Seketika ekpresi wajahnya sedikit berubah. Namun ditutup nya dengan senyuman.Â
"Maksudnya Mas, sodara -sodara ibu ya? " tanya lagi.Â
Seingat saya, seperti yang pernah diceritakan beliau, punya beberapa adik kandung dan kakak kandung yang berdomisili dalam satu kota. Semua sudah menikah dan berkeluarga.Â
" Kalo mau datang keponakan-keponakan, pagar dan pintu selalu terbuka. Tapi tidak untuk yang 2 orang itu," ada nada getir di suaranya.Â
Bila waktu bisa diputar kembali, Hariati tak ingin bertemu dengan salah seorang adik ipar dan seorang lagi kakak kandungnya.Â
Kedua wanita itu sudah membuat luka di dalam jiwanya. Tumbuh lalu berakar menjadi kegetiran yang senantiasa dibawa sepanjang hidupnya.Â
Adik ipar menikah dengan adik laki-lakinya. Tanpa diketahuinya, berdasarkan penuturannya, si ipar berusaha menjatuhkan bisnis beliau dan menginginkan kehancuran keluarganya tanpa diketahui suaminya, yakni adik kandungnya.Â
Sementara kakak perempuannya, berusaha menggoda suaminya. Cinta segitiga yang ujungnya pernah kedapatan oleh dirinya sendiri.Â
"Wanita mana yang mau dilukai seperti itu. Kalo orang lain mungkin bisa saya maafkan, lha ini keluarga sendiri...Kok teganya sama diriku," curhatnya sembari mengambil tisu dan menyeka bulir air mata yang meluncur di pipinya.Â
Saya terdiam, Berusaha memahami apa yang terungkap.
 Jujur sebagai laki-laki, saya mungkin kurang bisa merasakan apa yang dirasakan seorang perempuan yang juga seorang istri.Â
Namun demi menghormati, saya berusaha mendengar. Karena kadang yang dibutuhkan seseorang ketika curhat, bukan solusi, tapi keinginan untuk mendengarkan.Â