“Setidaknya pancaran sinar matahari mencerahkan bumi. Panas matahari juga banyak manfaatnya. Lihat bajumu. Bagaimana bajumu bisa kering setelah selesai ibu cuci tanpa panas matahari?”
Aku tersenyum. “Aku ingin seperi matahari ya, bu. Berguna buat orang banyak.”
“Kamu kan memang matahari.” Ibu tertawa.
“Ah, ibu.” Aku memeluk ibu. Berlindung dari panasnya matahari.
***
Aku bersiap menikmati makan malam. Ayah dan Ibu sudah duduk di ruang makan. Hidangan makan cukup menggoda dengan hadirnya sup buatan ibu. Aku langsung duduk di kursi dan mengambil nasi.
“Hari ini sekolahmu menelpon kemari. Kudengar kau telah mengumpati seorang guru. Kenapa kau?” ujar ayah dengan nada datar.
“Dia memukul kepalaku. Aku tak terima,” balasku. Aku mulai makan hidangan.
“Dia bilang lima kali kau umpat dia,” kata ayah.
“Dan ayah percaya? Memangnya shalat, lima kali sehari,” ujarku tertawa. Aku kembali makan. “Guru seperti dia harusnya malah bersyukur tak kuhajar. Berani-beraninya dia memukul kepalaku.”
“Kau ini. Jangan bikin malu ayah. Sekolah tak benar. Selalu peringkat terakhir. Apa kau sudah tak niat sekolah? Ke sekolah hanya untuk pacaran saja.”