"Loooh... mau kemana kan belum selesai? "
" Sudah nanti kamu tambah pusing! Bye Dhamar, see you next time"
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata "Hati-hati Tar". Malam semakin larut, aku merenungi dengan sungguh-sungguh  perkataan Tari, memang ada benarnya juga katanya tentang apa yang harus aku berikan kepada Purbasari besok.
Perlahan aku membuka cakrawala ingatanku, tentang apa yang disukai oleh Purbasari. Ia adalah seorang yang menyukai hal unik, terutama kesenian yang berbau jawa, berbagai lukisan, sampai dengan puisi jawa berbahasa kuno yang sering aku sebut sebagai bahasa alien. Namun yang aku ingat ia adalah penyuka tokoh Shri Rama dan Shinta, hal tersebut membuatku teringat sebuah benda yang aku miliki, sebuah cinderamata relief Shri Rama dan Shinta yang dipahat diatas sebuah kayu jati sebesar buku kecil yang aku dapatkan di Jogjakarta lima tahun lalu, dan aku berniat untuk memberikan padanya besok. Angin malam membuatku tak dapat memastikan waktu, tak terasa sudah  jam 12 malam.
Minggu Sore, bertemu Purbasari.
Entah apa yang aku rasakan. Ketenangan yang diucapkan Tari tadi malam terasa buyar, seakan aku hanya ingin menutup mata dan telinga, menghentikan waktu, dan mengembalikan matahari yang begitu terik siang ini.
Angin seakan menegurku, dan menyeretku untuk bertemu Purbasari di tempat yang telah kami sepakati bersama. Jam 3 sore aku sudah sampai, kemudian mengabari Purbasari "Sudah sampai mana? ", namun tak ada jawaban sama sekali, mungkin masih dalam perjalanan.
Deburan ombak semakin hening, tenang sore ini, sedangkan matahari telah bersiap memerahkan lautan. Tak lama berselang Purbasari datang, "Sudah lama nunggunya? Maaf ya aku terlambat"
" Gak apa-apa kok" jawabku, sedang ia mulai duduk tepat disampingku "Oh ya apa kabar? "
"Baik, "
Hanya itu mungkin yang membuka obrolan kami sore itu, lalu ia beranjak berdiri dan mengajakku melangkah tepat di bibir pantai. Matanya berkaca-kaca memandang ujung lautan yang mulai memerah, "Dhamar, aku mau cerita sama kamu"