Theona tidak menanggapinya. Ilyas selalu antusias setiap mengabarkan rencana kepergiannya, sementara bagi Theona itu adalah kabar buruk.
Setiap Ilyas pergi berlayar, hati dan pikirannya selalu dipenuhi oleh kekhawatiran yang berlebihan. Theona membayangkan, hari-harinya akan kembali dipenuhi dengan rasa rindu dan cemas.
"Kenapa, kamu diam saja?" protes Ilyas.
Theona tetap diam, suasana hatinya benar-benar sedang kelabu, seperti mendung di langit malam itu.
Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Sesungguhnya, gadis itu ingin sekali melarang Ilyas untuk pergi berlayar, tapi itu tidak mungkin dia lakukan karena dia sangat paham Ilyas memang sangat menyukai pelayaran.
 "Berapa lama kamu di sana?" tanya gadis itu akhirnya.
"Tidak tahu, semua tergantung pada penjualan tembikar kami. Kami juga akan membeli tembakau, buah kurma, tekstil dan karpet di sana," jawab Ilyas.
Theona kembali terdiam. Gadis itu berhitung dalam hati, paling tidak dia harus menunggu satu sampai dua minggu lagi untuk bertemu pemuda pujaan hatinya itu. Ilyas pun menyadari kegundahan kekasihnya itu.
 "Setibanya dari berlayar, aku akan langsung ke sini menemuimu," kata Ilyas mencoba menenangkan hati gadis itu.
"Sungguh?" tanya Theona.
"Ya, aku berjanji," jawab Ilyas cepat.