Ini termasuk memberi masukan, nasihat bahkan termasuk sanksi bagi para gembala di tingkat lokal. Hampir sama ya dengan level manajemen di perusahaan skala nasional atau level struktur di instansi pemerintahan dari lokal hingga ke pusat. Eskalasi berjenjang dari bawah hingga ke atas.Â
Kembali ke Pastor Noel, kala itu beliau beserta sang istri, sedang berada di Bali dalam suatu kunjungan. Menyempatkan bertemu dengan tim pastoral, lalu akhirnya diminta untuk membawakan khotbah. Keuntungan juga buat kami para jemaat. Karena biasanya bila ada gembala tamu dari luar, biasanya dibagikan juga pengalaman pelayanan di sana.Â
Ini tentu menarik, karena manusia, mau tinggal di negara dan benua manapun, kebutuhan rohani dan emosinya sama. Ya itu -itu saja. Soal masalah hidup, masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah kesulitan hidup, masalah tulang rusuk yang belum ketemu -ketemu dan juga godaan hawa nafsu, yang selalu muncul dan ngga ada habis -habisnya. Â
Jadi ketika pastor muda itu mengawali khotbah dengan perkenalan lewat fotonya bersama istri di layar, tiba -tiba ada suara di samping saya. Sebuah celetukan dari seorang anak muda. Masih mahasiswa, berusia 20 an dan seorang laki -laki. Â
" Yang kaya begitu dibilang cantik," bisiknya pada teman prianya yang duduk di sampingnya. Â
Mereka lalu tertawa namun ditahan-tahan agar tak mengeluarkan suara. Takut mengganggu khusuknya ibadah. Saya lalu menatap mereka berdua, Dalam hati : ya begitulah bila pola pikir rasisme masuk sampai ke rumah ibadah.Â
Tempat dimana kasih menjadi ajaran terbesar dan terutama, namun tak menjamin salah satu atau salah dua umatnya masih mengkotak -kotakkan manusia. Berdasarkan apa?Berdasarkan ras, berdasarkan etnis lalu berpersepsi dengan penilaiannya sendiri. .Â
" Agus, semua wanita itu cantik ,"tegur  saya pada pria berambut lurus dengan kulit kuning langsat itu.Â
Sebut saja namanya Agus. Kebetulan Agus bersama beberapa mahasiswa, berada di dalam komunita sel (komsel) bersama saya. Jadi ada sedikit keberanian (atau hak) untuk menegur secara langsung.Â
Saya lalu menaruh telunjuk di mulut sebagai pertanda agar dia dan rekannya yang duduk berdampingan agar diam dan mengikuti jalannya ibadah pagi itu. Cekikikan di dalam rumah ibadah itu tak baik.Â
Pertama mengganggu jalannya ibadah. Kedua, mengalihkan fokus jemaat untuk melirik pada kalian, dan bukan pada pencerahan firman. Ketiga, apa yang menjadi bahan  candaan adalah tindakan rasis yang bertentangan dengan prinsip ketuhanan. Keempat, ada ayat dalam kitab suci yang menyatakan : siapa menghina sesamanya, menghina pencipta-Nya (Amsal 14).Â