Aku menghela nafas kasar, kemudian dilanjutkan dengan mengangguk-anggukan kepalaku sebagai jawaban setuju.
"Yauda, Abang pergi dulu ya."
Setelah pamitan, ia pun langsung melenggang pergi keluar rumah dengan menggunakan setelan jaket bewarna merah yang menjadi favoritnya.
"Cepet pulangnya!" teriakku menghantar kepergiannya.
Satu jam setelah kepergian abang, langit mulai berubah warnanya menjadi gelap. Waktu sudah hampir menunjukan pukul 7 malam. Namun, abang yang tadi janjinya hanya pergi sebentar tidak kunjung menampakkan dirinya. Suara gerimis mulai terdengar jatuh di atap rumah. Hanya butuh waktu lima menit saja, rintikan gerimis berubah menjadi hujan yang sangat lebat disertai dengan suara gemuruh petir yang sangat keras seperti sedang mencari-cari mangsanya. Aku spontan menutup kedua telingaku dengan tangan. Tidak lupa, wajahku juga ikut aku tutup dengan menggunakan selimut. Aku bisa merasakan tubuhku yang sedang terduduk di pojok kamar sedang bergetar hebat. Jantungku terasa berdegup lebih kencang, tidak seperti biasanya. Air mata yang sempat tertahan juga tidak sengaja menetes di kedua pipi gembulku. Bagiku, suara petir memang sangat menakutkan. Banyaknya berita soal orang tersambar petir dan aku yang dulu pernah hampir menjadi korban menjadi pemicu awal ketakutanku ini muncul. Namun di tengah ketakutanku itu, aku merasakan seseorang sedang berjalan mendekat kearahku. Perasaan takutku semakin menjadi-jadi memikirkan siapa orang yang sedang berjalan kearahku itu.
"Nisa." Orang itu memanggil lembut namaku. Rasa takutku seakan sirna ketika mendengar suaranya. Ya, suara itu adalah suara dari orang yang paling kukenal. Aku membuka selimut yang menutupi wajahku dan langsung menghamburkan pelukan ke orang yang sedang bertekuk lutut di depanku.
"Kamu takut ya? Jangan takut lagi ya, uda ada Abang di sini kok. Maafin ya, Abang lama pulangnya karena ban motornya bocor tadi," kata abang yang terus berusaha menenangkanku. Ia juga membelai lembut rambut panjangku. Hal itu membuat tangisku perlahan mereda. Abang masih terus mendekap erat tubuhku karena ia juga tahu sumber yang menjadi ketakutan dari adiknya ini.
"Anak-anak, Bunda pulang." Teriakan bunda di depan pintu sedikit mengagetkan kami. Untung saja di luar sedang hujan, jadi suara kerasnya teriakan bunda tidak akan terdengar menggelegar seperti biasanya jika tidak lagi hujan.
"Bunda, kan basah kuyup begitu. Uda Dimas bilang, Bunda aja yang bawa mantel hujannya," omel abang ketika melihat kondisi bunda namun masih belum melepaskan pelukannya dariku.
Sayangnya, omelan abang sama sekali tidak digubris oleh bunda. Bunda yang terlihat begitu khawatir langsung menghampiri dan ikut memelukku sembari mengatakan, "kamu gapapa, Sayang? Jangan takut ya. Bunda uda pulang kok ini. Maaf ya, kalian harus sendiri di saat hujan deras mengerikan seperti ini. Maaf kalau kalian juga kekurangan waktu bersama Bunda. Maaf juga kalo..."
"Bunda, stop minta maaf ya. Kami gak papa kok. Nisa juga sudah mulai mereda ketakutannya. Iya kan, Nis?" potong abang di tengah perkataan bunda.