Bel berbunyi, anak –anak satu per satu keluar dari kelas. Bagaikan narapidana yang keluar dari penjara, aku melangkah keluar dan merenggangkan badanku. Rasanya tubuh bisa berkarat juga kalau terlalu lama duduk. Entah kenapa juga dunia luar tiba-tiba jadi terasa lebih terang. Sedikit menyipitkan mata, aku langkahkan kakiku perlahan.
Terlihat sebuah gedung sederhana dengan tembok warna hijau muda. Beberapa anak yang tengah duduk di luar gedung cukup kaget melihatku mendekat. Seperti bos penjahat saja, semua mata mengarah padaku. Tidak kuhiraukan, aku duduk dan melepas sepatu.
Beberapa saat aku hanya duduk sejenak dan membiarkan kakiku lemas. Seiring waktu, tempat itu semakin ramai. Tiba-tiba punggungku ditepuk dari belakang. Seseorang jongkok dan memandangku.
“Ei Han, perasaan dulu kau bilang kamu non.” Selang beberapa detik sebelum aku mengenali bahwa itu anak yang dulu menanyakan agamaku.
Aku tersenyum. “Itu dulu.” Jawabku singkat.
Seketika aku teringat sesuatu.
“Hey, dari mana kau tahu namaku Han? Aku baru sadar juga waktu itu kau telah memanggil namaku”
Wajahnya mengkerut sedikit. “Eh, maaf, aku diberitahu temanku. Ayolah, siapa yang gak tahu orang yang selalu duduk sendiri dan membaca buku hingga sore setiap harinya?”
“Dan kau berani menyapaku padahal kita belum kenalan?”
“Apa itu salah? Komunikasi antar manusia bukan terbatas pada pengenalan secara formal bukan? Apakah kita harus ber-‘Hai, salam kenal, namamu siapa?’ ke setiap orang sebelum kita dapat menyapa?”
“Well, kalau seperti itu aku jadi mempertanyakan pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’.”