Apakah itu bercanda? Bercanda kok masa gitu. Apakah tak ada candaan yang santun dan tak menyerempet SARA. Haruskah ketidaksukaan pada seseorang harus digeneralisir sesuai ras dan etnis seseorang dan berasumsi semuanya sama. Haruskah memaksakan persepsi dan meminta dalam tanda kutip, orang lain juga harus punya cara pandang yang sama dengan kita# Sepertinya tidak ya kakak. Â
Soal SARA paling laris jadi bahan rasis. SARA yang adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antar golongan adalah perilaku dan persepsi seseorang terhadap suku seseorang, agama orang lain, etnis tertentu dan golongan tertentu. Dari jaman mata pelajaran di sekolah masih PMP (Pendidikan Moral Pancasila) hingga ganti kurikulum menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), ternyata perubahan itu tak berdampak maksimal tuk mengurangi rasisme.Â
Mengapa? Bisa jadi lantaran rasisme tumbuh bersama media dan akrab dengan perkembangan teknologi. Ngerasa ngga sih, jaman dulu matpel PMP, tak banyak komentar rasis berseliweran. Bahkan untuk surat pembaca di media cetak pun harus diseleksi kesopanannya. Bandingkan dengan sekarang. Tak ada fitur autoblock dan filterisasi coments. Ibarat mau ngomongin apa aja, suka -suka loh dah.Â
Luka karena pisau bisa sembuh dan mengering. Luka karena ucapan dan perilaku, bisa seumur hidup tersimpan memori. Bahayanya adalah bila luka batin itu diwariskan dalam bentuk doktrin ke generasi di bawahnya. Seperti apa dampaknya? Bisa ribet satu negara di buatnya, bahkan merembet ke yang lain. Contohnya ya apa yang terjadi di Amrik sono.Â
Saya jadi kepikiran, mengapa seseorang bisa begitu rasis terhadap orang lain. Begitu mudah menggeneralisir orang lain dan mengganggap semuanya sama. Memaksakan pola pikir, persepsinya demi membuat orang lain harus melihat dengan kacamata dia. Mungkin ini 7 penyebabnyaÂ
1. Orang tersebut tak mengenal siapa Pemilik Kehidupan
Tuhan menciptakan manusia berdasarkan kedaulatan-Nya. Dan kita, iya saya dan Anda, mau berapapun usianya sekarang,adalah produk Ilahi dari Sang Kuasa. Negara atheis saja mengakui keunikan manusia, apalagi kita yang hidup di Indonesia dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan ngga pandang rupa, ngga pandang fisik Bro. Meninggal juga semua tinggal tengkorak. Hanya amal, ibadah dan Iman.Â
2. Gambar diri yang rusak
Orang yang cenderung melukai orang lain secara rasis dengan makian dan hinaan adalah orang yang tak bisa menerima dirinya sendiri. Realitanya adalah kita tak bisa mengasihi orang lain bila kita belum bisa mengasihi diri sendiri.Dan tak mungkin mengasihi Sang Pencipta kalo belum bersyukur dan bangga dengan apa yang dikaruniakan berupa fisik lahiriah, bakat alami dan garis tangan dari Sang Kuasa.
3. Tidak diajarkan soal multi budaya dan multi ras baik di dalam keluarga, Â maupun di lingkungan kala tumbuh dan berkembang.Â
Berapa banyak orang tua yang menerapkan Bhineka Tunggal Ika pada anak -anaknya? Menerapkan bukan mengajarkan. Karena mengajarkan itu hafalan, menerapkan itu melakukan. Berapa banyak anak -anak kita, yang sekolah dan memiliki teman-teman dengan SARA yang berbeda. apa yang diajarkan pada mereka? Ataukah kita membiarkan, kala anak -anak kita bercanda dan memaki teman nya atau orang lain dengan sebutan binatang dan kita mengabaikannya saja dan bukan malah menegurnya.Kita sedang menanam benih rasisme tanpa disadari.Â