Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 4

2 Agustus 2014   19:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:36 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ia mengangkat bahu. “Tentu saja aku pelajari Han. Sudah lama aku tertarik untuk mempelajari Buddha, beliau memang benar-benar orang yang bijaksana.”

Aku menepuk jidatku. “Tak heran kau santai mengikuti pembicaraanku.” Aku terdiam, mataku kembali menyapu sekitar. “Dan aku cukup kaget ada yang sepaham denganku sekarang.”

“Dunia itu luas Han, bila kau kerjaannya baca buku mana kau bisa tahu pemikiran-pemikrian orang selain yang ditulis. Paradoks sih, makanya aku tidak setuju pada mereka yang mengatakan buku adalah jendela dunia.” Ia menepuk bahuku lagi. “Pengalaman tetap guru terbaik.”

“Aku hanya ingin mencari kebenaran dengan kesadaranku sendiri, tidak disuap ataupun diturunkan. Yah, walau mungkin aku harus sedikit keluar dari lembaran-lembaran kertas.” Kami berhenti sejenak. Menunggu jalanan cukup sepi untuk disebrangi. Mataku menatap kosong kendaraan-kendaraan yang melaju tanpa ada jeda. “Kau tentunya juga seperti itu Ray.”

“Tentu saja. Dalam Sutra Lamkara tertulis, ‘kebenaran sesungguhnya tidak pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, sebab seseorang harus menyadarinya di dalam dirinya sendiri’. Dan sayangnya, kita tak bisa memaksa orang untuk sadar. Jadi, ya bukan salah siapapun jikalau orang-orang nyaman dengan ketidaktahuannya.” Tangannya terangkat ketika ada celah untuk melangkah, sebuah mobil pickup yang awalnya melaju kencang dari jauh melambatkan kecepatannya, memberi kami kesempatan untuk menyeberang.

“Kau benar-benar menghafal semua sutra itu?”

“Tentu saja tidak. Al-Qur’an saja masih sangat sedikit yang ku hafal. Masa’ aku lebih memahami yang bukan agamaku.” Ia tertawa singkat “Aku hanya memilih yang bagus-bagus saja untuk diingat-ingat.”

“Duh, aku malah lebih ingat bagaimana teori kuantum berkembang dan perlahan mengubah paradigma sains menuju post-modernisme.” Aku ikut tertawa.

Kami tiba di suatu pertigaan kecil. Lampu lalu lintas tetap melaksanakan tugasnya walau persimpangan itu tidak terlalu ramai. Tiba-tiba Rayya berhenti.

“Kau bukannya mau ke taman kan? Berarti di sini kita berpisah, kau lurus, aku ke kanan.”

“Eh? Rumahmu disana?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun