Hari-Hari Hariati....
Seorang wanita paruh baya, duduk di hadapan saya. Sebut saja namanya Hariati. Sekian lama kami sudah saling kenal.Â
Saya bersyukur karena pekerjaan, bisa kenal banyak orang dengan beragam latar belakang. Dan Hariati salah satunya.Â
Meski seorang wanita muslim, beliau jarang terlihat mengenakan hijab di rumah.Â
Namun bila keluar rumah, entah untuk belanja atau bersama suaminya, tak lupa dipasangnya. Mungkin lantaran itu bila ketemuan di kantor, selalu terlihat berhijab.Â
"Kan yang penting hidupnya lurus -lurus aja Mas...ndak yang aneh-aneh," demikian katanyaÂ
Beliau memang tak aneh-aneh dalam tanda petik. Rumah tangganya adem ayam melintasi jaman hingga anak tertuanya sudah usia 40 tahun.Â
Rekam jejak kreditnya di sistem informasi perbankan, selalu tak pernah lewat collect 1.Â
" Yang dijaga itu kepercayaan. Sekali runtuh, tamatlah sudah. Turun ke anak cucu," begitu nasihatnya.Â
Saya menyantap opor ayam bikinannya di hari fitri. Bukan karena undangan beliau, tapi memang hampir setiap lebaran, selalu diajak mampir ke rumah.Â
"Pemerintah sudah larang mudik. Ya udah anak-anak ngga mudik, padahal aku rindu pada cucu -cucuku ," tuturnya pula sembari menunjukkan foto dan video buah hati anak-anaknya.Â
"Bagaimana keluarga yang di sekitaran kota...Apa apa mereka ada datang ke tempat Ibu dan Bapak?" tanyaku
Seketika ekpresi wajahnya sedikit berubah. Namun ditutup nya dengan senyuman.Â
"Maksudnya Mas, sodara -sodara ibu ya? " tanya lagi.Â
Seingat saya, seperti yang pernah diceritakan beliau, punya beberapa adik kandung dan kakak kandung yang berdomisili dalam satu kota. Semua sudah menikah dan berkeluarga.Â
" Kalo mau datang keponakan-keponakan, pagar dan pintu selalu terbuka. Tapi tidak untuk yang 2 orang itu," ada nada getir di suaranya.Â
Bila waktu bisa diputar kembali, Hariati tak ingin bertemu dengan salah seorang adik ipar dan seorang lagi kakak kandungnya.Â
Kedua wanita itu sudah membuat luka di dalam jiwanya. Tumbuh lalu berakar menjadi kegetiran yang senantiasa dibawa sepanjang hidupnya.Â
Adik ipar menikah dengan adik laki-lakinya. Tanpa diketahuinya, berdasarkan penuturannya, si ipar berusaha menjatuhkan bisnis beliau dan menginginkan kehancuran keluarganya tanpa diketahui suaminya, yakni adik kandungnya.Â
Sementara kakak perempuannya, berusaha menggoda suaminya. Cinta segitiga yang ujungnya pernah kedapatan oleh dirinya sendiri.Â
"Wanita mana yang mau dilukai seperti itu. Kalo orang lain mungkin bisa saya maafkan, lha ini keluarga sendiri...Kok teganya sama diriku," curhatnya sembari mengambil tisu dan menyeka bulir air mata yang meluncur di pipinya.Â
Saya terdiam, Berusaha memahami apa yang terungkap.
 Jujur sebagai laki-laki, saya mungkin kurang bisa merasakan apa yang dirasakan seorang perempuan yang juga seorang istri.Â
Namun demi menghormati, saya berusaha mendengar. Karena kadang yang dibutuhkan seseorang ketika curhat, bukan solusi, tapi keinginan untuk mendengarkan.Â
"Saya sadar bahwa Idul Fitri maknanya adalah saling memaafkan..Tapi sangatlah sulit memaafkan mereka yang menjahati saya sehingga sepanjang hidup saya ke belakang hingga hari ini, selalu terdampak," tersirat jeritan di dalam nada suaranya.Â
Saya membiarkan dia berbicara. Tak ingin memotong. Mungkin itu bisa membuat sedikit plong.Â
"Mas lihat dari luar kehidupan kami sepertinya baik baik saja...Karena memang tak ingin menghancurkan semua yang sudah dibangun bertahun-tahun...Kasian anak-anak, kasian cucu-cucuku," sambungnya pula.Â
Selama satu jam bersama beliau, saya mendapatkan perspektif yang berbeda.Â
Idul Fitri bermakna saling memaafkan, namun betapa sulitnya memaafkan mereka yang melukai. Terlebih mereka itu masih dalam ikatan darah dan ikatan keluarga.Â
Mereka yang nampak bahagia dari luar, rumah tangganya awet, finansialnya bagus, bisnisnya lancar, namun bila diijinkan tuk mengintip dalam tanda petik ke dalamya, bisa jadi bikin terhenyak pada apa yang tak nampak dari luar.Â
Hari - hari Hariati tak nampak soleha dengan busana berhijab. Tak juga bercadar.Â
Tapi ketahanan dan kekuatan jiwanya menghadapi ujian diduakan atau dijahatin, jauh bak permata yang  tersembunyi di dalam.Â
" Sudah puluhan tahun, namun jangan sampai pisah dan retak silahturrahim keluarga. Hanya bawa dalam sholat, semoga dikuatkan, anak cucuku baek baek, dunia dan akherat..." katanya ketika sudah tak lagi ada basah di matanya.Â
Saya pamit pulang dengan sebuah pelajaran yang berharga.Â
Ternyata memaafkan itu tak semudah berucap. Tapi sebuah tindakan, bahkan mungkin butuh perjuangan lahir dan batin.Â
Selamat Hari Raya Idul Fitri...
Seperti yang dituturkan Hariati (nama samaran)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H