“Ya begitulah. Seperti meditasi dalam buddha ataupun Yoga dalam Hindu, itu semacam pencarian kesdaran penuh akan diri sendiri dan realitas tunggal. Ya, mereka menyebutnya Allah.” Ia diam lagi. “Sejak berusaha bertindak normal, aku merasa lebih menjadi manusia.”
“Normal?”
“Maksudku tidak seperti orang sekarat.”
“Kau tak bisa membohongi tubuhmu.”
“Memang. Tapi sugesti itu penting.” Diam kembali menyelimutinya sesaat. “Kau tahu? Aku iri denganmu yang selalu bisa menganggap segalanya dengan biasa.”
“Dan aku iri denganmu yang selalu bisa mencari makna di tiap hal yang kau alami.”
Tawa seraknya muncul kembali, diikuti sedikit senyumanku.
“Oh ya.” Aku mengambil buku kecil yang ku simpan di kantong sejak tadi. “Nih”
Asa menatap sedikit bingung. “Apa ini?”
“Novel, ya daripada kau tidak mati bosan dalam kamarmu tiap hari.”
Masih dengan tatapan bingung, ia tertawa. “Makasih han, ya lumayan lah, daripada menatap langit-langit kamar yang gelap dan lembab.”