Saya ingat ketika bertugas di Pulau Sumbawa, NTB. Pada rentang tahun 2011 hingga 2015, beberapa kali ada order pengajuan kredit dari nasabah-nasabah yang tinggal di daerah pegunungan jauh dari pusat kota. Butuh satu hingga dua jam ke desa mereka.Â
Kondisi jalannya jangan tanya lagi. Hancur lebur. Yang puluhan tahun lalu jalan aspal, kini aspal nya sudah lepas berganti kerikil. Bila musim hujan, jalan tanah malah jadi kubangan air dan becek.Â
Pulang dari lokasi mereka dikasih oleh oleh celana kotor dan sepatu penuh lumpur. Itu belum resiko motor slip dan jatuh karena licin. Belum tentu juga pengajuan kreditnya disetujui sama analis kredit.Â
Ketika duduk bersama calon nasabah, saya perhatikan mengapa keluarga si nasabah suka naik ke atas atap rumah.Â
"Cari sinyal Pak. Di sini susah dapat sinyal. Entah sampai kapan, ngga bisa pake internet," kata si nasabah.Â
Oalah...Indonesia sudah merdeka dari tahun 1945, tapi banyak warga desa belum merdeka pakai internet.Â
Saya membayangkan di Pulau Sumbawa Propinsi NTB saja seperti itu, bagaimana dengan kampung -kampung di pedalaman Papua yang notabene lebih terpencil? Di Maluku yang pulau-pulau kecilnya lebih banyak dan tersebar dibanding Bali atau NTT?Â
Dalam dua belas tahun terakhir,bisnis pembiayaan sudah banyak mengadopsi teknologi internet. Para new comer alias kompetitor  baru seperti aplikasi -aplikasi kredit online hingga pinjol bisa dengan gampangnya diakses oleh masyarakat.Â
Mereka bahkan lebih lincah dalam teknologi digital dibanding perusahaan -perusahaan pembiayaan besar yang lebih dulu eksis.Â
Apalagi semenjak pemerintah mewajibkan setiap warga harus punya e KTP, berdampak langsung terhadap kebijakan kredit. Setiap WNI boleh ajukan kredit kendati tempat tinggalnya bukan di alamat E KTP.Â
Di sistem akan diinput dua alamat, yakni alamat permanen dan alamat tinggal. Beda kota beda pulau beda propinsi tak masalah. Inilah mengapa  debitur seperti Si Maria pada kisah di atas bisa dimanfaatkan oleh majikannya.Â