Masalah lainnya adalah spekulasi tanah, di mana harga tanah seringkali melonjak tinggi karena dibeli untuk tujuan investasi, atau menjualnya kembali supaya mendapatkan keuntungan. Spekulasi tanah dilakukan tanpa melakukan perbaikan atau perubahan apa pun pada tanah tersebut.
Melalui Badan Bank Tanah, pemerintah dapat mengontrol harga tanah supaya tetap stabil, mencegah spekulasi yang merugikan, dan menyediakan lahan yang lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan.
Untuk mengurangi masalah hukum yang berpotensi timbul di kemudian hari, Badan Bank Tanah berperan memastikan keabsahan dann legalitas tanah yang dikelola masyarakat.
Hingga akhir tahun 2024, total aset lahan Badan Bank Tanah adalah 33.115,6 hektar.
Aset ini tersebar di 45 kabupaten dan kota di Indonesia, yang diperoleh dari tanah telantar, tanah bekas hak, tanah bekas tambang, tanah timbul, tanah pulau-pulau kecil, tanah hasil reklamasi, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya, hingga tanah pelepasan hutan.
Aset tersebut bisa dimanfaatkan untuk masyarakat.
Yaitu untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan reforma agraria melalui kerja sama dengan pihak lain, seperti jual beli, sewa, hibah, serta tukar menukar.
Dengan pemanfaatan lahan yang optimal bagi publik, diharapkan dapat membantu berbagai golongan, termasuk masyarakat marginal yang membutuhkan.
Independen
Penyelenggaraan Badan Bank Tanah harus secara independen, tetap mengacu pada hukum positif dan kebijakan pertanahan di Indonesia. Jangan sampai dilaksanakan oleh pihak swasta dan harus berasaskan keterbukaan, akuntabilitas dan non-profit oriented.
Prospek Bank Tanah yang menguasai tanah hak pengelolaan harus selaras dengan politik pertanahan dalam konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).