Pagi ini, suasana terlihat lebih cerah dari hari sebelumnya. Matahari mulai kembali menampakkan wujudnya setelah sempat enggan bercengkrama dengan makhluk bumi selama beberapa hari ini. Terdengar juga kicauan burung yang terbang di langit ikut memenuhi suasana cerah kali ini. Beberapa orang juga terlihat berlalu lalang hendak melakukan kegiatannya masing-masing. Sama halnya seperti bundaku. Ia juga sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke sebuah rumah makan yang menjadi tempatnya bekerja. Hal itu merupakan kewajiban bagi Bunda sekarang, karena kenyataannya Bunda adalah seorang single mom. Sudah lebih dari tiga tahun yang lalu Ayah pergi meninggalkan kami di dunia ini. Selama tiga tahun ini pula, kami mencoba menata ulang kehidupan kami tanpa figur ayah. Bisnis berkembang yang selama bertahun-tahun dijalankan oleh keluarga kami juga hancur semenjak meninggalnya Ayah. Kehilangan sosok Ayah adalah hal yang paling ditakuti oleh sebagian besar anak, termasuk aku. Namun yang namanya takdir tetaplah takdir. Tidak akan bisa diubah walaupun kita meminta sembari menangis darah. Tidak akan ada yang abadi di dunia ini, termasuk Ayah, dan aku juga tahu akan hal itu. Cepat atau lambat pun salah satu dari kami atau mungkin secara bersamaan akan pergi untuk menjemput ayah di surga. Entah rencana apa yang sedang Tuhan rencanakan kepada anak berumur 12 tahun waktu itu yang masih haus akan kasih sayang ayah, namun terpaksa dewasa sebelum waktunya karena sebuah kehilangan.
"Kalian jaga rumah ya. Dimas, jaga adik kamu. Tetap harus belajar walaupun lagi libur ya," pinta bunda diikuti senyuman manisnya yang selama ini menjadi alasan aku dan abang untuk tetap hidup.
"Siap, Bunda," kata kami serentak.
"Oh iya, Nisa jangan telat makan ya. Jangan sampai maag kamu kambuh baru makan. Awas aja kalau kamu masih ngeyel," kata Bunda memperingati.
Aku langsung membalasnya dengan senyuman yang sengaja aku manis-maniskan. Karena merasa gemas dengan bunda, kedua tanganku langsung aku gerakkan untuk mencubit lembut pipi bunda sembari berkata, "Bunda cerewet banget si. Iya, Bundaku yang super cantik. Nanti Nisa gak telat makan kok."
"Kamu ini kalau dibilangi selalu begitu. Yauda, Bunda pergi ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam, Bunda."
Setelah perginya bunda, aku dan abang memutuskan untuk menonton tv saja. Siaran Upin Ipin kesukaan kami terputar di layar tv itu. Sesekali kami tertawa melihat kelucuan dari tokoh yang ada di kartun tersebut. Mungkin, kami memang anak remaja yang saat ini sudah menginjak usia 15 dan 16 tahun. Namun, tontonan kami sama sekali tidak mencerminkan kami sudah hampir dewasa. Siaran yang seharusnya menjadi kegemaran bagi anak-anak, kami juga menyukainya. Aneh, tetapi nyata. Bahkan, kami juga tahan untuk tidak bangkit dari posisi awal sampai sore hari datang hanya untuk menonton beragam kartun yang silih berganti di layar tv.
"Nis, Abang keluar bentar ya," pamit Abang yang membuat aku langsung mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Abang mau kemana? Uda mau hujan itu loh."
"Mau beli keperluan untuk tugas sekolah dulu. Kamu jaga rumah ya, bentar aja kok," kata abang meyakinkanku.
Aku menghela nafas kasar, kemudian dilanjutkan dengan mengangguk-anggukan kepalaku sebagai jawaban setuju.
"Yauda, Abang pergi dulu ya."
Setelah pamitan, ia pun langsung melenggang pergi keluar rumah dengan menggunakan setelan jaket bewarna merah yang menjadi favoritnya.
"Cepet pulangnya!" teriakku menghantar kepergiannya.
Satu jam setelah kepergian abang, langit mulai berubah warnanya menjadi gelap. Waktu sudah hampir menunjukan pukul 7 malam. Namun, abang yang tadi janjinya hanya pergi sebentar tidak kunjung menampakkan dirinya. Suara gerimis mulai terdengar jatuh di atap rumah. Hanya butuh waktu lima menit saja, rintikan gerimis berubah menjadi hujan yang sangat lebat disertai dengan suara gemuruh petir yang sangat keras seperti sedang mencari-cari mangsanya. Aku spontan menutup kedua telingaku dengan tangan. Tidak lupa, wajahku juga ikut aku tutup dengan menggunakan selimut. Aku bisa merasakan tubuhku yang sedang terduduk di pojok kamar sedang bergetar hebat. Jantungku terasa berdegup lebih kencang, tidak seperti biasanya. Air mata yang sempat tertahan juga tidak sengaja menetes di kedua pipi gembulku. Bagiku, suara petir memang sangat menakutkan. Banyaknya berita soal orang tersambar petir dan aku yang dulu pernah hampir menjadi korban menjadi pemicu awal ketakutanku ini muncul. Namun di tengah ketakutanku itu, aku merasakan seseorang sedang berjalan mendekat kearahku. Perasaan takutku semakin menjadi-jadi memikirkan siapa orang yang sedang berjalan kearahku itu.
"Nisa." Orang itu memanggil lembut namaku. Rasa takutku seakan sirna ketika mendengar suaranya. Ya, suara itu adalah suara dari orang yang paling kukenal. Aku membuka selimut yang menutupi wajahku dan langsung menghamburkan pelukan ke orang yang sedang bertekuk lutut di depanku.
"Kamu takut ya? Jangan takut lagi ya, uda ada Abang di sini kok. Maafin ya, Abang lama pulangnya karena ban motornya bocor tadi," kata abang yang terus berusaha menenangkanku. Ia juga membelai lembut rambut panjangku. Hal itu membuat tangisku perlahan mereda. Abang masih terus mendekap erat tubuhku karena ia juga tahu sumber yang menjadi ketakutan dari adiknya ini.
"Anak-anak, Bunda pulang." Teriakan bunda di depan pintu sedikit mengagetkan kami. Untung saja di luar sedang hujan, jadi suara kerasnya teriakan bunda tidak akan terdengar menggelegar seperti biasanya jika tidak lagi hujan.
"Bunda, kan basah kuyup begitu. Uda Dimas bilang, Bunda aja yang bawa mantel hujannya," omel abang ketika melihat kondisi bunda namun masih belum melepaskan pelukannya dariku.
Sayangnya, omelan abang sama sekali tidak digubris oleh bunda. Bunda yang terlihat begitu khawatir langsung menghampiri dan ikut memelukku sembari mengatakan, "kamu gapapa, Sayang? Jangan takut ya. Bunda uda pulang kok ini. Maaf ya, kalian harus sendiri di saat hujan deras mengerikan seperti ini. Maaf kalau kalian juga kekurangan waktu bersama Bunda. Maaf juga kalo..."
"Bunda, stop minta maaf ya. Kami gak papa kok. Nisa juga sudah mulai mereda ketakutannya. Iya kan, Nis?" potong abang di tengah perkataan bunda.
Aku hanya mengagguk dan melemparkan senyum tipis sebagai bentuk persetujuan atas apa yang dikatakan abang.
"Makasih ya, Sayang." Bunda semakin mengeratkan pelukannya dengan kami. Pelukan itu terjadi begitu lama. Sepertinya bunda juga lupa kalau bajunya saat ini sedang basah kuyup. Tidak ingin merusak momen ini, aku dan abang memilih untuk tetap membalas pelukan bunda walaupun tubuh kami menjadi ikutan basah. Entah sampai kapan bunda menyadari hal ini, tapi biarlah kami merasakan hangatnya pelukan bunda di suasana hujan di malam ini.
"Oh iya, tadi Bunda dapat bonus loh karena hari ini warungnya ramai banget. Untuk merayakannya, gimana kalau besok kita pergi ke suatu tempat?" ajak bunda dengan penuh semangat. Mendengar hal itu, kami juga tidak kalah semangat dari bunda.
"Wah serius, Bun? Kita mau kemana?" tanyaku sembari menunjukkan ekspresi gembira.
Bunda tertawa kecil melihatku.
"Rahasia," kata bunda di sela tawanya yang membuat aku langsung memanyunkan bibirku. Tidak hanya aku, abang juga langsung berubah ekspresi saat mendengar ucapan bunda.
"Besok kalian juga akan tau. Bunda mandi dulu ya. Kalian juga ganti pakaiannya ya. Ini nih akibat Bunda lupa kalau tadi lagi basah kuyup, kan kalian juga jadi ikutan basah."
"Ih, Bunda!" teriak kami dengan serentak ketika melihat bunda yang tidak menjawab pertanyaan kami, namun lebih memilih berjalan meninggalkan ruang ini sembari menjulurkan lidahnya dan memperdengarkan tawa isengnya.
Bunda memang selalu begitu. Apa salahnya jika memberitahu inisial nama tempatnya sebagai clue untuk sedikit mengurangi jiwa penasaran kami. Walaupun akhirnya kami akan terus menghabiskan waktu untuk terus menebaknya sampai dapat, itu akan jauh lebih baik dibanding tidur tanpa dikasih gambaran sedikit pun. Sepertinya malam ini aku dan abang akan tidur larut malam. Perasaan gembira kami seakan meminta matahari untuk langsung terbit pada detik ini juga. Tidak heran, ketika masih ada ayah pun jiwa kami memang jiwa petualang. Kami memang suka sekali jalan-jalan ke suatu tempat untuk menikmati waktu bersama keluarga. Namun, keadaanya sekarang sudah jauh berbeda. Keterbatasan waktu serta finansial membuat aku, abang, dan bunda menghilangkan hobi itu.
***
Hari telah berganti. Ia telah menjawab pertanyaan kami yang sedari tadi malam terus mengusik sampai membuat tidur kurang nyenyak. Di sinilah kami sekarang berada. Di sebuah tempat yang selalu menjadi favorit kami sejak dulu ketika rasa lapar melanda, tetapi tidak ingin makan di rumah. Sudah lama rasanya tidak pernah menginjakkan kaki ke sebuah rumah makan mewah yang diberi nama "Food'o Clock family" oleh pemiliknya. Senyumku terukir ketika melihat suasana di Food'o Clock family ini yang masih belum ada berubah, masih sama seperti terakhir kali kami kesini bersama ayah.
"Bunda, kok ke tempat ini? Kan mahal," ucap abang yang terlihat sedikit khawatir.
"Ih kamu ini. Kan uda Bunda jelasin tadi malam dapat bonus. Insyaa Allah cukup untuk kita makan di sini. Sekali-kali gak masalah kok," sahut bunda meyakinkan kami. Aku dan abang pun mengangguk paham
"Bunda, kita di sini ya," ajakku sembari menunjuk sebuah meja yang berada di dekat jendela.
"Tapi ini belum ada nomor nya, Sayang. Kita cari meja yang ada nomornya ya," kata bunda sembari melihat-lihat meja lain.
Aku terdiam sejenak. Ada rasa kecewa terlintas di hatiku. Rasanya, aku hanya ingin duduk di tempat itu. Di tengah kebungkaman kami, seorang pelayan datang dengan membawa papan berisikan nomor meja.
"Permisi Ibu, mau duduk di sini ya? Silahkan, Ibu. Ini nomor mejanya ya." Pelayan tersebut meletakkan papan berisi nomor meja itu di atas meja yang tadi aku inginkan.
Dengan senyum kemenangan, aku langsung menduduki diri di kursi dekat jendela diikuti dengan bunda yang duduk di sebelah abang. Senyuman kecut terukir dari bibir bunda yang menimbulkan rasa penasaran.
"Bunda kenapa?" tanyaku polos. Bunda hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Tidak sengaja, mataku melihat kearah nomor meja yang diletakkan di depanku. Nomor 4, itulah yang tertera di sana. Bagi orang lain, mungkin itu adalah angka biasa. Namun, bagiku tidak. Nomor meja itu berhasil memutar ingatan di kepalaku.
"Ayah, kenapa kita selalu di meja nomor 4 ini? Kenapa gak di nomor 1, 2, 3, atau nomor lainnya? Ayah suka nomor 4 ya?" tanyaku yang usianya saat itu masih 7 tahun.
"Enggak tuh, Ayah gak suka nomor 4."
Jawaban ayah membuatku memanyunkan bibir. "Ih terus kenapa?" tanyaku sedikit kesa kepada ayah..
"Karena meja ini melambangkan jumlah kita dong. Ada Ayah, Bunda, Abang dan juga Nisa. Kita akan selalu berempat sampai kapanpun. Sama seperti nomor meja ini," kata ayah sembari mengacak-acak rambutku.
"Sampai kapanpun, sungguh?"
"Iya, Putri Ayah. Sampai kapanpun." Ayah mengulangi perkataannya sekali lagi.
Senyumku langsung terukir ketika tersadar dari ingatan itu. Air mataku juga sudah membanjiri pipiku. Rasa sesak yang terasa di dada membuat nafasku sedikit tidak normal. Hal itu terjadi ketika aku kembalimenyadari posisi duduk kami yang terlihat masih sama seperti ketika ada ayah. Hanya kursi yang biasanya di tempati oleh ayah yang terlihat kosong.
"Nis, hei kamu kenapa nangis?" tanya abang yang langsung berdiri memposisikan diri ke sebelahku.
Bunda langsung menghamburkan pelukannya ketika melihat aku yang sudah menangis tersedu-sedu. "Sayang, kamu kenapa?"
"Tempat ini masih sama, Bunda. Tetapi, kursi ayah kosong gak terisi. Bunda, Nisa kangen Ayah." Ungkapanku berhasil membuat bunda dan abang terkejut. Untung saat ini suasana di tempat ini hanya ada kami.
"Bohong kalau selama ini Nisa uda ikhlas, Bunda. Ayah bilang, kita akan selalu berempat seperti nomor meja ini. Kenapa Ayah malah meninggalkan kita jadi bertiga, Bunda?" kataku yang masih terisak-isak.
Bunda yang sudah ikutan menangis pun menghapus air mata yang jatuh di kedua pipiku. "Sayang, Bunda tahu kamu merindukan ayahmu. Tidak hanya kamu, bahkan Abang dan juga Bunda ikut merasakan hal yang sama sepertimu. Kamu menyadari perubahan ekspresi Bunda tadi kan? Rasa sesak juga menyelimuti hati Bunda ketika datang ke tempat ini. Bunda kira dengan kedatangan kita ke sini, kita akan bisa mengobati rindu kita kepada Ayah. Tapi ternyata, malah semakin menyesakkan dada ya? Maafin Bunda ya," kata bunda yang membuat suasana semakin menyedihkan. Timbul perasaan bersalah dari hatiku saat mendengar perkataan bunda.
"Bunda, maafin Nisa yang gak bisa kontrol perasaan Nisa ini ya. Niat Bunda gak salah uda ngajak kami ke tempat ini. Nisa aja yang terbawa suasana dan terfikirkan masa lalu. Maaf, Bunda. Karena Nisa, Bunda jadi ikutan sedih deh. Maaf, Bunda." Aku semakin mempererat pelukanku dengan bunda. Begitu pula juga abang yang ikut memelukku dari belakang.
"Kalian harus tau, Ayah akan selalu ada di dekat kita. Mungkin kita gak bisa melihat Ayah secara langsung sekarang, tapi Ayah bisa. Apa kalian mau Ayah kalian juga sedih di sana? Siapa yang akan menghibur ayah di sana kalau Ayah sedih? Mungkin kalian di sini bisa Bunda hibur, tapi Ayah?"
Bunda tersenyum tipis sembari menghapus air mata kami secara bergantian.
"Kalian ingat kata-kata Bunda ya. Sejauh mana kenangan mengingatkan kita, posisinya akan tetap berada di belakang. Kita boleh menyimpannya di dalam hati sampai kapanpun itu. Akan tetapi, jangan biarkan kenangan itu menghalangi kita untuk bangkit dan berjalan ke depan ya," ucap bunda yang segera kami angguki.
Benar kata bunda, jangan sampai kenangan menghalangi kita untuk berjalan ke depan. Cerita soal ayah akan selalu tersimpan jauh di dalam hati kami, khususnya hatiku. Dari sekian banyaknya orang yang bisa dijadikan sosok favorit di hidup orang lain, aku akan tetap memilih ayah menjadi tokoh favoritku. Mungkin, perasaan rinduku terkadang seakan memintanya untuk hidup kembali. Aku menyimpulkan itu memang hal wajar bagi setiap anak yang merasakan kehilangan. Ya, walaupun itu memang mustahil. Tapi tidak papa, itu salah satu cara untuk menyauarakan sedihnya. Dari sini dan di tempat ini juga, aku belajar untuk benar-benar mengikhlasan kepergian ayah tanpa harus menyembunyikannya lagi. Aku yakin, suatu hari nanti ketika mendatangi tempat-tempat favorit kami lagi tidak akan ada suasana sehisteris ini. Bahkan mungkin aku akan menampilkan senyumku, bukan tangisku lagi. Semoga saja hari itu cepat datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H