 juta tuk membeli gawai di kisaran harga segitu.Â
Oleh Bu Mega uang 3 juta itu dijadikan DP (uang muka). Rencana awal Bu Mega yang akan mencicil tiap bulan tanpa diketahui suami dari usaha warung yang dikelola sendiri di rumahnya.
Sialnya Bu Mega lupa bila menunggak lebih dari sebulan sudah pasti nama dan alamat debitur akan masuk daftar penanganan akun -akun gagal bayar.Â
Cepat atau lambat, pegawai akan datang ke alamat nasabah tuk mengingatkan kewajiban angsuran.Â
Malangnya lagi, bukan Bu Mega yang ada di rumah, tapi suaminya yang menyambut. Dan endingnya di hadapan pegawai, Bu Mega didamprat habis-habisan.Â
Dua jam setelah pegawai tinggalkan rumah nasabah, di sistem sudah terbayar.Â
Mengajukan kredit tanpa sepengetahuan penjamin, sudah siapkah dengan risiko?
Bisnis pembiayaan kredit adalah salah satu bisnis yang berisiko.Â
Namun melihat realita dan kondisi di bangsa sendiri, warga Indonesia terutama kaum menengah adalah market terbesar dengan risiko yang sama besarnya.Â
Risiko bagi perusahaan pemberi kredit minimum ada dua risiko.Â
Pertama, risiko debitur menunggak bayar angsuran.Kian naik angka NPL atau NPF menjadi lampu kuning yang harus diwaspadai. Itu gunanya Divisi Collection atau Divisi Recovery di semua lembaga kredit.Â
Kedua, seandainya pun unit kredit ditarik (disita) belum tentu juga cepat terjual. Kalau pun bisa dilelang, belum tentu juga nilai pelelangan menutupi sisa outstanding piutang.
Nasabah gagal bayar juga punya potensi risiko. Pertama, potensi ditolak di lembaga kredit yang terhubung dengan penilain skoring di SLIK nya OJK.Â
Padahal kaum menengah di republik ini tak bisa lepas dari barang kredit (rumah KPR, gawai, modal usaha, kendaraan, dan lain -lainnya).Â
Kedua, terganggu secara mental dan psikologis. Didatangi ke alamat nasabah bagi sebagian orang rasanya malu terhadap tetangga atau keluarga besar.Â
Di satu sisi, itu adalah SOP nya pihak pemberi kredit mewajibkan karyawan tuk berkunjung.Â
Ketiga, sejumlah perusahaan di Indonesia, mewajibkan calon pelamar tak memiliki hutang piutang dengan lembaga kredit mana pun lewat skrinning SLIK dengan memasukkan nomor E KTP calon karyawan.
Menghadapi risiko -risiko yang berdampak baik pada pihak pemberi kredit dan debitur, salah satunya cara antisipasi adalah adanya surat persetujuan penjamin manakala debitur hendak ajukan kredit.Â
Penjamin pada debitur yang sudah menikah, adalah pasangannya. Bila pengaju adalah istri, maka penjamin adalah suami. Bagi yang belum menikah, biasanya orang tua atau saudara debitur.Â
Penjamin adalah seorang dalam keluarga inti yang mengetahui adanya akad kredit atas nama debitur dengan lembaga kredit.Â
Konfirmasi dibuktikan adanya tanda tangan penjamin dalam dokumen akad kredit atau bisa juga pernyataan debitur bahwa sudah sepengetahuan seorang yang dijadikan penjamin.Â
Lalu apa yang menyebabkan penjamin tak mengetahui adanya akad kredit debitur ?Â
Sejumlah hal di bawah ini bisa jadi penyebabnya :Â
1. Pemalsuan oleh debitur atau pemberian informasi yang salah.Â
Lazim nya tanda tangan penjamin dan denitur dilakukan di hadapan pegawai.Â
Namun seiring berkembang dan tumbuhnya diferensiasi produk pinjaman dan digitalisasi, surat SPP yang sudah di tanda tangan dikirim via aplikasi karena tak ada tatap muka langsung. Imi jadi celah tuk debitur mengelabui.Â
2. Tergantung produk pembiayaan, tergantung ada agunan atau tanpa agunan.Â
Pada kredit dengan agunan misalnya kendaraan , rumah, tanah, dan sebagainya, biasanya wajib di tanda tangani debitur dan penjaminnya di depan pegawai.Â
Akan sedikit berbeda bila kredit nya kartu kredit, paylater, gawai, barang barang elektronik, alat olahraga dan lainnya.Â
Tak ada agunan seperti BPKB atau SHM (Sertifikat Hak Milik) sehingga opsi nya bisa perlu tanda tangan penjamin atau cukup surat pernyataan yang ditandatangani debitur sendiri.Â
3. Kontrak atas nama.Â
Kerap ditemui beberapa kontrak kredit debitur sendiri sukarela menjadi debitur palsu tapi pengguna unit kredit bukan debitur. Dengan begitu debitur menghindari agar tak diketahui keluarga inti.Â
4. Keinginan nasabah sendiri.Â
Secara umum syarat umur calon nasabah minimal berusia 21 tahun ke atas. Dengan begitu wajar bila banyak orang muda Gen Z atau milenial adalah market terbesar pembiayaan.Â
Tipikal kategori kisaran usia seperti ini ingin mandiri secara finansial dengan tak ingin bergantung pada keluarga atau orang lain. .
Bisa cari kerja sendiri, cari uang sendiri dan bayar kredit sendiri. Inilah kadang yang bikin mereka tak ingin diketahui keluarga inti.
Ingin membuktikan bahwa mereka bisa memiliki sesuatu meskipun itu dengan cara kredit.Â
Potensi risiko yang bisa dialami debitur pada kontrak-kontrak tanpa sepengetahuan penjamin :Â
1. Konflik internal
Seperti pada kisah Bu Mega di atas. Bisa ribut antara anak dan orang tua, antara kakak dan adik, atau antara suami dan istri.Â
2. Berdampak pada kesehatan jiwa dan fisik dari orang -orang dalam keluarga inti.Â
Selama lancar tidak masalah. Namun berpotensi bahaya dalam tanda petik saat nasabah menunggak lalu diketahui keluarga inti saat pegawai berkunjung.Â
Seperti pada kisah Sari di atas. Keluarga inti tidak diminta untuk membayar tapi dengan hanya mengetahui saja sudah menjadi beban pikiran. Ujung -ujung nya bisa berdampak ke fungsi organ.Â
3. Keluarga inti ditolak pengajuan kredit padahal tak pernah punya kredit macet.Â
Saat pengajuan di lembaga pembiayaan semua calon nasabah akan diminta dokumen KK (Kartu Keluarga). Dan siapa saja yang tercantum di dalam KK tersebut akan dicek SLIK.Â
Jadi wajar bila ada saja yang ditolak karena mungkin ada orang lain di dalam KK tersebut yang masuk kategori kolek 3 sampai kolek 5.Â
just sharing,Â
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H