"Kau bukannya ganti baju dulu" celetuk ibuku menghampiri kami berdua, "adik dan kakak samo sajo"
"Sudah lapar bu" Timpal aku dan kakaku sembari tertawa kecil.
Selama beberapa menit hanya terdengar bunyi sentuhan piring dan sendok, aku dan kakakku fokus menghabiskan makan.
Kakakku melirik ke arahku melontarkan pertanyaan yang sudah sering ditanyakan setiap harinya, "Baa tadi sekolah?"
Aku menghembuskan nafas, "Seperti biasa."
Kakakku mengernyitkan dahi, merasa janggal karena hembusan nafasku terdengar seperti sedang lelah, "Kau kenapa?"
"Ndak apa-apa, hanya saja awak merasa sedih di sekolahan abang perempuan nya sedikit," jawabku hati-hati.
"Sudahlah ndak usah kau hiraukan, belajar sajo yang bana,"Â tegas kakaku sembari meninggalkan meja makan.
Di lingkunganku kaum perempuan dianggap tidak perlu mementingkan pendidikan karena pada akhirnya kodrat dan takdir perempuan hanyalah tentang kehidupan rumah tangga yang tak jauh dari dapur. Begitulah anggapan banyak orang di lingkunganku. Namun, bagiku tidak. Sebagai seorang perempuan, sekalipun akan berperan sebagai ibu rumah tangga, perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya.
Keesokan harinya, aku sampai di tempat ini lagi di ruangan dengan dinding berwarna putih yang sudah mulai kusam, di dalamnya dipenuhi meja dan kursi coklat dengan noda tinta corat-coret diatasnya, lengkap dengan papan tulis di depan.
Sekolah berjalan seperti biasanya, diskusi kelas selalu didominasi oleh laki-laki, aku merasakan ketidaksetaraan di sekolahku, karena dimulai dari guru-guru dan muridnya yang sebagian besar adalah laki-laki. Murid perempuan kesulitan mendapatkan penjelasan agama secara mendalam tentang fikih yang berkaitan dengan perempuan. Selain karena tidak dibahas oleh para guru, murid perempuan pun malu bertanya.