4. Tidak pernah traveling keluar daerah keluar pulau, atau tak pernah bertugas (dinas) di tempat yang berbeda fisik dan budayaÂ
Mungkin ini adalah salah satu manfaatnya, perusahaan atau instansi tempat bekerja, sewaktu -waktu, memindahkan karyawan atau pegawainya ke daerah lain. Mereka yang menjalani tugas di daerah yang masyarakatnya berbeda SARA, akan cenderung lebih respect dan lebih 'berdamai' dalam tanda kutip dengan perbedaan. Mereka rata -rata lebih menerima dan memahami perbedaan budaya. Tak hanya dalam negeri. Keluar negeri juga demikian. Â
5. Selalu ngumpul dengan orang sesuku, sedaerah, seiman, dan membatasi diri dengan 'orang diluar kelompok mereka
Kedaerahan itu baik karena tak melupakan asal. Berkomunitas sesama orang daerah itu baik. Tapi di Indonesia dan dunia ini tak terbatas kita dengan orang -orang kita saja. Akibat yang muncul adalah orang lain dianggap aneh, tak sepaham, tak segeng, tak segrup. Ujung -ujungnya adalah merasa paling benar sendiri, lalu menggenarilasi bahwa orang lain dan yang rupa -rupanya seperti orang tersebut, adalah A,B, C dan sebagainya.Begini -begini orangnya # Eitss, jangan menggenarilasi. Rambut boleh sama hitam, rambut boleh sama lurus, tapi isi kepala dan isi hati tidaklah sama. Atas dasar apa menggeneralisasi setiap orang adalah sama?Â
6. Menilai orang lain hanya berdasarkan media yang dibaca dan dilihat, bukan interaksi langsung apalagi tinggal di daerah asalnya.Â
Pernah ketemu orang model begini? Hanya membaca dari media. Masalahnya adalah media apa yang dia baca? Media apa yang membentuk pola pikirnya? Teringat saat saya tamat SMA dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, salah seorang tetangga di samping rumah berkata : Kamu pilih universitas di Bali, memang di sana ada gereja, tempat kamu beribadah?Â
Itulah cara berpikir orang yang cuma tau dari media, lalu berasumsi: disana itu seperti ini, orang -orang nya itu begini, budayanya begitu. Tetangga saya tak tahu,bahwa atasan orang tua di kantor berasal dari Pulau Dewata dan ada keluarga yang sudah lebih lama tinggal di sana, yang lebih tau real nya, dibanding media.Â
Pernahkah menemukan yang seperti itu disekeliling kita? Mending bila benar berangkat dari pengalaman sendiri, bila tidak, kita yang bisa salah persepsi terhadap daerah dan masyarakatnya di sana.Â
7. Memiliki luka batin, trauma dan pengalaman pahit terhadap suku, ras atau golongan tertentu
Seseorang melontarkan rasis, hujatan, makian dan hinaan, bisa jadi berangkat dari pengalaman traumatis yang pernah di alami dalam hidupnya. Semakin dalam luka batin itu,frekuensinya terlontar makin sering. Perlu hati -hati untuk menangani yang 'model' begini karena akarnya di hati dan tersimpan di memori.Â
Bila ditegur yang muncul adalah : saya dulu diperlakukan seperti itu atau saya tak pernah lupa penghinaan dia.Mengampuni dan melupakan memang sulit namun mungkin itulah solusinya. Bukankah hidup lebih ringan tanpa trauma SARA yang membayangi.Â