Mengapa? Masyarakat banyak begitu hormat, terkesima dan seperti tersihir terhadap 2 sosok luar biasa itu. Hanya hati yang bisa menggerakkan hati dan ini tidak bisa dimanipulasi, dipaksakan atau dibeli dengan uang.
Mungkin ada sebagian politikus kita yang bisa naik karena uang. Uang mungkin bisa membeli suara tetapi tidak bisa membeli “hati” masyarakat. Hanya hati yang bisa menggerakkan hati. Inilah “nilai dasar” dari konsep dan teori MarkBen – Marketing Beneran.
Jordan Thomas adalah seorang pembuat film amatir dari Brooklyn New York. Ketika jam 3 dini hari masuk ke situs kampanye Obama disitu ada petunjuk “sukarelawan “ untuk membentuk kelompok. Apa kemudian yang terjadi membuat Thomas begitu terharu dan antusias “Saya berpikir, ya Tuhan orang ini mempercayakan kampanyenya kepada orang seperti saya, kemudian saya daftarkan nama tim yang ada dalam bayangan, Brooklyn untuk Barrack ”. Ribuan atau mungkin ratusan ribu sukarelawan macam Thomas inilah yang membuat Obama mencetak sejarah.
Di Jombang, ratusan tukang becak mengirimkan sumbangan ke pasangan Jokowi–JK. Uang hasil iuran yang terkumpul Rp 600 ribu itu ditransfer. Ditempat lain hampir semua kalangan menyumbang Jokowi hingga mencapai Rp 35 milyar. Mengapa banyak orang mendukung dan rela berkorban untuk Obama dan Jokowi? Itu semua karena hati, karakter dan sikap positif yang ditunjukkan, dipraktekkan dan diperjuangkan keduanya.
Siapa saja dan dimana saja, jika ada tokoh yang mempunyai karakter semacam ini akan dihormati dan didukung banyak orang. Gus Dur, Amin Rais sebagai tokoh reformasi, Munir, Romo Mangun, Ketua KPK (masalah hukum), Bu Risma, Kang Emil, Yoyok termasuk Ahok. Bahkan siapapun dia, tidak peduli darimana asalnya atau agamanya Muslim, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu atau Kong Fu Cu, jika dia berjuang mencapai sesuatu berlandaskan “Nilai-nilai kemanusiaan” dia akan didukung banyak orang. Begitu juga Ahok dan Teman Ahok, mengumpulkan dukungan 1 juta KTP dimana gagasan dan biaya dilakukan semua oleh relawan bukan pekerjaan sembarangan, butuh militansi. Itulah mengapa mereka berhasil.
Salah satu perbedaan mendasar antara bisnis dengan politik meskipun tujuan akhirnya sama yaitu kepuasan, yang satu customer satisfaction yang lainnya public satisfaction. Pada bisnis, jika masyarakat tertarik kepada suatu produk kemudian mengkomsumsi. Dia jadi tahu bagaimana rasa dan kualitas produk tersebut. Beda dengan politik yang bisa di terima oleh masyarakat hanya isu-isu, hanya janji-janji, hanya data-data. sehingga kepercayaan kepada kandidat merupakan kunci vital.
Lalu bagaimana dengan Ahok yang oleh sebagian orang dianggap sebagai orang yang tidak sopan, kasar, kurang komunikatif, menyengsarakan rakyat karena rendahnya serapan anggaran. Bukankah ini adalah sifat negatif yang akan mengurangi kepercayaan pada Ahok? Ya! Tapi ditengah kemuakan masyarakat terhadap kemunafikan dan korupsi. Penilaian sebagian besar masyarakat justru berbalik.
Apa gunanya sopan kalau ujung-ujungnya korup, apa gunanya halus kalau masalah Jakarta yang semrawut tidak pernah selesai, kalau biroksasi yang seharusnya melayani justru memperdagangkan kekuasaan yang dimilikinya. Apa gunanya komunikatif pada orang yang jelas melanggar peraturan dan menantang. Apa gunanya anggaran terserap tinggi kalau ujung-ujungnya dikorupsi dan tidak jatuh pada masyarakat. Itulah persepsi kebanyakan masyarakat dan itulah yang terjadi pada gubernur-gubernur sebelum Jokowi Ahok.
Sekarang lebih banyak masyarakat mempersepsikan Ahok sebagai pemimpin transformatif, visioner, berani, tegas, jujur dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Ini alasan mengapa relawan Ahok tumbuh subur dan elektabilitas Ahok tetap tinggi.
Kembali kepertanyaan tadi apakah Ahok akan menang? Selain kasar, rendahnya serapan anggaran, tidak harmonis dengan DPRD, mengorek kasus hukum, maka lawan-lawan Ahok akan memainkan isu-isu primordialisme. Jika ditambah dengan parpol bersatu kemudian hanya mengajukan calon terbaiknya yang juga punya karakter untuk head to head dengan Ahok. Maka pertarungan bakal seru.
Tetapi saya belum yakin kalau parpol bersatu hanya mengajukan 1 calon. Selain karena susahnya untuk kompromi menentukan siapa cagub siapa cawagub, juga resikonya sangat tinggi bagi parpol jika mereka bersatu dan akhirnya juga kalah, mau ditaruh dimana muka mereka. Tetapi apakah ada 2, 3 atau 4 calon, pertarungan akan seru dan kemungkinan Ahok kalah bisa saja terjadi.