Just Sharing....
Hari ini saya membaca curhatan tertulis seorang anak yang berusaha mencari SK pensiun sang ibu yang sudah berusia 75 tahun.Â
Beberapa tahun silam, ibunya menjaminkan SK tersebut di sebuah koperasi. Kini setelah cicilan terakhir terbayar, namun si anak dan keluarganya belum menerima SK tersebut dari pihak koperasi karena ketidakjelasan selama lebih dari setahun.Â
Surat SK atau Surat Keputusan biasanya dikeluarkan oleh institusi resmi di mana nama yang tercantum di dalamnya pernah mengabdi atau sedang bekerja di sana.Â
Misalnya SK pensiun bagi pegawai PNS formal yang akan purna tugas. Ada pula SK anggota dewan bagi para legislatif di DPRD atau DPR.Â
Umumnya SK melegalisasi atau menyatakan secara tertulis lama mengabdi, jabatan, lokasi bekerja dan besaran penghasilan pokok serta sejumlah tunjangan yang melekat pada orang tersebut menyesuaikan status dan jabatan.
Tercantumnya data pendapatan pada SK adalah faktor yang menentukan apakah tim kredit akan menyetujui pengajuan nasabah dan berapa maksimal plafon pinjaman. Itu bisa jadi alasan mengapa disyaratkan.Â
Saya ingin menulis perihal masalah ini karena di luar dari kisah di atas, ada sejumlah contoh yang mirip-mirip juga yang pernah ditemui dalam pengalaman bekerja dan obrolan dengan para debitur.Â
Secara umum, tipikal calon nasabah di Indonesia manakala mengajukan kredit dengan agunan, lebih fokus pada seberapa cepat prosesnya dan seberapa ringan syaratnya. Soal mana nanti jaminan mereka disimpan atau dititipkan itu bukan prioritas, yang penting cairnya cepat.Â
Adanya kecenderungan pola pikir seperti itu menyebabkan banyak perusahaan pembiayaan non formal bahkan abal-abal hingga perorangan yang menjalankan usaha peminjaman uang, bisa begitu mudah menjadi tempat penitipan SK, sertifikat rumah, BPKB kendaraan hingga yang lainnya.Â
Padahal hal-hal di bawah ini penting untuk dipahami calon debiturÂ
Pertama, menjaga agunan yang dititipkan nasabah lebih berat dari menunggu nasabah melunaskan hingga cicilan terakhir. Hal ini dikarenakan nilai agunan lebih besar dari PH (Pokok Hutang) nasabah.Â
Bila seseorang dititipkan perhiasan seharga 100 juta dari orang lain yang meminjam kepadanya cuma 20 juta, tentu beban lebih berat pada orang yang dititipkan.Â
Bagaimana kalau hilang dan rusak? Tentu sangatlah berisiko bagi penitip andai menjaminkan di tempat yang lalai dalam menjaga.Â
Kedua, jaminan berupa surat dan dokumen memiliki aspek hukum dan legalitas kepemilikan tidak hanya buat nasabah tersebut, tapi juga buat keluarga dan keturunannya.Â
Sertifikat tanah, sertifikat rumah, BPKB Kendaraan dan SK tidak hanya diperlukan selama nasabah tersebut masih hidup, tapi juga buat anak dan cucunya kelak andai debitur tersebut sudah almarhum/almarhumah. Bukti tersebut diperlukan juga dalam pengurusan administratif.Â
Belajar dari kasus mafia tanah yang dialami Nirina Zubir karena ulah ART mendiang ibunya. Itu mungkin salah saru contoh meski beda dikit akar masalahnya.Â
Namun bisa dibayangkan andai ART itu menjaminkan di tempat yang salah dan akhirnya lenyap dan tak diketahui, bisa-bisa hilang warisan dan aset dari orang tua yang semestinya bisa dikelola oleh garis keturunannya.
Ketiga, ada syarat dan ketentuan terkait pengelolaan agunan bila perusahaan tersebut menjalankan usaha pendanaan ke masyarakat.Â
Pasal 25 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan tahun 2013 dengan jelas tercantum di sana.Â
Pelaku usaha jasa keuangan wajib menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset konsumen yang berada dalam tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan
Yang dimaksud dengan pelaku usaha jasa keuangan sesuai Pasal 1 POJK 07/2013 ini adalah bank umum, BPR, bank custodian, dana pensiun, perusahaan gadai, perusahaan asuransi hingga lembaga pembiayaan yang menjalankan aktifitas usaha baik secara konvensional maupun secara syariah.Â
Untuk hal tersebut, pelaku jasa usaha keuangan biasanya memiliki brankas penyimpanan agunan yang tahan panas (api) atau tahan benturan andai terjadi bencana.Â
Ada pegawai khusus yang bertugas merawat dan menjaga. Tersedia ruangan sendiri dan hanya orang- orang tertentu yang boleh dijinkan masuk dan tidak untuk semua pegawau internal.Â
Dan yang amat penting, tak boleh dijaminkan ke pihak lain selama nasabah tersebut masih aktif dan belum menyerahkan secara legal kepada pemberi pinjaman.Â
Bagaimana bila pihak pembiayaan tak juga memberi setelah kewajiban membayar lunas?Â
Kebetulan saya belum pernah alami yang seperti ini. Namun ada beberapa sebab yang membuat nasabah atau ahli waris kesulitan menerima agunan yang dulu diserahkan.Â
Misalnya pada kantor cabang yang dulunya ada di daerah namun kini sudah tak ada lagi kantornya. Padahal selama ini nasabah membayar angsurannya lewat ATM atau merchant lain seperti lewat kantor pos.Â
Di tanah air memang PT Pos Indonesia bekerja sama dengan banyak lembaga pendanaan sebagai tempat bayar cicilan, begitu juga merchant lainnya. Namun dalam soal agunan dan proses pengembalian jaminan, itu dikelola oleh internal pihak pemberi pinjaman.Â
Seandainya kantor perwakilan sudah tak lagi di daerah domisili, bisa mencari ke kantor cabang perusahaan yang sama di kota terdekat. Karena bisa saja semua agunan sudah dialihkan ke kantor cabang lain ato ke kantor pusat.Â
Jangan lupa siapkan juga semua bukti pembayaran baik berupa kuitansi kuitansi pembayaran atau rekening koran bila biasanya ditransfer bank agar dapat di cocokkan dengan data di sistem perusahaan tersebut.Â
Beberapa perusahaan pendanaan, kadang memilki kantor cabang lintas pulau lintas propinsi dengan kantor pusatnya.Â
Untuk kendala jarak seperti ini kadang butuh sekian minggu atau sekian bulan. Itu diluar bila ada kendala di internal perusahaan tersebut, selain butuh kesabaran, tetap harus diurus dan follow up.Â
Agak sedikit complicated bila perusahaan tersebut dibekukan oleh pemerintah lewat OJK. Kalau koperasi sepertinya oleh lembaga perkoperasian di bawah kedinasan terkait.Â
Selama proses terhentinya operasional, ada kemungkinan brankas agunan diaudit atau diperiksa juga sehingga disarankan untuk tidak dikeluarkan dulu dalam batasan waktu tertentu.Â
Apa yang bisa dipahami bersama dari tulisan ini adalah pertimbangan memilih perusahaan pendanaan tak hanya cepat dan mudah cair uangnya, tapi keamanan dan kepastian terkait agunan yang dititipkan.Â
Terlebih bila masa kredit tersebut panjang dan lama, misalnya di atas 5 tahun atau 10 tahun, carilah yang dirasakan sudah kokoh, mapan dan punya sistem brankas serta pengelolaan yang teruji.Â
Bisa jadi sedikit lebih mahal cicilannya tapi itu sebanding kok dengan ongkos operasional dan biaya di sistem demi mengamankan aset dan dokumen agunan para nasabahnya.Â
Semoga mengedukasi,Â
Salam
Brader Yefta.Â
Referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H