Mohon tunggu...
Mohammad Adlany
Mohammad Adlany Mohon Tunggu... -

Tegakkan Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dimensi Wujud Manusia

21 Mei 2011   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:23 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh jiwa, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran adalah bahwa melupakan jiwa dan melalaikannya akan menyebabkan Tuhan pun melalaikannya, “Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun akan dilupakan”[9]. Ayat-ayat Tuhan adalah jiwa manusia itu sendiri.

 

Dimensi yang belum Terungkap

Manusia memiliki dimensi-dimensi lain selain apa yang tersebut di atas. Sebagaimana al-Quran menyebutkan adanya dua mata lahiriah, dua telinga lahiriah, dan sebuah jantung lahiriah untuk manusia, dengan nada yang sama al-Quran juga mengatakan adanya dua mata batin, dua telinga batin, dan satu kalbu batin di dalam diri manusia.

Melihat Tuhan dengan mata lahiriah merupakan sebuah persoalan yang mustahil terjadi, akan tetapi manusia bisa menyaksikan Tuhannya dengan mata batin. Mata hati merupakan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya.

Oleh karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Imam Ali as, “Apakah engkau melihat Tuhan?”, beliau menjawab, “Lam a’bud rabban lam arahu (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat)”, dan selanjutnya bersabda, “Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala yang merupakan organ tubuh manusia, tetapi Dia bisa dilihat dengan mata yang berhubungan dengan hakikat keimanan”. Al-Quran memberikan perumpamaan untuk sebagian orang, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada”[10]. Pada ayat yang lain berfirman, “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat (kebenaran itu) maka (manfaatnya) ada bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya akan kembali kepada dirinya sendiri.”[11]

Jelaslah bahwa mata dan telinga yang disebutkan di dalam al-Quran ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisikal manusia. Tema ini mirip dengan seseorang yang menemui Einstein lalu menceritakannya kepada orang lain dengan mengatakan, “Aku melihat Einstein sebagai seorang yang sangat pandai dan cerdas”. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang tersebut menyaksikan ilmu dan kecerdasan Einstein dengan kedua mata kepalanya, yaitu dia memperoleh informasi ini dengan proses fisikal, ataukah dia memahami hal tersebut melalui metode yang lain? Apabila penyaksiannya adalah penyaksian fisik, maka setiap orang yang bertemu dengan Einstein harusnya juga mengetahui tingkat kepandaian dan kecerdasan ilmunya, padahal yang terjadi tidaklah demikian, hanya orang yang mengenalnya bisa memastikan kejeniusan dan ketinggian ilmunya, dan hanya penyaksian batin yang setelah melakukan sekian waktu penelitian, mampu mengenal ketinggian ilmu Einstein.

Menjadi jelas bahwa penyaksian orang ini, bukan penyaksian yang berbentuk lahiriah.

Sayangnya, dunia saat ini lebih sering mengesampingkan satu dimensi yang sangat agung ini, melainkan mereka malah hidup dalam keadaan jahil dan tak memiliki informasi tentangnya. Kebanyakan dari mereka lebih menginginkan melihat segala sesuatunya dengan visi dan pandangan material, sehingga mereka mengobservasi seluruh hakikat-hakikat makrifat yang sangat tinggi di dalam laboratorium-laboratorium empirik, lalu menegaskan bahwa setiap eksistensi yang bisa diindera secara lahiriah yang memiliki keberadaan, dengan pernyatan ini sebenarnya mereka secara tak sengaja mengakui dimensi rasionalitas yang notabene adalah realitas non-inderawi dan non-materi. Sebagai contoh, apabila mereka mempelajari kitab yang ditulis oleh seorang ilmuwan besar, mereka akan mengatakan bahwa aku telah menemukan seorang ilmuwan besar, sementara apa yang dia temukan adalah merupakan hasil dari dimensi non-materi (yakni pengetahuan dan informasi dari kitab yang dibacanya).

Dengan demikian, secara yakin bisa dikatakan bahwa manusia telah dilengkapi dengan dimensi yang sangat agung dan paling berharga, dan manusia harus berusaha dan berupaya untuk menganalisanya secara lebih mendetail lagi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun