Keempat pemuda lainnya, Ilyas, Umit, Petros dan Vasilius sedang sibuk mengatur layar agar angin yang masuk ke ruang diantara layar-layar di perahu itu memiliki kecepatan yang cukup untuk melajukan perahu mereka.
Cuaca malam ini cukup cerah. Jika tidak ada halangan, mereka akan tiba di Midilli besok pagi. Oruc tersenyum puas, misi dagang mereka kali ini bisa dibilang yang paling sukses.
Oruc dan adiknya Ilyas bersama ketiga orang anak buah mereka itu baru saja menyelesaikan misi dagang di negeri Arab. Ratusan tembikar, minyak zaitun, dan tanaman adas yang mereka bawa, semuanya telah terjual habis.
Dalam perahu itu, mereka juga membawa pulang tembakau, buah kurma, tekstil dan karpet yang mereka beli dari para pedagang Arab untuk dijual lagi di Pulau Midilli.
Tidak berapa lama kemudian, Ilyas datang menghampiri Oruc.
"Angin malam ini cukup bersahabat. Besok pagi kita akan tiba di Mitilini."
Oruc mengangguk dan menepuk pundak adiknya itu. "Iya, Alhamdulillah. Barang-barang yang kita bawa juga semuanya habis terjual. Ayah pasti akan sangat senang."
Ilyas mengangguk. "Aku juga sudah membeli kerudung pesanan ibu."
"Oh, ya. Seperti apa?" tanya Oruc.
Ilyas mengeluarkan bungkusan yang disimpan di saku bajunya, lalu mengeluarkan selembar kain sutera dan menyerahkannya ke Oruc.
Â
"Lembut sekali," kata Oruc sambil mengusap-usap kain itu.
"Kata Jalil, itu sutera dari Cina," kata Ilyas lagi.
Oruc menggangguk tersenyum. "Ibu pasti sangat menyukainya."
Â
Ilyas memang sangat dekat dengan ibunya, setiap berlayar dengan Oruc, dia tidak pernah lupa mencari oleh-oleh untuk menyenangkan ibunya itu.