Saya teringat dua tahun silam, seorang nasabah wanita datang bersama anak gadisnya.Â
Mereka tak terima dan merasa tak nyaman dengan layanan Deskcall, yakni Divisi dari kantor pusat yang tugasnya mengingatkan lewat telepon untuk bayar cicilan.Â
Nasabah tersebut punya usaha bengkel kendaraan yang cukup dikenal di kota tempat saya bertugas.Â
Dengan status ekonomi dan status sosial yang cukup disegani di warga setempat, namun tercemari dengan utang jutaan tupiah untuk sebuah motor yang dikreditkan bagi stafnya.
" Anak bua tidak bertanggung jawab. Dipotong gajinya setiap bulan malah menghilang.Bikin susah saja," kata si nasabah wanita manakala duduk di depan meja saya.Â
Si anak buah sebelumnya bekerja di tempat usahanya. Untuk operasional pekerjaan sehari-hari dan demi membantu staf tersebut, majikan wanita rela kredit motor atas namanya dengan cicilan 1 juta per bulan yang dipotong dari gaji anak buahnya.Â
Namun setelah hampir enam bulan bekerja, si anak buah menghilang dengan motor tersebut. Kontak komunikasi putus.Â
Si majikan bisa saja cari karyawan baru sebagai pengganti, namun angsuran yang biasa dibayar menjadi tak diteruskan oleh mantan anak buah.Â
Alhasil si majikan yang dicecar lewat telepon dan terus ditagih. Bukankah nasabahnya adalah Si Ibu dan pihak pembiayaan pun tak ada ikatan perjanjian akad dengan bekas staf tersebut.Â
Akhirnya pelunasan dilakukan oleh si mantan majikan. Bersyukur BPKB nya bisa dibawa pulang. Toh suatu waktu nanti si mantan anak buah akan membutuhkan juga untuk proses surat kendaraan dan datang kembali.
Lain lagi kisah seorang adik sepupu yang demi untuk dirinya, seorang nasabah wanita berusia 30 an tahun ditagih ke rumahnya. Dia kredit HP selama 9 bulan dengan cicilan 400 ribu.Â