Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berbagi Kisah Perjalanan dari Sumbawa ke Jakarta (Part 4, Terakhir)

1 Oktober 2019   20:19 Diperbarui: 2 Oktober 2019   01:57 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah tulisan perjalanan bagian terakhir....Apa yang ditemui, dilihat dan diamati. 
Karena sejatinya menulis adalah untuk berbagi

Turun dari pesawat Lion Air JT 657 yang membawa kami dari Lombok menuju Jakarta di siang pukul 2 waktu Bandara Soeta tanggal 25 April 2019 lalu, Uki dan Ade segera bergegas ke toilet. Suhu dingin di dalam kabin selama penerbangan memang kadang membuat para penumpang ingin segera ke kamar kecil setelah pesawat landing. Apalagi bila pesawat pagi pukul enam atau tujuh, sebagian orang belum sempat ke belakang. Memilih menggunakan toilet di dalam pesawat pun sepertinya tidak banyak penumpang yang melakukan

Bisa jadi karena alasan ribet, mesti antri dulu atau mungkin tidak nyaman sehingga sebagian memilih untuk melakukannya setelah pesawat mendarat. Saya sendiri sampai seumur ini, selama naik pesawat tidak pernah buang air kecil di toilet pesawat. Bukan apa -apa, takut aja terjebak di dalam ngga bisa keluar, hehe :) 

Saya duduk di kursi tunggu depan toilet pria menjaga ransel mereka. Beberapa saat kemudian mereka keluar lalu kami berjalan menuju pintu keluar di terminal 1. Tidak ada bagasi yang dibawa. Masing-masing sudah cukup dengan satu tas ransel di pundak.

Ransel Uki berisi laptop yang akan kami pakai untuk melihat kembali materi presentasi di hotel.

Ransel Ade saya titipkan beberapa hard copy materi serta beberapa alat pendukung yang telah kami gunakan selama implementasi ide. Buat jaga -jaga aja bila para juri nanti meminta seperti apa digunakan, selain tampilannya di power point, contohnya juga kami tunjukkan secara langsung.

Ransel milik saya isinya baju adat Kabupaten Sumbawa untuk lelaki yang akan kami kenakan saat hari final besok di tanggal 26 April 2019

"Makan dulu ya, lapar sekali," kata Uki saat kami tiba di pintu keluar

Tadi pagi di Bandara Lombok, kami belum sempat makan. Hanya ngopi aja. Padahal plecing ayam kampung di warung -warung sisi bandara lumayan murah. Sepuluh ribu sampai lima belas ribu sudah kenyang sekali. Ditambah es teh atau jeruk hangat hanya habis dua puluh ribu. 2M itu alias murah meriah....hehe. 

Biaya hidup di Lombok dan Mataram memang lebih murah dari Sumbawa kendati dua -duanya masih dalam satu propinsi. Banyak pedagang buah di Sumbawa, beberapa adalah nasabah saya di kantor, bercerita bahwa mereka membeli buah di Mataram dan menjualnya di Sumbawa dengan keuntungan yang lumayan. 

Saya beberapa kali bila pulang ke Bali melewati jalan darat, tidak lupa membeli buah jeruk sebagai 'camilan' di kapal feri dari Pelabuhan Lembar ke Pelabuhan Padang Bay. Lebih murah memang per kilo bila dibandingkan membeli di Sumbawa. 

" Makan apa?" tanya saya

"Terserah dah...udah lapar juga saya nih," sambung Ade

" Tapi kita mesti naik MRT ya. Kapan lagi. Naik grab sudah biasa, naik bis apalagi," kata saya

Kami bertanya pada petugas bandara yang berjaga di pintu keluar. Bila mau naik kereta, kami harus ke arah mana. Oleh abang petugas yang umurnya kisaran masih tiga puluhan itu, kami di suruh ke arah kiri menuju kantor stasiun perhentian kereta. Di depan nya ada berderet rumah makan, cafe, kedai bakso dan jajanan lainnya. Pilihannya banyak. 

Pandangan kami tertuju pada sebuah warung makan. Tampilan luar layaknya warteg. Sederhana, tidak banyak ornamen dan dekorasi di luarnya.

Kalau di Sumbawa biasanya kami sebut rumah makan nasi campur. Pemiliknya kebanyakan berasal dari suku Jawa, harganya mulai sepuluh ribu hingga dua puluh ribu seporsi. Ditambah minum, kurang lebih tiga puluh ribu. Dari luar terlihat lauk (ayam,daging), sayur dan masakan lainnya khas rumahan. 

dokpri_rumah makan
dokpri_rumah makan
'Di sini aja ya," ajak Uki

" Silahkan Mas. Mungkin mau sop kikil atau soto ayam kali, "sambut Mba dan Mas pelayannya.

Kami bergegas masuk. Uki pesan seporsi nasi campur lauknya ayam goreng, minumnya es jeruk. Saya juga nasi campur lauknya ikan goreng, minumnya satu botol air kemasan dan segelas teh hangat. Ade makannya sama cuma minumnya es teh.

Kami juga pesan tambahan satu porsi nasi putih untuk dibagi bertiga bila masih dirasa kurang kenyang. Taulah kalo cowok-cowok yang makan...porsi nasinya agak banyak dikit, hehe.

Ada sekitar satu jam kami di sini. Selesai makan, masih buka-buka HP lagi, ngecek email atau info penting dari kantor sebelum kami naik kereta. 

" Berapa Mba? " tanya saya saat kami hendak membayar

"Mas nya sendiri atau sama teman -temannya?" tanya Mba pelayan yang masih mudah, sekitaran dua puluhan umurnya

" Semuanya 280 ribu," Jawabnya

Sesaat saya sedikit terkejut mendengar kata 280 ribu dari bibir mba nya yang dipulas lipstik merah jambu

"Berapa Mba?" tanya saya ulang

"280 ribu sudah sama mas -masnya itu," katanya sembari kepala dan lehernya menunjuk ke arah Uki dan Ade yang sedang santai duduk di bangku rumah makan dan mengisap rokok dengan nikmatnya . 

dokpri_harga makanan
dokpri_harga makanan
Mereka tidak melihat le arah saya. Mereka juga tidak menyadari bila saya sedang 'terngaga ' sementara waktu kala mendengar harga 280 ribu. Untuk tiga orang dengan porsi nasi campur di tambah minum bisa sampai segitu. Padahal uang yang saya siapkan kurang lebih 150 ribu dengan asumsi masing-masing per orang 50 ribuan. Dalam hati : OMG...harga makanan di dalam Bandara Soeta, dari luar tampilan sederhana, dalam nya bisa seharga kopi di Starbuck. Weleh-Weleh. 

Saya kembali ke kursi dan mengambil tambahan uang dari dalam ransel. Uki dan Ade yang lagi asyik dengan rokok masing-masing di mulut, melihat saya dengan pandangan bertanya dalam hati

'Kurang bos?" tanya Ade

"280 ribu," jawab saya

Hah...?? Keduanya berpandangan

" Jakartalah...Dibandara pula. Bukan Lombok apalagi Sumbawa," jawab saya sedikit tersenyum

Saya kemudian membayar dan kami bertiga berkemas untuk keluar. Sesaat sebelum kami keluar dari warung makan itu, masuk sekelompok orang yang hendak makan. Sepertinya mereka baru turun dari pesawat seperti kami tadi. Ada yang mesan sop kikil, soto dan anake makanan lain. Dalam hati, kita aja tadi tanpa sop dan soto bayar segitu, apalagi mereka...hehe#. Eitss...siapa tau lebih murah. Wallahualam dah#

Di luar bandara kali murah. Minggu lalu, tanggal 20 September 2019 lalu,  saya berada di Bandara Soeta ngurus bagasi di Lion untuk pulang dari Jakarta ke Lombok, saya coba pesan segelas kopi hitam , kopinya adalah kopi hitam sachetan ada nama kapal di kemasannya. Itu kesukaan saya.

Kata pelayannya yang resto nya berada tepat di samping ruang pemberangkatan domestik itu harganya 25 ribu untuk satu sachet. Ya Tuhan, di Sumbawa 3 ribu per gelas, di Bandara Soeta 25 ribu per gelas. 

Terus pegawai dan karyawan, termasuk cleaning service dan lainnya,  yang bekerja di lingkungan bandara ini makan di mana? Bila sekali makan atau minum harganya segitu, berarti kemungkinan besar standar gajinya tinggi.

Browsing di internet UMK DKI Jakarta 2019 kisaran 3,9 juta per bulan, tapi bila sekali makan 50 ribu, asumsi sehari 150 ribu, betapa UMK segitu manalah cukup untuk 30 hari. Ternyata mahal juga hidup di Jakarta. 

Kok Bisa Harga di Bandara Lebih Mahal?
Saat kami berjalan menuju stasiun kereta bandara, saya jadi kepikiran mengapa harga di bandara mahal. Pertama mungkin karena sewa kontraknya mahal, beda dengan sewa di mall apalagi di ruko pinggir jalan. Lantaran biaya operasional untuk lokasi usaha tinggi, meski ruangnya ngga luas -luas amat, cost nya itu dialihkan ke produk yang dijual, termasuk produk makanan dan minuman.

Secara penghasilan, penumpang yang menggunakan moda transportasi udara sebagian besar tergolong menengah ke atas. Masuk akal karena harga tiket pesawat saja lumayan mahal.

Golongan ekonomi bawah, dengan penghasilan di bawah UMK jarang bisa membelinya. Jadi harga makanan dan minuman segitu, mungkin bagi pengelola usaha di dalam lokasi bandara, masih mampu dijangkau oleh mayoritas penumpang.

Selain itu, bila kita perhatikan, tidaklah banyak pesaing usaha sejenis di dalam bandara, baik di lantai gate atas maupun di pelataran depan bandara. Bakso tembak dan Restoran Solaria di Bandara Lombok hanya satu kedai nya di lantai bawah.

Di lantai dua dimana banyak gate di atas nya, tidak ada usaha sejenis.  Dengan siapa mereka harus bersaing harga dalam kawasan bandara?. Pengelola bandara dan pengelola usaha juga mengenali pola perilaku penumpang yang enggan mencari makanan dan minuman keluar bila sudah ada dalam bandara. 

Pelataran bandara juga adalah ruang berkumpul antara pengantar dan yang diantar, ruang nongkrong sembari menunggu pesawat take off, atau menghabiskan waktu andai pesawat delay. Interior dekorasi dan kenyamanan di dalam ruang usaha juga disesuaikan.

Ujung -ujungnya terkoreksi ke harga produk yang dijual. Dengan volume traffic penumpang setiap hari datang dan pergi bandara sudah pasti ada yang singgah meski harganya merobek dompet...haha# Paling tidak dengan tau asal muasal kenapa harga nya segitu, bisa jadi kita tidak terlalu mempersoalkannya. 

Sensasi Kereta Bandara 
Tak ada akar rotan pun jadi. Tak dapat naik MRT, kereta bandara pun tidak masalah. Niat utama menjajal MRT, namun kami bingung dimana stasiunnya dan harus ke arah mana mencari loket atau mendapatkan tiketnya. Oleh petugas kami diarahkan ke lantai dua. Di atas kami duduk dan menunggu sebentar untuk selanjutnya naik skytrain atau kereta layang menuju stasiun kereta bandara.

dokpri
dokpri
Tujuan kami ke Hotel Erian sebagai lokasi penginapan, berdekatan dengan kawasan Monas. Mengingat padatnya acara pada final day di tanggal 26 April 2019 dan setelah itu besok pagi nya jam 7 kami sudah harus ke bandara Soeta untuk balik ke Lombok, kami memutuskan untuk mampir dulu membeli oleh-oleh buat teman -teman dan keluarga yang sudah request sebelum kami ke Jakarta. 

Taulah orang Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, ada teman, sodara, keluarga atau kerabat yang perjalanan dinas atau traveling ke pulau lain, apalagi namanya ke kota besar atau luar negeri, selalu semuanya minta oleh-oleh.

Dari jaman naik pesawat masih gratis bagasi sampai jaman now mesti bayar bagasi, kebiasaaan minta oleh -oleh ngga berubah. Padahal dipikir -pikir bayar bagasi bisa sama besar nilai uangnya dengan tiketnya...hehe. 

Sebagian besar pesan baju, jadi kami berniat ke Tanah Abang yang katanya murah-murah di sana. Tapi setelah kami browsing, ternyata Tanah Abang hanya buka sampai sore sekitaran jam 5. Akhirnya kami putuskan ke Pasar Senen aja lantaran jaraknya dengan tempat kami menginap juga tidak terlalu jauh. 

"Kami mau Pasar Senen. Bisa bantu kami, harus turun dimana," tanya Uki pada petugas yang melayani di loket pembelian tiket. 

Namanya Mas Iqbal, pria dengan usia kurang lebih 30 an yang bertugas pada sore itu memandu kami untuk membeli tiket secara online via mesin tiket dengan menggunakan kartu ATM. Uki pun mencobanya. Tidak sampai 2 menit, keluar tiga tiket dengan harga 60 ribu per tiket per orang.Berarti terbayar 180 ribu. 

"Mas-mas nya nanti turun di Stasiun BNI City, dari sana bisa menggunakan bus trans ke Pasar Senen," saran Mas Iqbal

dokpri-tiket kereta bandara
dokpri-tiket kereta bandara
Kami mengucapakan terima kasih dan menunggu di ruang tunggu penumpang yang desainnya interior bagus banget. Tidak lupa saya take beberapa foto sebagai bahan dokumentasi untuk tulisan ini. Lalu lalang pengguna kereta bandara di ruang antrian tidak terlalu ramai seperti halnya di Stasiun Kereta Api pada umunya.

Bisa jadi sebagian orang dari bandara lebih memilih menggunakan angkutan grab, angkutan bis atau mungkin juga karena harganya termasuk mahal dalam tanda kutip bila dihitung harga tiket per orang. 

Tempat pemberhentian kereta yang terpusat hanya pada beberapa stasiun, mungkin juga membuat para penggunanya mesti menyambung dengan moda transportasi lain menuju lokasi yang dituju.

Tapi menurut saya, demikianlah fungsi simpul transportasi di perkotaan. Setidaknya dengan hadirnya kereta bandara, selain MRT, beraneka pilihan moda disajikan pada masyarakat urban. Ibaratnya mau pilih yang mana terserah loe. Syarat dan konsekuensi berlaku. 

dokpri_tak penuh terisi
dokpri_tak penuh terisi
Namun bagi kami bertiga, harga kereta bandara sepadan dengan kenyamanan, kebersihan, fasilitas tempat duduk dan interior desain di dalam kereta bandara. Yang pasti tidak kena macet dan terjadwal. Bila di sekolah umum saat ujian ada ungkapan populer selesai tidak selesai kumpul, di Stasiun Kereta Bandara, berlaku aturan : penuh tidak penuh penumpang, kereta akan jalan sesuai jadwal...hehe. 

Kereta berangkat jam 15.50 WIB. Saya melihat ke depan dan ke belakang dari tempat kami duduk tidak banyak kursi yang terisi penumpang.Ruang dalam kereta sangat bersih. Begitu juga tempat duduknya, masih terlihat baru.

Tidak ada pemeriksaan ulang di dalam kereta dimana petugas akan berjalan dari kursi ke kursi dan mengecek ulang kesesuain antara tiket dan penumpang. Toilet di dalam kereta juga nampak bersih dan terpasang rapi. Saya sengaja berjalan ke gerbong berikutnya untuk melihat-lihat keadaan di gerbong sebelah. Sama saja, bersih, rapi, nyaman dan tidak terisi penuh penumpang. 

dokpri_jadwal kereta bandara
dokpri_jadwal kereta bandara
Kurang lebih satu jam kereta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman Baru atau yang disebut BNI City. Kami kemudian melanjutkan dengan bus trans ke arah Pasar Senen dengan membayar sepuluh ribu lima ratus rupiah untuk tiga orang. Melewati jembatan penyeberangan, kami tiba di pasar yang namanya sama dengan nama stasiun keretanya. Ternyata Pasar Senen juga sudah mulai tutup jelang magrib. Maksud hati mencari oleh -oleh di dalam pasar ternyata lapak -lapaknya sudah mulai berbenah untuk pulang. 

Di pinggir jalan di depan pasar, ada beberapa pedagang kaos dengan gambar-gambar ikon Jakarta. Akhirnya kami membeli di situ beberapa. Di seberangnya ada plasa Atrium Senen, kami menyeberang ke sana. Lumayan juga jauhnya...hehe. Beberapa baju pesanan oleh -oleh untuk teman dan keluarga kami pun beli di situ. 

Dalam hati, ternyata ribet juga cari oleh-oleh. Mana pake bawa -bawa ransel segala di pundak...hehe. Pelajaran nya buat yang suka titip beli ini dan itu, berilah uang lebih. Bukan apa -apa, bila mencari di lokasi yang dituju tidak ada, setidaknya ada uang lebih buat mbayar ongkos grab atau kendaraan untuk mencari di lokasi yang lain. Jangan sampai sudah dibeli, saat pulang dan di kasih malah berkomentar : kok yang gini ya #Haha...sini abang ketok...wkwk#

dokpri_kaos oleh-oleh
dokpri_kaos oleh-oleh
Dari Atrium Senen, setelah semua pesanan dibeli, kami balik ke hotel dengan jasa grab mobil. Bayarnya 14 ribu. Murah juga ya bila dibandingkan dengan grab di daerah. Di Sumbawa belum ada grab, biasanya saya dan teman -teman kantor menggunakan jasa grab bila ada training atau meeting di Denpasar. Untuk orang bertiga jarak dari Atrium Senen ke Hotel Erian termasuk murah. Lagian tu mobil bisa muat sampai 5 orang.

 Menurut saya, untuk kota besar dengan mobilitas yang tinggi, jasa transportasi seperti grab memang memudahkan. Tinggal kebijakan nya saja dari pemegang kebijakan transportasi dalam hal ini kementerian perhubungan dangan stakeholder di bawahnya agar tidak berbenturan dengan jasa transportasi darat yang lain. Bukan kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra, tapi kebijakan yang bersifat win-win solution dan mengayomi semuanya baik baik para penggunanya maupun para operatornya.

Tiba di Hotel Erian sudah pukul 18.30 WIB. Kami segera mandi dan bersiap lantaran mesti menghadiri makan malam bersama di Restauran Bebek Bengil sekalian mencabut nomor undian untuk urutan tampil pada final presentasi besok. 

Transportasi dari hotel ke resto tersebut bayarnya 14 ribu. Pulangnya juga 14 ribu. Kok sama ya seperti dari Atrium ke hotel tadi. Apa rata-ratanya memang segitu untuk kawasan sekitar sini atau bisa jadi jaraknya tidak terlalu jauh.

Beruntungnya menggunakan aplikasi ini kami dapat men screenshot tampilan layar dan ongkos nya di layar HP untuk bisa di claim penggantiannya sebagai biaya perjalanan dinas. 

 Dari hasil tarikan nomor urutan, kami bertiga dapat nomor 9 dari 12 nomor yang disediakan. Ada dua belas  finalis berarti kami urutan ke sembilan yang tampil. Well....kami bertiga sudah siap, terutama saya secara pribadi, urutan tampil nomor berapapun, kami siap. Sepuluh bulan kami mambuat nya, sudah panjang proses yang dilewati sampai pada tahap ini, apapun hasilnya, kami siap. 

Sesampainya di hotel kami latihan presentasi dan menjawab pertanyaan -pertanyaan yang kami buat sendiri. Misalkan para juri menanyakan ini, apa jawabannya kita. Masing -masing slide, kami bikin pertanyaan nya. Jawaban dan pertanyaannya Ade ketik dan WA ke ke grup WA yang isinya cuma kami bertiga. 

Pada sesi final besok, waktu presentasi dibatasi , kami mencoba latihan dengan mengukur waktunya. Lebih ulang lagi. Salah kata atau ada kata -kata yang tidak perlu, kami ulang lagi sampai menemukan kata -kata yang singkat, jelas dan tidak terbata-bata, minimal sebelum waktu habis kami sudah selesai. Ade dan Uki sudah terkantuk -kantuk, namun semangat yang menguatkan kami bertiga hingga jam 3 pagi kami selesai latihan

Nothing To Lose But..... 
Jumat, 26 April 2019 adalah final day. Mulai pukul 08.30 WIB sampai 18.00 WIB. Seharian penuh diselang break sholat jumat teman-teman yang beragama muslim. Dengan urutan nomor 9, kami kebagian tampil setelah istirahat makan siang. Selama dalam ruangan, agak ribet juga kebelakang lantaran kami menggunakan baju adat Kabupaten Sumbawa, mewakili kota cabang kami berasal. 

Teman-teman finalis dari Cabang Singkawang  area Kalimantan juga mengenakan busana daerah Singkawang  bercorak merah, ada motif chinesenya. Wakil finalis dari area Kalimantan ini satu team bertiga ada dua cowok dan satu cewek sehingga kita bisa melihat bagaimana busana daerah Singkawang untuk laki-laki dan  juga busana daerahnya untuk wanita. 

Sebaliknya teman-teman dari Cabang Denpasar Bali tampil beda menggunakan kaos bali bergambar barong dengan tutup kepala udeng. Beda sedikit dengan salah satu finalis dari Cabang Malang area Jawa Timur yang tampil layaknya supporter sepak bola aremania. Berkostum biru-biru, tim dari Kota apel itu mengenakan tambahan ikat kepala bertulis Sasaji alias salam satu jiwa aremania.

Tampilan tim dari area Sumatra elegan mengenakan busana padang. Cabang Makasar yang berhasil mewakili area Sulawesi, tim nya tiga orang seluruhnya cowok-cowok semua tampil menarik dengan busana khasnya dengan kain berwarna merah dan tutup kepala sembari membawakan suguhan drama singkat dari cerita khas sulawesi selatan. 

dokpri_bersama tim finalis lain
dokpri_bersama tim finalis lain
Memang panitia mewajibkan dress code yang mencirikan daerah dan kota asal. Semua finalis tampil beda, termasuk tim-tim finalis dari ibu kota. Di sela -sela urutan tampil dan sesi presentasi, masing -masing tim juga menampilkan tari, lagu dan budaya daerah nya atau special performance. Nantinya akan ada reward dari juri untuk best performance dengan hadiah uang sekian juta. Lumayan lah. Itu diluar juara 1 dan juara 2. 

Pada lomba inovasi ini, sama seperti tahun sebelumnya, selain hadiah uang bagi semua finalis, 5 tim terbaik akan dipilih sebagai juara pertama dengan hadiah utama trip gratis ke Korea Selatan, dan 7 tim lainnya sebagai juara kedua yang juga mendapatkan trip gratis ke negara yang negaranya lebih dekat dengan Indonesia, yakni ke Thailand. 

Di akhir sesi, setelah semua finalis tampil, seluruh kami baik para finalis maupun panitia diminta untuk keluar dari ruangan. Para juri petinggi -petinggi pusat itu akan berembuk untuk menentukan tim mana yang dipilih sebagai juara 1 maupun juara 2.

Ada sekitar 30 sampai 40 menit kami di luar. Saya ajak Ade dan Uki kami ngopi di sebuah minimarket terkenal yang berdiri samping lokasi acara. Kopi hitem sachet harganya 5000 per cup. Tidak terlalu beda jauh harganya dengan di Sumbawa, bila beli di minimarket seperti ini, harganya 4000 per cup. 

Masuk kembali, perasaan deg -degan meliputi semua finalis. Puji syukur, tim kami dari Cabang Sumbawa bersama tim dari Cabang Malang, Cabang Singkawang Pontianak, Cabang Denpasar Bali dan tim dari IT kantor pusat terpilih sebagai juara pertama dan berhak mendapatkan hadiau utama trip ke Korea Selatan. Tujuh tim lainnya ditetapkan sebagai juara kedua.

Kami bersyukur dapat melihat negeri gingseng itu dari dekat dan mempelajari budaya, ekonomi dan pariwisata di negara yang pernah menjadi tuan ruma Piala Dunia sepakbola di tahun 2002. 

Nothing to lose, but....Tidak berharap lebih, namun diberikan lebih. Pertengahan bulan lalu , tanggal 15 September sampai dengan tanggal 20 september 2019, kami dan teman--teman pemenang sudah melakukan trip ke South Korea.

Bagaimana kisah trip di Korea Selatan? Apa yang kami lihat dan kemana saja kami, bagaimana kami membandingkan antara di Korea dan di Indonesia, akan  diceritakan di tulisan berikutnya.  

dokpri_Bandara Incheon Korea_ Sept 2019
dokpri_Bandara Incheon Korea_ Sept 2019
Salam Kompasiana, 

Biarlah tulisan dan kisahmu abadi menjadi jejak yang kan kau kenang. 

Ade dan Uki...kalian luar biasa.

 Sumbawa, 01 Oktober 2019, 21.25 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun