" Jakartalah...Dibandara pula. Bukan Lombok apalagi Sumbawa," jawab saya sedikit tersenyum
Saya kemudian membayar dan kami bertiga berkemas untuk keluar. Sesaat sebelum kami keluar dari warung makan itu, masuk sekelompok orang yang hendak makan. Sepertinya mereka baru turun dari pesawat seperti kami tadi. Ada yang mesan sop kikil, soto dan anake makanan lain. Dalam hati, kita aja tadi tanpa sop dan soto bayar segitu, apalagi mereka...hehe#. Eitss...siapa tau lebih murah. Wallahualam dah#
Di luar bandara kali murah. Minggu lalu, tanggal 20 September 2019 lalu, Â saya berada di Bandara Soeta ngurus bagasi di Lion untuk pulang dari Jakarta ke Lombok, saya coba pesan segelas kopi hitam , kopinya adalah kopi hitam sachetan ada nama kapal di kemasannya. Itu kesukaan saya.
Kata pelayannya yang resto nya berada tepat di samping ruang pemberangkatan domestik itu harganya 25 ribu untuk satu sachet. Ya Tuhan, di Sumbawa 3 ribu per gelas, di Bandara Soeta 25 ribu per gelas.Â
Terus pegawai dan karyawan, termasuk cleaning service dan lainnya, Â yang bekerja di lingkungan bandara ini makan di mana? Bila sekali makan atau minum harganya segitu, berarti kemungkinan besar standar gajinya tinggi.
Browsing di internet UMK DKI Jakarta 2019 kisaran 3,9 juta per bulan, tapi bila sekali makan 50 ribu, asumsi sehari 150 ribu, betapa UMK segitu manalah cukup untuk 30 hari. Ternyata mahal juga hidup di Jakarta.Â
Kok Bisa Harga di Bandara Lebih Mahal?
Saat kami berjalan menuju stasiun kereta bandara, saya jadi kepikiran mengapa harga di bandara mahal. Pertama mungkin karena sewa kontraknya mahal, beda dengan sewa di mall apalagi di ruko pinggir jalan. Lantaran biaya operasional untuk lokasi usaha tinggi, meski ruangnya ngga luas -luas amat, cost nya itu dialihkan ke produk yang dijual, termasuk produk makanan dan minuman.
Secara penghasilan, penumpang yang menggunakan moda transportasi udara sebagian besar tergolong menengah ke atas. Masuk akal karena harga tiket pesawat saja lumayan mahal.
Golongan ekonomi bawah, dengan penghasilan di bawah UMK jarang bisa membelinya. Jadi harga makanan dan minuman segitu, mungkin bagi pengelola usaha di dalam lokasi bandara, masih mampu dijangkau oleh mayoritas penumpang.
Selain itu, bila kita perhatikan, tidaklah banyak pesaing usaha sejenis di dalam bandara, baik di lantai gate atas maupun di pelataran depan bandara. Bakso tembak dan Restoran Solaria di Bandara Lombok hanya satu kedai nya di lantai bawah.
Di lantai dua dimana banyak gate di atas nya, tidak ada usaha sejenis. Â Dengan siapa mereka harus bersaing harga dalam kawasan bandara?. Pengelola bandara dan pengelola usaha juga mengenali pola perilaku penumpang yang enggan mencari makanan dan minuman keluar bila sudah ada dalam bandara.Â