Langit mulai mendung awan gelap pun sudah mendominasi, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Aku pun mempercepat langkahku takut-takut akan kehujanan di jalan. Aku berjalan kaki pulang ke rumah dari sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahku.
"Assalamualaikum bu, awak pulang" Ucapku ngos-ngosan lelah karena berlari.
"Waalaikumsalam, langsuang makan lai ibu alah masak, alah ibu siapkan di meja". Sambut Ibuku yang terlihat kelelahan juga sehabis memasak.
"Iyo bu, tarimo kasih"Â Aku pun pergi ke meja makan berniat untuk makan masakan ibuku.
"Ganti baju dulu, abih itu baru makan" Sanggah ibuku di ruang tv yang sebenarnya tidak terlihat dari meja makan.
Alih-alih mendengar sanggahan ibuku, aku langsung melahap masakan ibu karena sudah lapar sekali seharian di sekolah.
Aku mengenyam pendidikan agama di sekolah milik kakak sulungku, yang bernama Diniyah School. Sekolah agama yang menggunakan sistem koedukasi. Siswa laki-laki dan perempuan dicampur dalam ruang kelas yang sama. Saat itu, sedikit sekali perempuan yang belajar di sekolah.
Saat itu aku sedang berusia 16 tahun, aku di besarkan oleh Ibuku dan Kakak-kakaku, dari kecil aku sudah ditinggalkan oleh Ayahku. Aku dan keluargaku tinggal di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Terlihat disana Sang Kakak sulungku yang tak lain dan tak bukan yaitu Zainuddin Labay, berjalan dengan muka lelahnya memasuki rumah, "Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam abang" jawabku seraya melambaikan tangan, "Sini makan abang"
Dengan perut laparnya kakakku pun menghampiriku ke meja makan, syukurlah hujan belum turun pada saat kakak pulang.
"Kau bukannya ganti baju dulu" celetuk ibuku menghampiri kami berdua, "adik dan kakak samo sajo"
"Sudah lapar bu" Timpal aku dan kakaku sembari tertawa kecil.
Selama beberapa menit hanya terdengar bunyi sentuhan piring dan sendok, aku dan kakakku fokus menghabiskan makan.
Kakakku melirik ke arahku melontarkan pertanyaan yang sudah sering ditanyakan setiap harinya, "Baa tadi sekolah?"
Aku menghembuskan nafas, "Seperti biasa."
Kakakku mengernyitkan dahi, merasa janggal karena hembusan nafasku terdengar seperti sedang lelah, "Kau kenapa?"
"Ndak apa-apa, hanya saja awak merasa sedih di sekolahan abang perempuan nya sedikit," jawabku hati-hati.
"Sudahlah ndak usah kau hiraukan, belajar sajo yang bana,"Â tegas kakaku sembari meninggalkan meja makan.
Di lingkunganku kaum perempuan dianggap tidak perlu mementingkan pendidikan karena pada akhirnya kodrat dan takdir perempuan hanyalah tentang kehidupan rumah tangga yang tak jauh dari dapur. Begitulah anggapan banyak orang di lingkunganku. Namun, bagiku tidak. Sebagai seorang perempuan, sekalipun akan berperan sebagai ibu rumah tangga, perempuan juga memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya.
Keesokan harinya, aku sampai di tempat ini lagi di ruangan dengan dinding berwarna putih yang sudah mulai kusam, di dalamnya dipenuhi meja dan kursi coklat dengan noda tinta corat-coret diatasnya, lengkap dengan papan tulis di depan.
Sekolah berjalan seperti biasanya, diskusi kelas selalu didominasi oleh laki-laki, aku merasakan ketidaksetaraan di sekolahku, karena dimulai dari guru-guru dan muridnya yang sebagian besar adalah laki-laki. Murid perempuan kesulitan mendapatkan penjelasan agama secara mendalam tentang fikih yang berkaitan dengan perempuan. Selain karena tidak dibahas oleh para guru, murid perempuan pun malu bertanya.
Saat pembelajaran sudah berakhir aku tidak langsung pulang, aku mencari tempat duduk yang nyaman dibawah pohon rindang yang sangat cukup untuk melindungi tubuhku dari panasnya terik matahari. Aku memikirkan keadaan kelas tadi yang membuatku tidak nyaman, dengan keadaan seperti tadi aku berangan-angan seandainya ada sekolah khusus perempuan pastinya akan lebih mempermudah kaum perempuan dalam mendapatkan ilmu. Dari angan-anganku itu aku mulai berpikir bagaimana jika aku saja nanti yang akan membangun sekolah islam khusus perempuan. Tujuanku tentunya untuk mempermudah agar perempuan lebih leluasa belajar dan lebih percaya diri mengungkapkan segala pertanyaan serta rasa penasaran tanpa merasa malu dan merasa rendah diri.
Akupun beranjak dari tempat duduk, kembali melihat ke sekolah mencari keberadaan kakakku di ruangannya. Yang dicari pun masih terlihat di ruangannya duduk tenang menyelesaikan berkas-berkas kerjaannya dengan telaten. Kakakku yang sangat menginspirasiku aku ingin bisa seperti dia bisa mendirikan sekolah. Aku berencana untuk berbicara kepada kakakku tentang impianku untuk membangun sekolah islam khusus perempuan.
Dengan perut laparku aku menunggu kakakku keluar dari ruangannya untuk pulang bersama, karena ada yang akan aku bicarakan jadinya aku mengajak kakakku pulang bersama.
Lelaki berbadan tegap dengan wajah yang mulai menua keluar dari ruangannya, "Kenapa kau belum pulang?."
Aku pun menoleh ketika mendengar suara kakakku, "Awak menunggu abang."
Cuaca hari itu sedang bagus, ditemani dengan kicauan burung-burung dengan hembusan angin sore, aku dan kakakku pun berjalan bersama menuju rumah. Di perjalanan tidak ada yang memulai bicara, aku ragu-ragu untuk berbicara karena topik yang aku bicarakan agak sensitif. Selang beberapa menit setelah berfikir aku pun memberanikan diri untuk berbicara.
"Abang setelah lulus nanti awak ingin mendirikan sekolah khusus perempuan," ujarku ragu karena takut akan jawaban kakakku.
"Untuk apa? kan sudah ada Diniyah School, perempuan juga bisa bersekolah disitu," jawab kakaku.
"Tapi di Diniyah School, ruang untuk kaum perempuan itu terbatas ilmu yang didapat pun sangat terbatas. Awak ingin membuat kaum perempuan mendapatkan ilmu lebih luas lagi," tegasku dengan penuh percaya diri, ini memang mimpiku sejak dahulu.
"Abang ingin kau meneruskan Sekolah Diniyah School, kalau bukan kau nanti siapa lagi?"
Hanya hembusan nafas yang terdengar, aku sudah tahu ini jawaban Kakakku. Namun aku harus bisa meyakinkan Kakakku bahwa tujuanku baik.
Aku berusaha tidak terlarut ke dalam emosi, mencoba tenang dengan mengatur nafas, menyusun kata-kata sebaik mungkin agar kakakku dapat mengerti apa yang ku maksud nantinya dan tidak menjadi kesalah pahaman, "awak ka mamulai, dan awak yakin akan ado banyak pangorbanan nan dituntuik dari diri awak. Jiko abang bisa, manga pulo awak indak bisa. Jiko lakilaki bisa, manga pulo parusi indak bisa."
"Baiklah abang percaya kau pasti bisa, tapi kau tetap harus melanjutkan sekolah abang ya," jawab Kakakku tenang penuh yakin bahwa aku bisa.
"Iyo abang, tarimo kasih," jawabku dengan senyum yang mengembang.
Tak terasa setelah berjalan dipenuhi dengan obrolan yang serius aku dan kakakku pun sampai di rumah.
Setelah 7 tahun berlalu, aku berguru dengan Kakakku, Zainuddin, dan Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayahanda Buya Hamka. Tak cuma belajar soal keislaman, aku pun mempelajari banyak hal, seperti ilmu kesehatan, memasak, menenun, dan menjahit. Banyak pelajaran yang akan aku salurkan kepada murid-murid di sekolah yang aku dirikan, Diniyah Puteri.
Untuk sampai di titik ini tentu tidaklah mudah, banyak sekali lika-liku perjalanan yang aku alami, belum lagi perdebatan kecil dengan Kakakku karena selalu berbeda pendapat. Namun, pada akhirnya semua itu bisa aku lalui berkat teguhnya diriku untuk memajukan perempuan, tentunya dengan bantuan Kakakku dan orang-orang terdekatku.
Aku sangat peduli dengan kaum perempuan. Menurut penilaianku bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagaimana halnya kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini, menurutku, berakar dari persoalan pendidikan dan bisa diselesaikan melalui bidang pendidikan pula.
Bagiku, perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Maka perlu ada upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual maupun kepribadian.
Namun, aku tampak masih meyakini bahwa peran-peran domestik tak bisa dilepaskan dari perempuan. Aku mencoba memasukkan keterampilan rumah tangga ke dalam kurikulum sekolah, seperti memasak dan menjahit. Di masa yang di tengah masyarakatnya sangat patriarki, pemikiran seperti ini agaknya masih bisa dimaklumi.
Berdirinya aku disini di depan bangunan kokoh berwarna putih bersih, dengan terpampang papan nama di atasnya Sekolah Diniyah Putri. Perasaanku campur aduk senang, terharu, bangga menjadi satu, akhirnya aku bisa membangun sekolah ini. Semua yang kulalui tidaklah sia-sia aku sangat berterima kasih kepada Kakakku karena telah mempercayaiku dan mengajariku dengan sabar.
Sebuah tepukan pundak dari Kakakku membuatku menoleh, "Selamat yo kau berhasil, abang bangga."
Senyumku mengembang, air mata yang tadi kutahan menetes dengan sendirinya, "Tarimo Kasih abang untuk semuanya."
Kakakku membalas dengan sebuah pelukan hangat dan bangga.
Sekolah mulai berjalan dengan semestinya, sekolah ini merupakan sebuah terobosan bagi pendidikan kaum perempuan. Dua temanku, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara aku merangkap sebagai guru dan pimpinan. Awalnya, murid yang sekolah hanya 71 orang yang terdiri dari ibu-ibu muda. Mereka semua belajar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab. Dengan semua kesabaranku akhirnya seiring berjalannya waktu, murid yang sekolah bertambah, dari yang awalnya 71 menjadi 200 dan menjadi dua kali lipatnya. Semakin banyak perempuan yang peduli terhadap pendidikan, dan mengerti pentingnya pendidikan. Tak lama setelah itu, namaku dan Diniyah Putri melambung.
Namun, perjuanganku belum berhenti disitu saja. Setahun dari dibangunnya Diniyah Putri, kakakku pergi meninggalkanku.
Perjalanan Diniyah putri juga menghadapi beberapa cobaan. Pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padangpanjang, meruntuhkan gedung lama sekolah. Diniyah Putri terpaksa dihentikan setelah binasa oleh gempa bumi sehingga sekolah itu menuntut perhatian sepenuhnya dariku. Sekolah yang dulunya tegap berdiri berubah menjadi puing-puing bangunan karena gempa. Nanisah, salah satu temanku dan juga seorang guru di sekolah, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan.Gempa bumi mengakibatkan kegaiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padangpanjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota. Aku menyaksikan orang-orang meninggalkan Padangpanjang. Betapa sepinya Padangpanjang kala itu. Aku tidak menyerah pada takdir. Bersama kaum laki-laki, aku memanggul batu untuk membangun kembali sekolah kakakku. Aku tidak boleh mudah menyerah, karena sekolah ini adalah amanat dari kakakku, aku harus mempertahankan sekolah ini bagaimanapun keadaanya.
Melihat gedung yang dibangun oleh jerih payahku dulu kini runtuh begitu saja karena gempa, rasanya sesak. Gedung yang dulu ku tatap pertama kalinya sangatlah kokoh tegap berdiri berwarna putih bersih, kini hanyalah berupa batu-batu yang tidak berbentuk.
"Bagaimana ini Rahmah semuanya sudah hancur, teman kita pun Nanisah sudah tiada," ucap Djawana Basyir salah satu guru di Diniyah Putri.
"Kau tak usah khawatir, Diniyah Putri tidak akan berhenti sampai disini. Kita tidak boleh menyerah kita harus bangun kembali apa yang telah kita bangun sejak awal," jawabku tegas dengan yakin.
Aku berjuang kesana-kemari mencari dana untuk membangun kembali sekolah Diniyah Putri, untungnya aku tidak sendirian aku ditemanai teman-temanku dan juga orang-orang yang mendukung sekolah Diniyah Putri. Setelah penuh perjuangan membangun kembali sekolah yang telah ambruk, akhirnya sekolah Diniyah School bisa dipakai kembali. Bentuk bangunannya masih sama seperti dulu hanya warnanya saja yang berubah kini menjadi putih bersih.
"Setelah ini kau mau apa?," tanya temanku kepadaku.
"Entahlah aku hanya sibuk mengurusi sekolahku saja, mungkin kedepannya akan ada yang aku lakukan untuk membantu negeri ini," ujarku sembari menerawang apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
12 Oktober 1945, aku memelopori berdirinya Tentara Keamanan Rakyat yang anggotanya berasal dari Laskar Gyu Gun. Aku tidak hanya mengayomi Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian berubah menjadi TNI), tetapi juga barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Karena pengaruhku dalam dunia ketentaraan dan pergerakan di Sumatera Tengah, pada 1949 aku dipenjara dan disekap di rumah seorang polisi Belanda di Padang. Aku baru dilepas setelah mendapatkan undangan dari panitia Konferensi Pendidikan di Yogyakarta.
Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama. Diniyah Rendah setara dengan SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara dengan SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.
Aku sangat lega melihat bagaimana peningkatan kemajuan sekolah Diniyah Putri, yang awalnya hanya dimasuki oleh 71 orang kini menjadi banyak sekali orang yang bersekolah, dan sudah ada tingkatannya sesuai umur.
Tahun 1955, para petinggi Universitas Al-Azhar, Mesir, datang ke Padang dan menyempatkan berkunjung ke Sekolah Diniyyah Putri milikku. Mereka terkagum-kagum melihat ide dan upaya yang dilakukannya. Para petinggi universitas tersebut mengakui bahwa Al-Azhar dan Mesir pada umumnya, masih tertinggal jauh dari sekolah yang digagas olehku.
Dua tahun kemudian, aku diundang ke Mesir. Aku mendapat gelar kehormatan "Syehkhah" dan menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu dari Al-Azhar. Kedatanganku dan cerita soal Sekolah Diniyah menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat---fakultas khusus untuk perempuan yang direalisasikan pada 1962.
Aku menceritakan bagaimana awal mulanya aku membangun sekolah itu, dengan jerih payahku dan dibantu oleh Kakak sulungku, aku tidak menyangka bahwa ceritaku ini dapat menginspirasi Al-Azhar. Suatu pencapaian yang besar bagiku bisa menjadi inspirasi.
Upaya pengembangan pendidikan yang kulakukan selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat perguruan tinggi. Sejak 1964, Aku merintis pendirian Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 22 November 1967, kedua fakultas tersebut diresmikan Gubernur Sumatera Barat Harun Zain.
Semakin lama kondisi fisikku semakin melemah, kesehatan ku pun mulai menurun, banyak aktivitas yang kutinggalkan karena tidak kuat untuk melanjutkannya. Sehari sebelum aku dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, aku bertemu dengan Pak Gubernur, Harun Zain. Aku menitipkan pesan kepadanya, "Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri."
Aku dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa pada usia 71 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahku
Kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H