Mohon tunggu...
Mohammad Adlany
Mohammad Adlany Mohon Tunggu... -

Tegakkan Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dimensi Wujud Manusia

21 Mei 2011   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:23 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Mohammad Adlany

Manusia secara potensial memiliki seluruh kesempurnaan di alam. Lingkup gerak menyempurnanya meliputi tingkatan terendah in-organik hingga tingkatan tertinggi malakut. Jadi, kelayakan luar biasa dari mutiara alam semesta yang bernama manusia ini, bukanlah berada pada posisi terendah dari wujud jasmaninya, melainkan terletak pada sisi wujud ruhani, akal, dan malakutinya.

Manusia dengan derajat ruhani yang dimiliknya, tidak selayaknya ia meninggalkan posisi tertingginya dan menjerumuskan diri pada tingkatan terendah dengan mengikuti instink syahwat yang tidak lebih dari tingkatan yang dimiliki oleh seekor hewan. Manusia terkadang hanyut menikmati syahwatnya dan terkagum-kagum dengan kemenangannya melawan sifat antagonisnya, dan dengan segenap kemampuannya berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan instinknya.

Kecenderungan manusia ini tidak melebihi setengah wujudnya dan kehidupan seperti ini diungkapkan al-Quran sebagai kehidupan neraka, “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”[1] Ayat ini merupakan deskripsi kehidupan orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kehidupan hewan dan mengesampingkan kehidupan insani yang merupakan kedudukan tertinggi dan termulia. Yang diperhitungkan oleh orang semacam ini bukan kehidupan insaninya dan bukan pula koreksi dan kontemplasi atas dirinya, pada dasarnya apapun yang dipilih orang ini tidak akan pernah berharga dan dia akan mengalami kerugian dalam seluruh prilakunya.

Dari sini Allah swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan orang-orang kafir yang bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, maka jahannamlah tempat tinggal mereka.”[2]

Ibnu Sina dalam kitab Isyarat, mencoba menyibak tabir kelalaian yang merugikan manusia ini dan menjawab pertanyaan berikut, mengapa manusia yang secara esensial mencari kesempurnaan diri, malah sama sekali tidak memperhatikan kedudukan tertinggi yang dimilikinya?

Ia berkata, “Sekarang setelah seluruh hakikat dan jiwamu dibelenggu dan berada di bawah kekuasaan mekanisme tubuh, dan berbagai penghalang serta rintangan pun telah menyibukkanmu, hal ini telah membuatmu lalai terhadap kesempurnaan yang sesuai untuk dirimu dan engkau sama sekali tidak bersedih dengan adanya kelalaian ini. Ketahuilah, kelalaian ini berasal dari dirimu sendiri, karena sebenarnya tidak ada satupun tirai yang membatasi kesempurnaan tertinggi dan termulia tersebut dari dirimu, dan aku telah memperingatkan kepadamu akan sebagian dari rintangan-mu yang tak lain adalah berbagai aktivitas yang mengelilingimu dan telah membuatmu sibuk. Jadi, ketaksempurnaan dan kecerobohan muncul karena dirimu sendiri, dan hal ini yang menyebabkanmu tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya, dan sebagaimana orang-orang yang buta, engkau sama sekali tidak menyadarinya.”[3]

Perhatikan ayat ini dimana Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”[4] dan pada ayat lain Allah berfirman,  “engkau akan mati sebagaimana engkau hidup”, ini merupakan sebuah poin penting bagi kita supaya tidak salah menanggapi bahwa di akhirat kelak akan mendapatkan sesuatu yang tidak dilakukan di dunia.

 

Kecenderungan Kesempurnaan pada Manusia

Benar apabila dikatakan bahwa tabiat manusia sangat rumit dan untuk mengenalnya secara detail pun hal yang sangat sulit, akan tetapi untuk menjangkau sebagian dari prinsip-prinsipnya tidaklah sebegitu sulit, dengan syarat kita melepaskan diri dari ego kita dan kita tidak bermain dengan kata-kata serta tidak berada di bawah pengaruh keberhalaan benak kita.

Salah satu dari prinsip pembuktian tabiat manusia adalah mencari kesempurnaan yang akarnya terdapat di dalam diri manusia. Manusia secara dzat cenderung untuk melangkah ke arah kesempurnaan. Oleh karena itu, sejak masa kanak-kanak hingga tua senantiasa berada dalam upayanya untuk menuju pada kondisi-kondisi yang lebih tinggi dari kondisi yang tengah dijalaninya.

Seorang pelajar yang belajar di kelas satu SD akan berusaha untuk menuju ke kelas yang lebih tinggi dan ketika dia telah menyelesaikan kelas yang lebih tinggi, sekali lagi dia akan berusaha untuk menapaki kelas yang di atasnya lagi, demikian hingga dia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya lalu beranjak ke sekolah menengah tingkat pertama. Setelah menyelesaikan tingkat menengah inipun dia belum puas juga dan berusaha untuk menjalani tingkatan-tingkatan selanjutnya.

Pedagang-pedagang kecil yang berada di pinggir-pinggir jalan akan berada dalam gerak usahanya untuk membangun sebuah toko dan dia ingin menjalani kehidupannya dengan perluasan langkahnya yang ke arah yang lebih besar tersebut.

Seorang penulis pun senantiasa berusaha untuk menghasilkan karya-karyanya yang lebih berbobot dengan melakukan berbagai pengkajian dan penelitian. Demikian pula dengan yang dilakukan oleh seorang pelukis yang senantiasa melakukan eksperimen-eksperimen baru supaya mampu menghasilkan karya-karya besar.

Secara umum setiap manusia yang mempunyai keahlian, pekerjaan dan ketrampilan senantiasa akan berusaha supaya dia bisa menempatkan dirinya pada tingkatan dan kedudukan yang lebih tinggi.

Kesempurnaan yang dipilih oleh manusia tidaklah setara dan sama, melainkan bergantung pada kondisi ruhani, cara berpikir, kondisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya.

Bisa jadi, untuk seseorang, menimba ilmu merupakan sebuah kesempurnaan, sementara untuk selain dia kesempurnaan terletak pada kekayaan, sementara untuk seniman kesempurnaan terletak pada penciptaan karya-karya baru, sementara seorang penulis baru akan menemukan kesempurnaan dengan tulisan-tulisannya yang hidup dan berbobot, sedangkan pada yang lainnya mungkin terletak pada penghidmatannya pada masyarakat, penghambaan atau ibadah, dan lain-lain.

 

Catatan Penting

Mereka yang di dunia ini senantiasa menyibukkan diri dengan harta benda materi dan syahwat serta tidak  pernah memikirkan dimensi lain selain kenikmatan dan kelezatan dunia yang berlangsung sangat singkat ini, sebenarnya salah menyangka bahwa mereka bisa meraup seluruh kelezatan dunia ini dan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi khayalan dan sangkaan mereka adalah salah, karena struktur tubuh manusia bergantung pada aturan-aturan tertentu yang senantiasa membutuhkan keseimbangan dalam memanfaatkan kelezatan dan kesenangan-kesenangan alami.

Sistem tubuh manusia memiliki daya serap terhadap berbagai bahan makanan pada batasan yang logis. Lemak, gula, garam, protein, vitamin-vitamin dan mineral, keseluruhannya akan bisa dicerna dan diserap oleh badan hanya pada ukuran tertentu saja, dan kelebihan serta kekurangan, sekecil apapun, akan ditolak dari sistem pencernaan.

Manusia terkaya dunia yang memiliki seluruh fasilitas untuk berpesta-pora dan berfoya-foya, tetap tak akan pernah bisa melewati batas kemampuannya sendiri, dia tetap tidak mampu menikmati dan memanfaatkan seluruh khayalannya secara riil, karena sistem pencernaan dan seksualnya sangatlah terbatas. Kemampuan dan kekuatan wujudnya sama sekali tidak akan pernah seimbang dengan seluruh keinginan dan khayalannya.

Jadi, sebenarnya para penyembah dunia dan materialis pun merasa berada dalam kesulitan dengan adanya batasan-batasan tersebut. Dunia ini memiliki keterbatasan dan tak seorangpun bisa mewujudkan seluruh keinginan dan khayalannya. Allah tidak saja telah meletakkan manusia di bawah bimbingan dan pengarahan para pembawa risalah-Nya dimana salah satu nasehatnya adalah “bukan aku yang indah dan cantik, melainkan aku berasal dan tumbuh dari tangan yang memeliharaku”, dan dengan pandangan gnosis ini, seluruh eksistensi merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi, dimana selama jiwa manusia belum bersih dan suci, maka dia tidak akan pernah merasakan keindahan tersebut. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”[5], ayat-ayat suci al-Quran hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang telah disucikan.

 

Tubuh dan Jiwa

Manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi (tubuh) dan non-materi (jiwa). Selain memiliki tubuh yang berasal dari tanah yaitu tubuh materi yang bergerak, manusia juga memiliki dimensi non-materi yang konstan dan permanen bernama ruh. Meskipun dimensi ini tidak bisa disentuh dengan indera lahiriah, akan tetapi dengan argumentasi bisa dibuktikan keberadaannya.

Sebagaimana Allah, meskipun Dia merupakan sebuah realitas yang mustahil dicapai oleh indera lahiriah, akan tetapi dengan dalil bisa dibuktikan keberadaan-Nya. Terkadang apa yang kita peroleh dan kita ketahui tidak selalu sinkron dengan inderawi dan empirik, akan tetapi pada beberapa hal, akal menghukumi adanya realitas itu.

Al-Quran juga menyiratkan tentang dua dimensi yang dimiliki oleh manusia dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah”, dan, “Dan Kami tiupkan di dalamnya ruh”, ayat pertama  menyiratkan dimensi materi manusia sedangkan ayat kedua menunjukkan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia yaitu ruh.

 

1. Hubungan Jiwa dan Tubuh

Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki ruh dan tubuh. Ruh manusia ini bersifat tunggal, tak berkomposisi, dan memiliki ilmu, yaitu realitas tunggal dengan aktivitas yang berbeda dan beragam. Dimensi dari ruh bertugas untuk mencerna makanan, lainnya menciptakan suhu badan, juga mengatur resistensi tubuh terhadap berbagai penyakit, melihat, mendengar, merasakan, mencerna, membuang bahan-bahan aditif, mengkhayal, berpikir, dan lain-lain, seluruh hal-hal di atas diciptakan oleh ruh. Pada dasarnya, ruh memiliki dua tingkatan dan aktivitas:


  1. Mengatur dan menjaga badan;
  2. Kecerdasan, pemahaman, dan pengetahuan.

Ruh dalam setiap tingkatan memiliki nama yang berbeda. Ketika dia tengah berperan untuk melengkapi tubuh, dia bernama jiwa, dan ketika tengah menelaah dan memahami sesuatu, dia akan disebut sebagai akal.

 

2. Sebuah Pemisalan

Ruh bisa diumpamakan dengan beragam jabatan yang dipegang oleh seorang rektor perguruan tinggi. Pada salah satu sisi dia adalah dosen, sisi lain dia adalah seorang kepala rumah tangga, selain itu dia juga memiliki jabatan yang bermacam-macam. Jadi, dia adalah seorang yang memiliki beberapa prestise dan jabatan. Dan ruh bisa pula diumpamakan dengan seorang ahli matematik yang selain ahli matematik, ia merupakan ayah dari anak-anaknya, juga anak dari kedua orang tuanya. Dia adalah sosok yang memiliki beragam dimensi. Dalam contoh yang lebih jelas, bisa dikatakan bahwa ruh seperti pembangkit tenaga listrik yang pada saluran-saluran tertentu dia melakukan aktivitas yang tertentu pula. Dia akan memunculkan suhu panas pada pemanas ruangan, akan menciptakan udara dingin pada kipas angin dan AC, akan membuat udara dingin pada lemari es, sementara pada lampu, dia akan melakukan aktivitas yang lain lagi yaitu menciptakan terang dan cahaya, dan dia akan membuat pengaruh yang bermacam-macam pada persoalan-persoalan yang berbeda. Demikian juga dengan ruh. Ruh adalah sebuah hakikat tungga yang mempunyai beragam sifat dan aktivitas.

 

3. Tubuh sebagai Perangkat Ruh

Ketika ruh tengah sibuk melakukan aktivitas rasionalnya, maka tubuh tidak akan menyertainya, melainkan tubuh akan berperan sebagai alat, yaitu akal sibuk melakukan perjalanan spitirualnya, tetapi tubuh tidak melakukan perjalanan bersamanya. Ketika manusia sedang bertafakkur dan melakukan kontemplasi, sel-sel otak akan melakukan aktivitasnya, tetapi sel-sel tersebut tidak akan ikut berfikir, mereka hanya merupakan sebuah alat untuk berfikir, sedangkan aktivitas berfikir dan kontemplasi bersumber dari ruh itu sendiri.

Tubuh dan badan sebagaimana pensil yang berada di tangan penulisnya. Pensil ini tidak menulis dan juga tidak berfikir, penulisnyalah yang memanfaatkannya sebagai alat untuk menulis dan menuangkan pikiran. Tulisan merupakan hasil perbuatan penulis, meskipun jika tak ada pensil, penulis tidak akan mampu menuliskan apapun.

 

4. Peran Tubuh

Allamah Thabathabai ra pada jilid pertama kitab Al-Mizan menuliskan sebuah pembahasan yang menarik tentang peran tubuh dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Beliau sepakat bahwa seluruh subyek yang dikatakan oleh para fisiolog tentang kewajiban organ-organ tubuh adalah benar, yaitu bahwa di dalam otak dan sel-sel saraf serta bagian-bagian lain tubuh seperti mata, telinga, hidung, dan … terjadi berbagai aksi, reaksi, serta aktivitas-aktivitas rumit dan menarik lainnya supaya sistem tubuh manusia melakukan aktivitasnya dengan keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan untuk menimbulkan kegiatan-kegiatan lain pada diri manusia seperti melihat, mendengar, berfikir, tertawa, menangis, marah, dan lain sebagainya.

Tentunya poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa seluruh aksi dan reaksi yang terjadi pada seluruh organ dan sel-sel tubuh, semuanya hanya bertindak sebagai perangkat dan alat bantu bagi jiwa. Pada dasarnya, mata, telinga, hidung, lidah, otak, dan lain-lain, semuanya tidak memiliki peran lain kecuali hanya merupakan bagian dari alat yang diletakkan dalam kewenangan jiwa manusia. Jiwa inilah yang mampu melihat dengan bantuan sistem mata, jiwalah yang mampu berfikir karena bantuan dari sistem otak.

Yang penting untuk diperhatikan adalah point berikut bahwa tidak seharusnya kita salah meletakkan alat pembantu pada tempat pelaku asli, dengan ibarat lain tidak salah mengatakan bahwa otaklah yang berfikir, tanganlah yang menulis, melainkan yang benar adalah otak merupakan alat untuk berfikir dan tangan merupakan alat untuk menulis, sedangkan pelaku aslinya adalah ruh dan jiwa.

5. Jiwa

Telah dikatakan bahwa ruh disebut juga dengan nama nafs atau jiwa. Dan jiwa akan melakukan begitu banyak perbuatan dan aktivitas dengan bantuan perangkat-perangkat yang ada di dalam tubuh.

Seseorang yang hanya memperhatikan kematerian manusia dan menganggap bahwa seluruh perbuatan, aktivitas, dan geraknya merupakan akibat dari aksi dan reaksi materi, adalah sebagaimana seseorang yang tengah menyaksikan lukisan yang sangat indah akan tetapi dia hanya memandangnya sebagai sebuah lukisan yang dihasilkan oleh kuas dan cat warna tanpa memandang peran pelukisnya sedikitpun, padahal kuas, cat warna, dan kertas hanya merupakan alat yang dimanfaatkan oleh pelukisnya, demikian juga dengan mata, telinga, jantung, otak, dan indera lainnya hanyalah merupakan alat bantu yang diletakkan dalam kewenangan jiwa.

 

6. Dimensi Gaib

Telah dikatakan bahwa ruh dan jiwa merupakan dimensi yang dimiliki oleh manusia dalam bentuk invisibel dan tak terlihat, sebuah dimensi yang tak bisa disentuh dengan indera lahiriah. Akan tetapi dengan argumentasi, hal ini menjadi sebuah persoalan yang bisa dibuktikan dan dipahami.

Ada yang mengatakan, selama aku tidak melihat sesuatu dengan kedua mata kepalaku, aku tidak akan bisa mempercayai keberadaannya, dan karena aku menyaksikan listrik dengan kedua mataku, maka aku sepakat bahwa Edison adalah seorang ilmuwan yang besar dan jenius. Sangat jelas bahwa perkataan semacam ini sama sekali tidak benar, karena apabila dengan melihat lampu listrik serta cahayanya, seseorang baru akan mengakui kebesaran dan kejeniusan penemunya, maka setiap makhluk-makhluk materi yang mempunyai kemampuan untuk melihat, akan mengambil kesimpulan yang sama ketika menyaksikan listrik, sementara hal yang terjadi tidaklah demikian.

Seekor kambing sama sekali tidak akan mengetahui kecerdasan penemu listrik dengan melihat lampu listrik tersebut, atau kebesaran penyair tidak mungkin diketahui oleh semua orang, hanya dengan melihat tulisan-tulisan syair yang ditulis oleh sang penyair pada sebuah kertas.

Oleh karena itu, yang penting adalah kekuatan dan daya menakjubkan yang terdapat di dalamnya-lah yang dengan melihat listrik dan melihat syair, dia mampu memahami dan mengerti kebesaran posisi penemunya dan mampu mengenali kodrat dan keahlian penyair yang menuliskan syairnya di atas kertas. Jadi, melihat listrik atau melihat syair yang tertulis di atas kertas, semuanya hanya merupakan premis untuk berfikir bahwa “penemu listrik dan penyair tersebut adalah para ilmuwan yang cerdas dan ahli”.

 

Hakikat Jiwa; Perspektif Qurani

Al-Quran menganggap bahwa jiwa manusia merupakan sebuah hakikat yang berada di luar badan dan di luar mekanisme organ-organ tubuh. Setelah nutfah berkembang menjadi janin dan memiliki tulang-tulang dan urat-urat bersusunan rumit, maka jiwa akan terwujud darinya.

Dengan kehadiran jiwa ini, tubuh tersebut memiliki kehidupan awal manusia dan akan menghasilkan potensi-potensi yang tak berkesudahan, tubuh ini kemudian akan menjadi media bagi tumbuhnya bakat dan kemampuan istimewa yang kelak bisa dimanfaatkan pada aktivitas manusia masa mendatang. “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”[6]

Poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa “makhluk lain” pada ayat di atas bukan berasal dari proses darah, daging, dan tulang seperti yang terjadi pada penciptaan tubuh manusia. Oleh karena itu, al-Quran mencoba memahamkan bahwa “makhluk baru” (baca: jiwa manusia) memiliki hakikat yang lain, akan tetapi tentunya hakikat tersebut tidak lepas dari proses tubuh, dan bisa juga bermakna bahwa jiwa tersebut terwujud bersamaan dengan proses penciptaan tubuh, jiwa tidak menyatu dengan tubuh dan juga tidak lepas dari tubuh.

Namun ketika ruh dan jiwa “keluar” dari tubuh, maka tubuh akan berubah menjadi jasad tak hidup dan tidak lagi disebut tubuh manusia. Jadi, penyerapan, pertumbuhan, gerak, aksi, reaksi, dan aktivitas yang dilakukan oleh tubuh terjadi dengan perantara dimensi non-materi manusia, yaitu jiwa. Demikian juga, kesempurnaan manusia dalam ilmu, perbuatan, dan keimanan seluruhnya berada di bawah pengaruh mekanisme ruh sedemikian sehingga secara bertahap ruh akan membentuk seluruh hakikat manusia dan mengantarkannya pada puncak tahapan eksistensi.

Pada dasarnya kedirian yang tetap pada manusia karena faktor ruh dan jiwa, misalnya seorang anak tujuh tahun setelah melewati tujuh puluh tahun walaupun secara umur berbeda, tapi kediriannya tetap sama, yakni Muhammad diumur 7 tahun tetap Muhammad pada umur 70 tahun.

Yang menarik di sini, al-Quran menganggap kematian manusia sebagai terangkatnya ruh ke alam malakut, Allah berfirman, “Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.”[7] yaitu malaikat akan membawamu bersamanya, dan pada ayat yang lain berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; …” [8], yaitu ketika engkau mati Tuhan akan mengembalikan jiwamu kepada-Nya.

Pada ayat pertama, jiwa manusia tak lain adalah “kum” yang merupakan kata ganti subyek yang bermakna kamu, maksud dari “kamu” di sini tak lain adalah “jiwa non-materi”.

Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh jiwa, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran adalah bahwa melupakan jiwa dan melalaikannya akan menyebabkan Tuhan pun melalaikannya, “Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun akan dilupakan”[9]. Ayat-ayat Tuhan adalah jiwa manusia itu sendiri.

 

Dimensi yang belum Terungkap

Manusia memiliki dimensi-dimensi lain selain apa yang tersebut di atas. Sebagaimana al-Quran menyebutkan adanya dua mata lahiriah, dua telinga lahiriah, dan sebuah jantung lahiriah untuk manusia, dengan nada yang sama al-Quran juga mengatakan adanya dua mata batin, dua telinga batin, dan satu kalbu batin di dalam diri manusia.

Melihat Tuhan dengan mata lahiriah merupakan sebuah persoalan yang mustahil terjadi, akan tetapi manusia bisa menyaksikan Tuhannya dengan mata batin. Mata hati merupakan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya.

Oleh karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Imam Ali as, “Apakah engkau melihat Tuhan?”, beliau menjawab, “Lam a’bud rabban lam arahu (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat)”, dan selanjutnya bersabda, “Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala yang merupakan organ tubuh manusia, tetapi Dia bisa dilihat dengan mata yang berhubungan dengan hakikat keimanan”. Al-Quran memberikan perumpamaan untuk sebagian orang, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada”[10]. Pada ayat yang lain berfirman, “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat (kebenaran itu) maka (manfaatnya) ada bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya akan kembali kepada dirinya sendiri.”[11]

Jelaslah bahwa mata dan telinga yang disebutkan di dalam al-Quran ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisikal manusia. Tema ini mirip dengan seseorang yang menemui Einstein lalu menceritakannya kepada orang lain dengan mengatakan, “Aku melihat Einstein sebagai seorang yang sangat pandai dan cerdas”. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang tersebut menyaksikan ilmu dan kecerdasan Einstein dengan kedua mata kepalanya, yaitu dia memperoleh informasi ini dengan proses fisikal, ataukah dia memahami hal tersebut melalui metode yang lain? Apabila penyaksiannya adalah penyaksian fisik, maka setiap orang yang bertemu dengan Einstein harusnya juga mengetahui tingkat kepandaian dan kecerdasan ilmunya, padahal yang terjadi tidaklah demikian, hanya orang yang mengenalnya bisa memastikan kejeniusan dan ketinggian ilmunya, dan hanya penyaksian batin yang setelah melakukan sekian waktu penelitian, mampu mengenal ketinggian ilmu Einstein.

Menjadi jelas bahwa penyaksian orang ini, bukan penyaksian yang berbentuk lahiriah.

Sayangnya, dunia saat ini lebih sering mengesampingkan satu dimensi yang sangat agung ini, melainkan mereka malah hidup dalam keadaan jahil dan tak memiliki informasi tentangnya. Kebanyakan dari mereka lebih menginginkan melihat segala sesuatunya dengan visi dan pandangan material, sehingga mereka mengobservasi seluruh hakikat-hakikat makrifat yang sangat tinggi di dalam laboratorium-laboratorium empirik, lalu menegaskan bahwa setiap eksistensi yang bisa diindera secara lahiriah yang memiliki keberadaan, dengan pernyatan ini sebenarnya mereka secara tak sengaja mengakui dimensi rasionalitas yang notabene adalah realitas non-inderawi dan non-materi. Sebagai contoh, apabila mereka mempelajari kitab yang ditulis oleh seorang ilmuwan besar, mereka akan mengatakan bahwa aku telah menemukan seorang ilmuwan besar, sementara apa yang dia temukan adalah merupakan hasil dari dimensi non-materi (yakni pengetahuan dan informasi dari kitab yang dibacanya).

Dengan demikian, secara yakin bisa dikatakan bahwa manusia telah dilengkapi dengan dimensi yang sangat agung dan paling berharga, dan manusia harus berusaha dan berupaya untuk menganalisanya secara lebih mendetail lagi.

 

Kenonmaterian Ilmu

Filsafat telah membuktikan bahwa pemahaman dan rasionalitas bersifat non-materi dan berada di luar mekanisme materi. Begitu pula ilmu dan pengetahuan bersifat non-materi, karena ilmu dan pemahaman manusia tidak memiliki satupun dari karakteristik-karakteristik alam materi. Oleh karena itu, ilmu tidak bisa dibagi dan tidak pula mengalami perubahan.

Realitas yang ada di dalam pikiran sama sekali tidak bisa dibagi menjadi dua bagian. Apabila kita membayangkan satu meter, maka bayangan ini sama sekali tidak akan bisa kita bagi, apabila kita mampu membaginya, maka yang akan muncul adalah dua buah setengah meteran, dan itu tak lain adalah satu meter yang awal yang tetap berada di tempatnya.

Ketika kanak-kanak, kita mempelajari dan mengalami begitu banyak persoalan. Ketika usia kita bertambah sekian puluh tahun dan mengalami begitu banyak perubahan pada tubuh dan otak, gambaran dan kenangan kanak-kanak yang ada dalam benak kita tetap konstan dan tak berubah.

Ringkasnya, meskipun apa yang dikatakan oleh para fisiolog mengenai otak dan ilmu manusia adalah benar, tapi haruslah dipahami bahwa otak sebenarnya alat untuk memahami, bukan merupakan pemahaman dan ilmu itu sendiri. Sel-sel yang ada di dalam otak praktis bertindak sebagai alat untuk memahami, sedangkan pemahaman itu sendiri merupakan dimensi non-materi yang tak bisa dilihat.

Ibnu Sina sepakat bahwa di dunia ini, manusia kadangkala bisa sampai pada suatu tingkatan sehingga mampu memisahkan ruh dari tubuhnya, hal ini muncul karena adanya bimbingan, riyadhah dan latihan, yaitu meskipun dia masih mengenakan pakaian, pada hakikatnya dia telah berubah menjadi sebuah realitas non-materi, misalnya dia bisa berhubungan dan bercakap dengan orang-orang yang telah mati.

Ibarat yang dikatakan oleh Ibnu Sina adalah sebagai berikut, “Di kehidupan dunia ini terdapat tingkatan khusus yang dimiliki oleh para arif yang tidak diketahui oleh selainnya. Dia tetap memiliki tubuh, namun telah keluar dari efek tubuh dan berubah menjadi realitas non-materi yang kemudian berkelana di alam yang lebih tinggi. Kaum arif memiliki rahasia-rahasia yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang lain”.[12]

 

Khayalan dan Kelezatan Tinggi

Potensi lain yang dimiliki oleh manusia adalah daya khayal. Khayal[13] merupakan perantara antara mekanisme tubuh dan akal. Apabila potensi ini tidak dibimbing ke arah yang benar dan tidak berada di bawah pengawasan akal, hal ini akan mengantarkan manusia pada kebebasan mutlak yang akan muncul dalam bentuk kekuatan yang merusak.

Akan tetapi apabila berada dalam pengawasan akal dan bergerak pada jalan yang benar, maka dia akan berubah menjadi kekuatan yang bisa diandalkan dalam membantu aktivitas akal. Dan apabila berada tidak terarah dan liar, maka dia akan berjalan ke arah manapun yang ia kehendaki dan bertindak di luar control akal, ia akan senantiasa dipenuhi oleh beragam bentuk khayalan sehingga seluruh waktu luang yang ada akan terbuang sia-sia dan dadanya dipenuhi dengan khayalan kotor dan merusak, yang hal ini akan menghilangkan ketenangan pikiran pemiliknya, dalam sebuah hadist dikatakan bahwa kalbu seorang mukmin merupakan tempat suci Tuhan, maka janganlah kalian menempatkan selain Tuhan di tempat suci Tuhan.

Kelezatan hakiki dunia ini akan menjadi milik seseorang yang telah sampai secara aktual pada tingkatan akal dan telah terlepas dari belenggu khayal, dengan itu dia mampu mendominasi dan mengatur seluruh dimensi dan kecenderungan wujudnya sedemikian sehingga ia tak menginginkan sesuatu selain yang benar dan suci, tidak melihat sesuatu selain kebaikan, dan tidak berfikir selain yang bermanfaat, dia menutup saluran benak dan kalbunya dari segala yang batil dan menjerumuskan, karena itulah sehingga dia akan mampu memahami dan memanfaatkan potensi batinnya dengan semakin baik.

Oleh karena itu, selama kita tidak berusaha mengembangkan potensi-potensi akhlak, dan selama kita belum menjauhkan dan membersihkan kotoran-kotoran dan khayalan-khayalan merusak dari kejernihan benak kita, maka benak tersebut tidak akan pernah merefleksikan hakikat sebagaimana cermin yang memantulkan cahaya, dan kita tidak akan pernah menemukan kecintaan abadi. Jadi, manusia harus merasakan kelezatan khayal dalam jiwa suci, dengan akal menguasai khayalan tersebut dan mengontrolnya dari setiap kecenderungan liar dan sia-sia.

Sumber: http://teosophy.wordpress.com/2009/08/30/dimensi-wujud-manusia/#more-152

[1] . Qs. Al-A’la: 13.

[2] . Qs. Muhammad: 12.

[3] . Syarh al-Isyaraat, jilid 3, hal. 349.

[4] . Qs. Al-Isyra’: 72.

[5] . Qs. Al-Waqi’ah: 79.

[6] . Qs. Al-Mukminun: 12-14.

[7] . Qs. As-Sajdah: 11.

[8] . Qs. Az-Zumar: 42.

[9] . Qs. Thahaa: 126.

[10] . Qs. Al-Hajj: 46.

[11] . Qs. Al-An’am:104.

[12] . Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3.

[13] . Khayal di sini bukan sesuatu yang tidak memiliki realitas yang sebagaimana secara umum dipahami masyarakat. Khayal dalam pembahasan filsafat disebut juga alam barzakh atau alam mitsal yang berada di antara alam akal dan alam materi. Jadi khayal sebagaimana akal dan materi terdapat di dalam diri manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun