Just Sharing....
Waktu menunjukan jam 2 siang, hari itu matahari terik sekali. Dari baik meja kantor, saya memandang ke parkiran menembus dinding kaca transparan.Â
Seorang pria muda usia 30-an turun dari mobil yang baru saja berhenti. Sejurus kemudian, pintu mobil di sebelah kanan terbuka.Â
Perempuan cantik berambut lurus dan berkacamata hitam menurunkan kakinya dengan paha tersingkap. Upps, roknya memang pendek.Â
"Apakah engkau melihatnya Dora?"Â
Itu celetukan teman cowok di sebelah meja saya. Kami pun tertawa. Tak hanya kami berdua, tapi ada juga sejumlah rekan kerja lain.Â
"Cakep ya cowoknya, mahal lagi mobilnya. Sayang, sudah punya istri," terdengar suara Andin (sebut saja begitu), salah satu teman kerja cewek.Â
"Enak banget hidupnya. Lha kita tiap hari ngurus uang banyak tapi bukan uangnya kita," sahut Aldebaran (nama samaran), seorang staf marketing pria.Â
"Apalagi saya yang cuma satpam bagaikan biji jambu di pohon mangga," si abang sekuriti ikut menimpali.
Kami semua tertawa...
Entah menertawakan banyolan yang spontan terucap atau menertawakan hidup kami yang mungkin tak seberuntung pasangan yang diintip dari balik kaca.Â
Dua sejoli itu masuk dan dibukakan pintunya oleh satpam.Â
"Ada yang bisa dibantu, pak?" tanya sekuriti.
"Kami mau cari info produk pinjaman," kali ini si perempuan itu yang menjawab.Â
Dia kemudian melepas kacamata hitam dan menggeraikan rambut hitam lurusnya ke samping kiri dan kanan.Â
Kode nih, kataku dalam hati, hehe.Â
Tanpa disadari, bahasa tubuh manakala seorang wanita muda memainkan rambut secara spontan bisa punya sejumlah arti. Anda bisa googling sendiri. Mulai dari yang bermakna sesnsual atau mencoba menarik perhatian orang lain terutama kaum Adam.Â
"Nomor antrian 22 silahkan ke meja 3," terdengar suara artifial dari mesin.Â
Perempuan jelita itu melirik nomor tiket di tangan, lalu bergegas dengan si pria ke meja 3, yakni meja saya.Â
Ketika melayani mereka sedikit demi sedikit, maka terkuak identitas dan latar belakang.Â
Mereka terjerat utang piutang dengan sejumlah korporasi dan ada niat mengajukan pinjaman sekian ratus juta. Secara jaminan bisalah untuk plafon sekian.Â
Sayangnya mobil mahal di parkiran itu yang tadinya bikin iri 2 atau 3 orang pegawai di kantor karena merasa hidupnya tak seberuntung calon nasabah ini ternyata bukan miliknya.Â
Si pria hanyalah sopir kepercayaan bosnya. Lalu siapa wanita cantik putih mulus dan tinggi ini? Dia adalah selingkuhan si bos yang tengah bermasalah dengan istri sah majikannya.Â
Rumitnya lagi, BPKB mobil itu tercatat atas nama si istri sah dan sudah diagunkan sebelumnya di salah satu bank.Â
Kini agunan itu masih menggantung, sama seperi hubungan cinta segitiga sang majikan.Â
Sebaliknya, si sopir pun tengah bermasalah dengan istrinya juga lantaran diduga ada "main" dengan selingkuhan bosnya, yakni si perempuan ayu yang duduk membusung di kursi depan meja saya.Â
Pertanyaannya mungkin, bagaimana saya bisa pelan-pelan tahu kisah bak episode sinetron ini?Â
Jawabannya karena setelah pertemuan singkat di kantor, kemudian saya dihubungi ulang untuk konfirmasi kembali. Di situlah terungkap lewat curhatan.Â
Di dalam tertawa pun hati dapat merana...(proverb)
Izinkan saya menggunakan contoh lain yang berangkat dari curhatan juga.Â
Seorang pegawai kantoran dengan seragam salah satu perusahaan formal di tanah air, duduk santai di siang hari di sebuah cafe kecil yang menjajakan beraneka roti dan kopi.Â
Manakala sedang asyik berkutat dengan laptop di hadapannya, lewatlah seorang abang tukang bakso dengan handuk kecel melingkar di leher lagi mendorong gerobak.
"Mas, bakso 2 mangkok dibungkus," terdengar suara si pelayan kafe memesan pada si abang.Â
Tak sengaja si tukang bakso keliling yang juga masih muda dan sepantaran si pegawai kantor itu saling berpandangan.
"Enak banget hidupnya si mas itu, kerja santai uang banyak. Lha aku tiap hari keliling hanya dapet bersih 6 juta sebulan," batin si abang bakso mengasihani dirinya sendiri
Dia tak tahu apa yang juga terlintas di pikiran si pegawai kantoran itu
"Coba aku punya modal, mau usaha bakso kayak si abang itu. Daripada kerja gini, seragam doang gaji pas-pasan cuma 3 juta sebulan. Mana pergi pagi pulang malam, itu pun kalo nyampe target," katanya dalam hati.Â
Dua orang dengan 2 profesi berbeda, membandingkan kehidupannya satu sama lain. Satu memakai kacamata A, satu mengenakan kacamata B.Â
Menariknya, dua kacamata A dan B itu berasal dari konsep bahagia versi mereka masing-masing. Mengukur dirinya dengan orang lain lalu meletakkannya sebagai dasar.Â
Bila abang bakso tahu apa yang dipikirkan si pegawai kantoran, dan pegawai kantoran sadar apa yang ada dalam bayangan si abang bakso, apakah kira-kira mereka mau bertukar profesi?Â
Atau lebih jelasnya, apakah mau bertukar kehidupan? Belum tentu.Â
Sama seperti ketika rekan-rekan saya di kantor melihat penampakkan awal "sepasang" calon nasabah yang begitu mempesona dari luar, apakah mau bertukar kehidupan manakala tahu aslinya?Â
Bisa jadi dijawab "ngga mau ah". Lebih bahagia hidup dengan kehidupan mereka sendiri.Â
Lantas, mengapa masih ada orang yang mengukur hidupnya dengan orang lain?Â
1. Konsep Rumput Tetangga Lebih Hijau
Kita melihat halaman rumah kita ada rumput namun, tak sehijau rumah sebelah.
Kita lalu berpikir, andai saja hijaunya seperti punya tetangga, hidup saya akan lebih nyaman karena pemandangannya jadi hijau semua.Â
Kita lalu berusaha tanam yang lebih hijau dari milik tetangga mulai dari mengeluarkan uang untuk modal, tapi ngga hijau juga, malah bikin stres. Kita kecewa lalu berasumsi, "nasib dia lebih baik daripada saya".Â
Ternyata, tanpa kita ketahui, rumput sebelah adalah rumput imitasi demi menyamarkan pemandangan. Dan pemiliknya tak bertujuan agar hijau itu mengintimidasi rumah di kiri kanannya.Â
Dia malah iri dengan rumah sebelah yang sudah jadi 2 lantai selagi dia masih susah ngumpulin modal untuk renovasi rumah lantai 1.
Jadi stop dah halusinasi sama kehidupan orang lain tanpa tahu dalamnya kayak apa.Â
2. Kuasa di Balik Mengucap Syukur, tapi Tetap Berusaha Mengejar Mimpi
Media sosial dijejali setiap hari. Beraneka tayangan hadir mengganggu mata dan hati lewat unggahan kehidupan orang lain, yang kadang membuat kita berpikir, "mengapa hidup saya tak seberuntung mereka?"Â
Alih-alih mengucap syukur dan berterima kasih atas kehidupan dan apa yang dipunyai, kita malah abai atas semua kecukupan.Â
Lalu menyalahkan Tuhan, menyalahkan latar belakang keluarga, menyalahkan masa lalu, menyalahkan pasangan karena tak sekaya dan sepopuler yang lain bahkan menyalahkan diri sendiri.Â
Orang stres bukan karena dari luar, tapi karena peperangan di dalam jiwanya sendiri. Hati-hati, bisa sakit jiwa beneran lho.
Daripada mengeluh dengan hidup, yuk mari bersyukur masih bisa hidup sambil tetap berikhtiar mengejar mimpi untuk hidup lebih bermanfaat.Â
3. Pahami Ungkapan "Di Dalam Tertawa pun Hati Dapat Merana"
Ketika manusia lahir, dia menangis namun ibu bapaknya tersenyum. Ketika meninggal, keluarganya menangis. Takdir suka dan duka melekat satu paket dalam kehidupan.Â
Tidak ada orang seumur hidupnya akan bahagia terus. Karena bisa saja dia menyembunyikan kesedihan itu di balik senyumnya. Demikian juga yang kelihatan sedih dari luar, jangan dikira hidupnya tidak bahagia.Â
Saya pernah punya nasabah yang cuman ke mana-mana naik motor tua dan rumahnya sangat sederhana.Â
Namun saya terhenyak ketika dia menunjukkan print out tabungannya ada 170 juta. Itu dana darurat dan bukan dana kredit pinjaman.Â
"Kok tidak beli mobil pak, mobil bekas kan bisa daripada bapak ke mana-mana naik motor terus?", tanya saya
"Ngga Mas, tabungan itu buat anak-anak kuliah sampai sarjana, bahagia saya dan istri di situ bukan di kendaraan," jawab beliau.Â
Saya terdiam, serasa ditampar dengan omongan beliau.Â
Ternyata konsep bahagia itu di dalam dan sangat pribadi. Bukan di luar apalagi mendasarkan kebahagian pada penilaian orang.Â
Bagaimana menurut kamu?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H