Mohon tunggu...
Adnan Maulana
Adnan Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri sunan gunung Djati Bandung

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antologi Puisi

17 Desember 2022   12:11 Diperbarui: 17 Desember 2022   12:36 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rasa

Dibawah langit bandung 

Dilahap gelapnya malam

Diiringi irama rintikan hujan

Dipersatukan oleh waktu yang jarang datang

Ada hati yang terguncang 

Ada nadi yang berdenyut kencang

Ada rasa yang tak pernah datang

Ada asa yang kini kunjung datang

Semua kini tertulis dalam angan 

Yang bisa menjadi peristiwa langka

Yang hanya bisa diulang sekali saja

Dalam dua jiwa dan raga yang bededa

Mengapa?........

Mengapa rasa yang kau ciptakan bisa sebahagia ini?

Bisa seagresif ini?

Rasa yang menggelebuk kini semakin kuat

Bagai erosi letusan gunung berapi

 Tersirnanya kanjuruhan Malang

Renungkanlah setiap sudut tribun

Yang memiliki sayup-sayup tangisan, 

Rintihan, serta Jeritan yang begitu mengharapkan pertolongan.

Kepada sekumpulan-sekumpulan terdengar

Rintihan layaknya meneriakan kita. 

Tak dapat melakukan apapun

Seperti halnya patung yang hanya berdiam.

Di tengah lapangan

maradona masih menari di atas bola.

bulatan nasib yang selembut duka

 buntalan daging yang membalut kandungan bunda

tempat janin kudus mengarungi hari-hari agung penciptaan

puisi pengembara yang ditenun dari benang-benang aksara.

Aku ingin masuk ke dalam bola, ingin meringkuk di sana.

Permainan sudah selesai, 

perburuan tidak akan pernah usai.

Kostum, bendera, spanduk bertebaran di pinggir sana,

Ribuan penonton telah berpulang meninggalkan stadion

Tempat yang kalah dan yang menang bertukar celana,

Maapkan kami yang tak faham rahasia bola

Banyak ibu yang trauma dengan bola

Banyak ayah yang kecewa penuh luka

Semua berawal dari ricuhnya peristiwa

yang menerus berujung duka

Payung

Hi, ini judulnya payung

Tapi bukan payung teduh yang punya Akad

Ini tentang payung, tentang kita

Sekali lagi tentang kita. Aku, kamu lalu kita

Berawal dari jamuan rintik

Gusar karena diam tanpa topik dialek, sedikit terusik

Berkat hanya satu payung

Dengan ragu, tawaran dari bibirmu mengalun terdengar merdu waktu itu

Rasanya aarghh!!!

Kupu-kupu menggelitik perutku

Sungguh, tawaranmu mematri lekuk indah bibirku

Memunculkan rona merah jambu pada kedua pipiku

Ternyata, romansaku berawal dari payung

Romansaku sesederhana ini kah?

Oh Tuhanku, pelangi-Mu untukku kini menjadi bagian dari jiwaku untuk selalu menjemput syukurku pada-Mu

Payung, aku, kamu lalu kita

Semogaku adalah jadikan kita seperti kisah Payung Teduh milik akad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun