Mohon tunggu...
R Adin Fadzkurrahman S.IP
R Adin Fadzkurrahman S.IP Mohon Tunggu... Ilmuwan - Kendal, Jawa Tengah

Seyogyanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Aku Tak Akan Membenci Senja

18 September 2018   23:17 Diperbarui: 18 September 2018   23:16 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri -- brrrwisata.com

"Mungkin aku baru sempat menulis ini, aku tak berharap engkau membacanya ataupun mencetaknya untuk kau simpan didalam diarymu", kataku pada angin yang mungkin akan membawakan pesanku pada seseorang yang aku tuju.

 12 Desember 2004 dibawah pohon beringin di desa kecil diperbatasan semarang-kendal bersama dengan tenggelamnya matahari dan menanti sang purnama datang. Aku terlalu sibuk dengan pena dan buku kecil berwarna hitam, aku sibuk menulis kata demi kata, berkaca lalu menerawang jauh kenangan lampau bersama Purbasari. Kenangan terakhir yang aku ingat bersamanya.

Angin malam mulai membawa hawa dingin, ingatan terakhir dimulai dari kota yang terletak diperbatasan Kendal-Batang yang bernama weleri dipesisir utara jawa yang saat itu belum terbangun megah, disuatu pantai Pandanwangi.

Purbasari mengajakku untuk bertemu, setelah lama mereka tak bertegur sapa ataupun bertukar kabar, karena memang ada beberapa hal yang membuat hubungan kami merenggang, namun tak pernah juga Purbasari jelaskan padaku apa hal itu, hal yang membuatnya berubah dan menjauh. Memang tidak pantas seorang lelaki menanyakan kesalahannya kepada seorang wanita, namun setidaknya jangan menghakimi sedemikian rupa, ini sangat menyakitkan. Tepat hari sabtu sore, suara dering telepon nyaring terdengar, itu berasal dari Purbasari."Selamat sore," sapanya padaku,

"iya, sore.... "

" Dhamarkan ini? " tanyanya padaku (Dhamar/ namaku)

" Iya, "

" Besok kita bertemu bisa? "

"Dimana? "

"Pantai yang biasanya" maksudnya adalah pantai Pandanwangi, karena kami dulu sering kesana bersama,

" barengan ya ? besok aku yang jemput" tawarku padanya,

" Tidak usah, kita berangkat sendiri-sendiri saja. Besok kita bertemu jam 3 sore"

" Oke"

Tak ada balasan kembali darinya, entah apa yang ingin ia sampaikan, karena semenjak kami membatasi jarak tak ada lagi hal-hal yang disampaikan seperti biasanya meskipun hanya sekedar untuk bertemu.

Malam semakin mendalam, merasuk bersama kesunyian, burung-burung pantai memekik diatas cakrawala bersamaan dengan suara itu terdapat pesan masuk di handphone ku. Ternyata lestari, seorang temanku yang kemarin ke Jawa untuk mengisi waktu libur kuliahnya, ia berasal dari palembang. Kami sangat dekat karena masa kecil kami dihabiskan untuk bersama-sama, ia adalah teman lamaku, dalam pesan singkatnya ia berniat untuk mampir ke rumah dan aku menyetujuinya.

Suara burung perkutut terdengar merdu, seperti mengetahui kalau ada orang yang akan datang, tak lama kemudian Lestari datang, ia langsung memanggilku "Dhamar!  Sini turun dong! " teriaknya keras,

" Naik saja, nanti aku buatkan kopi disini, "

" Oke" ia melangkah masuk dan menaiki tangga kearah teras atas dimana aku sedang duduk santai, memandangi lampu-lampu didaerah pegunungan.

"Hey! " kagetnya dan memegang pundakku,

" Sampai kapan? "

" Tadi siang" mengarah ke kursi didepanku, kemudian duduk,

" Dari Ahmad Yani? "

" Iya, aku langsung kesini loh" jawabnya merapikan tas,

" Sebentar, aku buatkan kopi dulu ya, pahit atau manis? "

" Manis saja tapi jangan terlalu manis, kan aku sudah manis"

" Ya sudah aku buatkan yang pahit saja" kataku padanya,

"Kok bisa? "

" Jangan protes! hhhh" aku melangkah ke dalam untuk membuatkan Lestari kopi dan mengambil beberapa makanan kecil untuk kami nikmati,

Beberapa menit kemudian aku kembali membawakan secangkir kopi untuk Lestari, " Waaah, kamu memang temenku yang paling pengertian deh" pujinya.

" Teman siapa dulu? "

" Temanku"

Sementara kami menikmati kopi dan bercerita sana sini, baik mengenai kuliahnya ataupun lainnya termasuk pacarnya. Dan kali ini suasana adalah semi serius alias santai tapi serius, aku menceritakan mengenai Purbasari, aku menanyakan mengenai apa yang wanita sukai,

" Tari, aku boleh tanya, "

" tanya apa? Serius banger wajahmu? "

" Apa sih yang disukai cewe? "

" Tergantung sih? " sambil nyemil,

" Oke, aku gak tau harus bertanya dari mana. Mungkin aku akan bertanya tentang hadiah untuk seorang sahabat baik, untuk sekedar menjadi kenangan terakhir " tanyaku, menatap mata lestari dengan serius,

" Aku jawab ya" ia meneguk kopi dan menjawab pertanyaanku " Sebenarnya mudah-mudah sulit, untuk sebuah kenangan sih. Gak perlu mewah ataupun mahal, yang penting kamu tulus memberikannya, usahakan itu punya arti tersendiri entah apapun itu. Jangan mengharapkan ia terkesan oleh pemberianmu" jelasnya padaku layaknya seorang ahli,

" Lalu? "

" Sudah, itu saja. Aku gak mau buat kamu tambah bingung!" ia kembali menyeruput kopinya "Memang kamu sama Purbasari akan berpisah?"

" Mungkin" aku terdiam beberapa detik, "Tapi, entahlah aku belum bisa memperkirakan apa yang akan terjadi nanti, semoga saja tidak namun setidaknya aku akan mempersiapkannya"

" Usahakan kamu tenang saja"

" Oke makasih ya, kamu memang temenku yang sangat baik he..he..he..! "

"Ah kamu mah biasa, jadi laki-laki yang peka kali! " Candanya padaku, sambil berjalan menepuk pundakku "aku pulang dulu ya? " melambai tangan,

"Loooh... mau kemana kan belum selesai? "

" Sudah nanti kamu tambah pusing! Bye Dhamar, see you next time"

Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata "Hati-hati Tar". Malam semakin larut, aku merenungi dengan sungguh-sungguh  perkataan Tari, memang ada benarnya juga katanya tentang apa yang harus aku berikan kepada Purbasari besok.

Perlahan aku membuka cakrawala ingatanku, tentang apa yang disukai oleh Purbasari. Ia adalah seorang yang menyukai hal unik, terutama kesenian yang berbau jawa, berbagai lukisan, sampai dengan puisi jawa berbahasa kuno yang sering aku sebut sebagai bahasa alien. Namun yang aku ingat ia adalah penyuka tokoh Shri Rama dan Shinta, hal tersebut membuatku teringat sebuah benda yang aku miliki, sebuah cinderamata relief Shri Rama dan Shinta yang dipahat diatas sebuah kayu jati sebesar buku kecil yang aku dapatkan di Jogjakarta lima tahun lalu, dan aku berniat untuk memberikan padanya besok. Angin malam membuatku tak dapat memastikan waktu, tak terasa sudah  jam 12 malam.

Minggu Sore, bertemu Purbasari.

Entah apa yang aku rasakan. Ketenangan yang diucapkan Tari tadi malam terasa buyar, seakan aku hanya ingin menutup mata dan telinga, menghentikan waktu, dan mengembalikan matahari yang begitu terik siang ini.

Angin seakan menegurku, dan menyeretku untuk bertemu Purbasari di tempat yang telah kami sepakati bersama. Jam 3 sore aku sudah sampai, kemudian mengabari Purbasari "Sudah sampai mana? ", namun tak ada jawaban sama sekali, mungkin masih dalam perjalanan.

Deburan ombak semakin hening, tenang sore ini, sedangkan matahari telah bersiap memerahkan lautan. Tak lama berselang Purbasari datang, "Sudah lama nunggunya? Maaf ya aku terlambat"

" Gak apa-apa kok" jawabku, sedang ia mulai duduk tepat disampingku "Oh ya apa kabar? "

"Baik, "

Hanya itu mungkin yang membuka obrolan kami sore itu, lalu ia beranjak berdiri dan mengajakku melangkah tepat di bibir pantai. Matanya berkaca-kaca memandang ujung lautan yang mulai memerah, "Dhamar, aku mau cerita sama kamu"

" Iya, aku dengerin"

" Menurutmu arti senja bagi diri kamu itu apa sih? " Tanyanya sambil menatap laut,

" Senja ya? " aku pun ikut berkaca " Senja, menurutku adalah pertanda datangnya malam dan burung bangau pulang ke sarangnya"

"Bukan itu maksudku"

"Lalu? "

" Apa perasaanmu ketika seseorang meninggalkanmu saat senja tiba? "

" Entahlah aku tak dapat membayangkannya"

Purbasari mulai bercerita " Senja, sebagian orang menganggapnya sebagai pertanda berpisahnya siang dan matahari, ada sebagian memutuskan untuk bertahan ataupun mengakhiri sebuah hubungan. Meskipun terkadang perasaan berat selalu ada, namun senja selalu dinikmati oleh penikmatnya dan dibenci oleh para pembencinya karena terdapat kenangan didalamnya" mata Purbasari berkaca, "Lalu jika saat ini kita tak bisa melanjutkan persahabatan ini, apa kamu juga akan membenci senja dan aku? "

Aku terdiam, bahkan sangat lama menjawab pertanyaan berat ini, entah ada apa didalam dada ini, terasa penuh dan sesak, seakan detak jantung mulai berhenti begitu pula dengan udara di sekitar.

" Kalau tidak menjawab lupakan saja pertanyaan ini, kamu tak harus menjawabnya" kata Purbasari,

" Entahlah, tapi setidaknya aku akan mengusahakan untuk tidak membenci dirimu dan juga senja"

" Mungkin ini berat bagiku dan akan menyakiti kamu. Tapi pertanyaan tadi mungkin kamu sudah tau maksudku, " memandang kearahku, " rasanya sudah usai semua ini, tak ada yang harus aku jelaskan lagi, " Purbasari beranjak melangkah meninggalkanku,

" Tunggu, " aku mencoba menahannya sejenak " Ada sesuatu yang mungkin hanya untuk sekedar kenangan, tak masalah kamu akan menerimanya atau tidak, namun setidaknya aku sudah memberikannya padamu, sebagai kenang-kenangan bahwa kita pernah bersahabat" aku memberikan relief Shri Rama dan Shinta, ia pun menerimanya lalu pergi tanpa sepatah katapun  ia ucapkan.

Dan senja  sore ini menjadi penutup persahabatan kami berdua. Menjadi kenangan yang mungkin akan membekas dalam langkahku, namun aku tak akan membenci senja. Sebab diantara senja, aku dapat merasakan kedamaian, menikmati kenangan untuk pembelajaran esok. Dan malam ini, aku memutuskan untuk menulisnya untukmu sahabat.

Tertanda, DHAMAR.

Kendal, 18 September 2018

R. Adin Fadzkurrahman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun