Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Urbanisasi Pasca Lebaran, Akankah Mengubah Stigma Nasabah Berstatus Pendatang?

17 Mei 2023   15:49 Diperbarui: 18 Mei 2023   03:59 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warga yang berdatangan dari kampung halaman pasca mudik (Kompas.com/Garry Andrew Lotulung)

Just Sharing....

Sebuah kisah menarik nan nyata saya alami sebulan lalu. 

Saat sedang duduk nongsa alias nongkrong santai di sebuah warung kopi di tepi sawah, saya dihampiri dua orang anak muda berusia 20 an tahun. 

"Abang kerja di multifinance?" tanya seorang yang berpostur tinggi besar dengan rambut lurus. 

Saya melirik kartu identitas karyawan yang menempel di baju saya. 

Aha...ternyata dia menebak dari benda ini. Saya hanya menganggukkan kepala sambil sedikit tersenyum. 

"Saya kok kesal ya Bang. Kemarin ada yang datang ke kos, nagih ke sebelah kamar saya. Memang sih itu teman kagak bayar-bayar cicilan motornya. Cuma bahasa pegawai orang leasingnya kagak enak," curhatnya kemudian. 

Saya menyesap kopi hitam di depan gelas. Penasaran sama kalimat "bahasa orang leasing". 

"Memang apa yang diomongin?" tanya saya

"Dia bilang kalian orang pendatang itu kalo nunggak susah dicari karena suka pindah-pindah," tuturnya

"Hmm....Terus temanmu uda bayar?" tanya saya kembali

"Uda pindah kos dia Bang, dari bulan lalu. Jangankan motor, uang kosnya aja kagak bayar," sambungnya.

Kisah nyata lain terdengar dua minggu lalu. Kali ini dari seorang pedagang gado- gado langganan saya. 

Si abang yang berasal dari sebuah kabupaten di Jawa Timur itu mengeluhkan sulitnya disetujui manakala hendak kredit motor. 

"Masa gara-gara tempat tinggal yang belum ada setahun, disarankan harus bayar enam bulan di depan. Kalo cicilan 1,5 juta berarti 9 juta gue mesti siapin," tutur nya. 

Hmm....benang merah dari dua contoh di atas berkaitan erat dengan urbanisasi, status tempat tinggal dan antisipasi resiko kredit. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Tradisi mudik sebelum lebaran hampir selalu dibarengi tradisi balik berbalut urbanisasi pasca lebaran. 

Anggapan bahwa di kota lebih baik masa depannya dibanding di desa, akan selalu bikin kota-kota besar diserbu para pendatang.

Jakarta, Denpasar, Makasar, Medan dan sejumlah kota besar lain di Indonesia jadi tujuan kaum urban. 

Ada yang membonceng keluarganya saat mudik, ada pula yang tipikal alone ranger alias bertualang sendiri. 

Pada akhirnya merekalah target market pemilik bisnis kos kosan. Mulai dari harga kamar 300 ribu per bulan kamar mandi di luar sampai 3 juta sebulan yang ada kolam renangnya. 

Apakah mereka para pendatang ini boleh kredit barang atau kredit dana di perusahaan pembiayaan? Tentu sangat boleh sekali. 

Apalagi dengan sistem e KTP seperti sekarang dimana sudah jarang terindikasi ada KTP palsu. 

Para pendatang yang membanjiri kota-kota besar dengan sendirinya akan memberi warna tersendiri dalam kebijakan kredit di internal perusahaan pembiayaan. 

Bila Anda atau saya bekerja di industri pembiayaan, akan bisa merasakan bedanya di cabang kecil di kabupaten dan di cabang besar di ibukota, karena diferensiasi nasabah berdasarkan status tempat tinggal. 

Di kota besar, dimana industri seperti pariwisata, tekstil, pertambangan dan lainnya berkembang pesat, tentu akan banyak status hunian seperti mess karyawan, rumah yang dikontrak bersama hingga kos- kosan beraneka harga. 

Apakah mereka bisa "digarap" dalam tanda petik oleh perusahaan yang membiayai konsumen? Tentu saja bisa asalkan potensi dan resikonya dikelola dengan baik dan terukur. 

Salah satu caranya mungkin seperti pada contoh kedua di atas. 

Ketika si pedagang gado-gado itu belum setahun ngekos, meski omset jualan cukup buat bayar angsuran, namun si marketing berhadapan dengan syarat status tempat tinggal si calon nasabah. 

Beberapa multifinance masih bolehkan status nasabah ngekos asalkan minimal sudah dua tahun di tempat itu. 

Demikian juga lama usahanya minimal sama dua tahun. Itu di luar data SLIK yang jadi acuan utama dan parameter lain. 

Bisa jadi si marketing merasa nasabahnya mampu bayar, tapi kendala status tempat tinggal, makanya disarankan kalau bisa nanti bayar enam bulan di depan plus DP. Itu mungkin analisanya saya. 

Dengan sudah bayar di depan, tentu sekalipun bila si nasabah itu akhirnya tak lama ngekos di situ lalu pindah atau pulang kampung lagi, dia cenderung akan bertanggung jawab. Istilahnya nasabah sudah diikat. 

Tanggung ngga sampai lunas, sudah banyak bayar di depan. Dan kreditur pun meminimalisasi kerugian karena perilaku nasabah pendatang yang suka nomaden alias pindah-pindah kos. 

Dua sisi debitur berstatus pendatang, untung atau buntung? 

Dalam bisnis pembiayaan, profit ditentukan dari volume penjualan dan total AR (Amount Receivable) yang artinya total pokok hutang ditambah bunga. 

Banyaknya jumlah nasabah akan menambah fee base income yang berasal dari biaya admin dan lain sebagainya. Sedangkan semakin besar nilai pembiayaan akan kian besar keuntungan bunga. 

Bandingkan pembiayaan sebuah iPhone, sebuah motor dan sebuah mobil. Meski cuma 1 unit kredit, tapi profit yang diberikan sangat jauh berbeda. 

Pada segmen nasabah berstatus tempat tinggal mess, kos-kosan hingga rumah kontrakkan, mereka lebih banyak kredit motor dan barang-barang bersifat durable. 

Misalnya HP, iPhone, mesin cuci, lemari es hingga kredit dana dengan jaminan atau tanpa jaminan. 

Meski nilai AR nya lebih kecil dibanding kredit mobil, tapi karena volumenya tinggi lantaran sangat dibutuhkan oleh mereka, ini jadi pasar yang potensial. Sayang bila tidak dikelola dengan baik. 

Namun seperti pada contoh pertama di awal tulisan, habit nasabah yang suka berpindah-pindah kerap ditemui dalam kasus-kasus di lapangan manakala nasabah menunggak. 

Pada karyawan yang tinggal di mess, ketika habis kontrak otomatis akan keluar dari mess. Entah balik ke kanpung halaman nya atau pindah ke kota lain. Pihak manajemen pun lepas tangan.

Bagi para debitur yang ngekos, bulan ini ada bulan depan bisa jadi sudah keluar. Tak ada yang bisa memastikan. 

Pemilik kosan pun malas meladeni pegawai kolektor yang kerap datang untuk menanyakan keberadaan nasabah. Di satu sisi mengganggu kenyamanan mereka dan juga penghuni kos lain di sana.

Masih lebih baik andai saluran komunikasi lewat HP masih terhubung. 

Namun bila sudah diblokir atau ganti nomor HP, dan dicari ke tempat kerja pun sudah tak lagi di sana, disitulah potensi NCL (Nett Credit Loss) alias kerugian kredit mulai terasa.

Penyelamatan unit kredit, terutama pada kendaraan roda dua maupun roda empat, jadi prioritas pada nasabah- nasabah yang demikian. 

Selain AR nya besar, juga bila dapat ditarik dan dilelang kembali dapat menutupi sisa utang. 

Namun jangan salah. Menarik motor atau mobil itu susah. Di lapangan itu complicated. Apalagi pada nasabah berstatus kontrakkan dimana bisa berpindah-pindah. 

Tentu hal ini tidak bisa dilakukan pada barang kredit seperti iPhone, mesin cuci, HP dan lainnya karena jarang ada yang mau beli atau harganya sudah jatuh. Rugi banyak boss!

Lagipula tidak semua multifinance itu punya gudang penyimpanan barang kecuali gudang penyimpanan tarikan motor atau mobil. 

Realitanya, meski tahun berganti, meski lebaran berganti, arus urbanisasi tetap terjadi. Dan selalu terulang ada saja debitur-debitur berstatus pendatang yang nomaden dan menghilang. 

Mereka ibarat lirik lagu nya Hampa milik penyanyi Ari Lasso, "Entah dimana dirimu berada, hampa terasa diriku tanpa cicilanmu." hehe...

Salam kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun