" Makan apa?" tanya saya
"Terserah dah...udah lapar juga saya nih," sambung Ade
" Tapi kita mesti naik MRT ya. Kapan lagi. Naik grab sudah biasa, naik bis apalagi," kata saya
Kami bertanya pada petugas bandara yang berjaga di pintu keluar. Bila mau naik kereta, kami harus ke arah mana. Oleh abang petugas yang umurnya kisaran masih tiga puluhan itu, kami di suruh ke arah kiri menuju kantor stasiun perhentian kereta. Di depan nya ada berderet rumah makan, cafe, kedai bakso dan jajanan lainnya. Pilihannya banyak.Â
Pandangan kami tertuju pada sebuah warung makan. Tampilan luar layaknya warteg. Sederhana, tidak banyak ornamen dan dekorasi di luarnya.
Kalau di Sumbawa biasanya kami sebut rumah makan nasi campur. Pemiliknya kebanyakan berasal dari suku Jawa, harganya mulai sepuluh ribu hingga dua puluh ribu seporsi. Ditambah minum, kurang lebih tiga puluh ribu. Dari luar terlihat lauk (ayam,daging), sayur dan masakan lainnya khas rumahan.Â
" Silahkan Mas. Mungkin mau sop kikil atau soto ayam kali, "sambut Mba dan Mas pelayannya.
Kami bergegas masuk. Uki pesan seporsi nasi campur lauknya ayam goreng, minumnya es jeruk. Saya juga nasi campur lauknya ikan goreng, minumnya satu botol air kemasan dan segelas teh hangat. Ade makannya sama cuma minumnya es teh.
Kami juga pesan tambahan satu porsi nasi putih untuk dibagi bertiga bila masih dirasa kurang kenyang. Taulah kalo cowok-cowok yang makan...porsi nasinya agak banyak dikit, hehe.
Ada sekitar satu jam kami di sini. Selesai makan, masih buka-buka HP lagi, ngecek email atau info penting dari kantor sebelum kami naik kereta.Â