Ketika Obama menang sebagai orang kulit hitam pertama menjadi presiden USA, dunia heboh dan kagum. Bagaimana tidak! Orang kulit hitam, minoritas yang dipandang sebagai warga kelas dua, berhasil menjadi presiden. Ketika Jokowi bukan petinggi partai, bukan dari kalangan jendral, bukan dari keluarga konglomerat, hanya pengusaha mebel dan anak tukang kayu, menang menjadi presiden, Indonesia gempar dan bergembira. Obama dan Jokowi menang didukung partai kuat.
Meminjam istilah Syahrini “Cetar membahana badai” jika nanti Ahok menang jadi Gubernur DKI. Karena dia maju lewat jalur independen, beragama Kristen dan orang Tionghoa lagi, dahsyat!
Bill Richardson, Gubernur New Mexico dan mantan Menteri Energi dalam pemerintah Bill Clinton, menggambarkan kemunculan Obama sebagai “A once-in-a-lifetime leader” pemimpin yang datang satu kali dalam masa kehidupan. Fenomena Ahok menggambarkan fenomena yang mirip ““A once-in-a-lifetime leader”.
“Ini pertama kali dalam sejarah, Teman Ahok jual kaus tuh dapat duit Rp 2 miliar lebih lho untungnya untuk modal usaha. Ini enggak gampang, makanya saya berkorban tanda kutip buat mereka,” kata Ahok. “Tapi kalau (persyaratan) enggak terkumpul, semua partai marah sama saya. Lebih baik tanding tanpa Ahok lebih seru kan? Saya sih sudah siapin mental saya. Aku mah udah pasrah sekarang,”.
Ini fenomena langka, ditengah orang lain memburu kekuasaan dengan segala cara. Ahok memandang kekuasaan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang. “ Saya ibarat naik mobil mercedes yang udah diparkir lengkap dengan sopir (jika melalui partai),tapi dengan kalian saya ibarat naik bus dan belum tahu sampai atau tidak!” kata Ahok kepada relawan teman Ahok. “Ya bapak kalau naik mobil mewah hanya bapak yang pergi, tapi kalau naik bus kita pergi sama-sama”.
Ini bukan seperti percakapan antar calon gubernur dan relawan yang mengusungnya. Ini percakapan yang sarat emosi layaknya seorang bapak yang berdiskusi dengan anaknya. Kata Ahok inilah yang membuat hatinya luluh kemudian mantap menerima pinangan relawan teman ahok untuk maju melalui jalur independen yang resikonya sangat besar. “Saya sih sudah siapin mental saya”.
Jagad politik gempar! Sebagian petinggi PDIP tersinggung dan isu deparpolisasipun merebak. PDIP sebagai institusi partai pemenang pemilu tidak mau didikte relawan. Selain itu PDIP merasa tidak dipercaya oleh relawan. Sementara Relawan tidak bisa menunggu karena mepetnya waktu. Bagi relawan Ahok adalah petahana dimana kredibilitas dan kerjanya ibarat buku sudah terbuka yang bisa dbaca siapa saja, apakah masih perlu mekanisme baku?
Selain itu Teman Ahok ragu apakah ada jaminan bahwa parpol akan mendukung Ahok, kalau tidak! Setelah terjadi diskusi Teman Ahok berhasil meyakinkan Ahok untuk maju melalui jalur independen. Teman Ahok yang sebagian besar anak muda, yang biasanya tidak sabaran dan sedikit nekat, membuat sejarah. Terlepas dari semua itu, kita harus mengapresiasi mereka, mereka adalah generasi pemilik Indonesia ke depan, generasi digital (gen Y) yang hanya ingin Indonesia lebih baik. Dan cara ini nampaknya gagap ditanggapi oleh orang-orang partai.
Mungkin Teman Ahok memahami anekdot yang beredar di masyarakat . “Konon katanya setiap bayi laki-laki Brazil lahir dikakinya ada bola. Setiap bayi Tionghoa lahir ditangannya sudah memegang duit. Bagaimana dengan bayi Indonesia, tunggu! harus dirapatkan dulu karena semua ada mekanismenya”. Ya kalau lahir keputusan itu tetap mendukung Ahok dan Jarot, kalau tidak!
Keputusan Ahok ini mengubah semua paradigma, permainan, definisi dari kekuasaan. Jika selama ini kandidat yang kasak kusuk untuk menjadi calon bahkan dengan membayar “mahar” yang sangat mahal ke partai. Ahok membuat rakyat (relawan) yang melamarnya untuk menjadi calon. Jika awalnya kandidat yang membiayai semua aktifitas termasuk kepada relawannya. Ahok membuat relawan harus mau membantu membiayai. Jika penentuan calon biasanya melalui rapat-rapat para elit dipetinggi partai. Ahok hanya ngobrol-ngobrol bersama relawan kemudian diambillah keputusan penting itu.
“Negara ini kan dibangun oleh parpol bukan relawan,” ujar Prasetio ketua DPRD DKI dari PDIP. Saya sepakat !, negara butuh partai dan tidak mungkin dikelola oleh relawan. Tetapi kepada yang sebenarnya partai. Partai sekarang lebih mirip gerombolan orang yang terorganisir. Tidak punya ideology yang ada hanya kepentingan. Saya tidak habis pikir bagaimana partai A berkoalisi dengan partai B dan C melawan partai lainnya. Didaerah lain partai B berkoalisi dengan lainnya melawan partai A atau dengan partai C. Mereka tidak punya ideologi, tidak punya roh, tidak punya jalan, tidak punya warna bagaimana daerah atau Negara dikelola. Tidak heran, jika ada calon yang sangat kuat, partai tidak ada yang mau berkompetisi dan membiarkan pilkada gagal. Untung Mahkamah Konstitusi membolehkan pilkada berlangsung walaupun calonnya tunggal.
Mark Mc Kinnon penasihat utama kampanye pilpres George Bush mengatakan “Mungkin dia bisa membentuk kembali politik Amerika” karena Obama diibaratkan sebagai “A walking, talking hope machine”. Begitu juga Ahok dan Teman Ahok. Jika ramalan diatas terjadi maka mereka akan merekonstruksi politik Indonesia secara bermakna.
Fenomena Ahok akan menular ke daerah lain karena pelaku utamanya adalah generasi muda (Gen Y) dimana sosmed adalah dunia keseharian mereka. Situasi ini akan memaksa partai berubah untuk punya ideologi yang jelas dan tahu jalan bagaimana mengelola daerah atau negara ini dengan ideology tersebut, untuk kesejahteraan semua masyarakat. Jika tidak partai semakin terpuruk dan ditinggal karena semakin banyak rakyat pesimis bahkan mulai muak kepada partai.
Pertanyaannya apakah Ahok menang ? Saya mencoba menganalisanya dengan konsep dan teori MarkBen – Marketing Beneran.
“Setiap detik dunia tidak lagi sama” itulah salah satu konsep dasar yang dibangun dalam teori MarkBen – Marketing Beneran (lihat artikel Masa Depan Bank). Lalu apa nilai dasar yang dibangun dalam konsep dan teori MarkBen – Marketing Beneran “Hanya hati yang menggerakkan hati”.
“Terra incognita” kata Alvin Toffler menggambarkan perubahan yang penuh gonjang ganjing. Dimana satu perubahan akan merubah hal-hal lainnya secara tak terduga, tidak linear dan bisa sangat mendasar. Setiap perubahan terjadi maka peradaban dan budaya baru yang muncul akan melenyapkan budaya dan peradaban sebelumnya.
Semua seperti terburu-buru berubah, semuanya. Tetapi ada yang tidak pernah berubah sejak Nabi Adam dan sampai kapanpun. Yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini berlaku universal, semua manusia pada hakekatnya menyenangi dan mengagungkannya. Hal ini berlaku sama dibelahan bumi manapun. Nilai-nilai ini tidak ada bedanya, baik berdasarkan ras, agama atau budaya manapun.
Stephen R Covey penulis buku top The 7 Habits menyebut nilai-nilai kemanusiaan sebagai karakter. Contohnya kejujuran, pengorbanan, kerendahan hati, integritas, kesederhanaan, kerajinan, kesabaran, keberanian, keadilan atau hal-hal positif lainnya. Kejujuran, pengorbanan, keberanian, adil didorong dan dijunjung tinggi baik oleh Suku Mursi di Etiopia, Suku Awa di Amazon atau Suku Asmat di Papua. Didorong dan dijunjung tinggi di Amerika, Eropa, Afrika, China atau di Indonesia.
Ketika ada orang yang punya karakter seperti ini dan mempraktekkannya dalam kehidupan dengan ketulusan, pengorbanan dan keberanian maka orang tersebut akan dihormati dan dikagumi banyak orang. Tokoh yang menggemparkan dunia yang akhirnya menjadi pemimpin yang bisa memajukan bangsanya adalah orang yang mempunyai nilai-nilai “kemanusiaan” yang luar biasa.
George Washington, Gandhi, Nelson Mandela, Yasir Arafat, Soekarno-Hatta dan tokoh-tokoh besar lainnya di seluruh pelosok dunia adalah sama. Mereka memiliki pribadi unggul, pemberani, rendah hati, sederhana dan rela mengorbankan apa saja termasuk “nyawanya”. Karena “hati” semacam inilah beliau-beliau ini mampu menggerakkan hati sebagian besar rakyatnya. Hanya hati yang menggerakkan hati.
Dalam film, seorang yang kelihatan lebih tua dari umurnya, kurus dan terus batuk-batuk di atas tandu. Tapi keadaan tersebut tidak mengurangi wibawa, cinta dari orang orang yang menggendongnya naik turun gunung dan lembah mengarungi puluhan sungai. Bahkan rakyat setiap desa yang dijumpainya tersungkur menaruh hormat yang dalam, sembari menyebut doa yang tulus. Dialah Soedirman bapak tentara Indonesia, Jendral besar yang jasanya luar biasa terhadap TNI dan Indonesia.
Soekarno yang berpidato di lapangan banteng saat itu, bagi rakyat yang hadir lebih dari seorang pemimpin. Rakyat mengagumi, mencintai bahkan mungkin lebih dari bapaknya sendiri. Pada waktu ada berita mengenang penyerangan 27 Juli di kantor PDI di Jl. Diponegoro banyak diputar di TV, di sebuah desa kecil di Semarang saya bertemu seorang kakek yang menangis tersedu-sedu bercerita tentang Bung Karno. Bagi saya ini luar biasa. Setelah puluhan tahun Bung Karno terkubur, dan jejaknya dibumihanguskan dengan rekayasa sejarah oleh pemerintah Orba, tetap bersemayam di hati sanubari rakyatnya.
Mengapa? Masyarakat banyak begitu hormat, terkesima dan seperti tersihir terhadap 2 sosok luar biasa itu. Hanya hati yang bisa menggerakkan hati dan ini tidak bisa dimanipulasi, dipaksakan atau dibeli dengan uang.
Mungkin ada sebagian politikus kita yang bisa naik karena uang. Uang mungkin bisa membeli suara tetapi tidak bisa membeli “hati” masyarakat. Hanya hati yang bisa menggerakkan hati. Inilah “nilai dasar” dari konsep dan teori MarkBen – Marketing Beneran.
Jordan Thomas adalah seorang pembuat film amatir dari Brooklyn New York. Ketika jam 3 dini hari masuk ke situs kampanye Obama disitu ada petunjuk “sukarelawan “ untuk membentuk kelompok. Apa kemudian yang terjadi membuat Thomas begitu terharu dan antusias “Saya berpikir, ya Tuhan orang ini mempercayakan kampanyenya kepada orang seperti saya, kemudian saya daftarkan nama tim yang ada dalam bayangan, Brooklyn untuk Barrack ”. Ribuan atau mungkin ratusan ribu sukarelawan macam Thomas inilah yang membuat Obama mencetak sejarah.
Di Jombang, ratusan tukang becak mengirimkan sumbangan ke pasangan Jokowi–JK. Uang hasil iuran yang terkumpul Rp 600 ribu itu ditransfer. Ditempat lain hampir semua kalangan menyumbang Jokowi hingga mencapai Rp 35 milyar. Mengapa banyak orang mendukung dan rela berkorban untuk Obama dan Jokowi? Itu semua karena hati, karakter dan sikap positif yang ditunjukkan, dipraktekkan dan diperjuangkan keduanya.
Siapa saja dan dimana saja, jika ada tokoh yang mempunyai karakter semacam ini akan dihormati dan didukung banyak orang. Gus Dur, Amin Rais sebagai tokoh reformasi, Munir, Romo Mangun, Ketua KPK (masalah hukum), Bu Risma, Kang Emil, Yoyok termasuk Ahok. Bahkan siapapun dia, tidak peduli darimana asalnya atau agamanya Muslim, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu atau Kong Fu Cu, jika dia berjuang mencapai sesuatu berlandaskan “Nilai-nilai kemanusiaan” dia akan didukung banyak orang. Begitu juga Ahok dan Teman Ahok, mengumpulkan dukungan 1 juta KTP dimana gagasan dan biaya dilakukan semua oleh relawan bukan pekerjaan sembarangan, butuh militansi. Itulah mengapa mereka berhasil.
Salah satu perbedaan mendasar antara bisnis dengan politik meskipun tujuan akhirnya sama yaitu kepuasan, yang satu customer satisfaction yang lainnya public satisfaction. Pada bisnis, jika masyarakat tertarik kepada suatu produk kemudian mengkomsumsi. Dia jadi tahu bagaimana rasa dan kualitas produk tersebut. Beda dengan politik yang bisa di terima oleh masyarakat hanya isu-isu, hanya janji-janji, hanya data-data. sehingga kepercayaan kepada kandidat merupakan kunci vital.
Lalu bagaimana dengan Ahok yang oleh sebagian orang dianggap sebagai orang yang tidak sopan, kasar, kurang komunikatif, menyengsarakan rakyat karena rendahnya serapan anggaran. Bukankah ini adalah sifat negatif yang akan mengurangi kepercayaan pada Ahok? Ya! Tapi ditengah kemuakan masyarakat terhadap kemunafikan dan korupsi. Penilaian sebagian besar masyarakat justru berbalik.
Apa gunanya sopan kalau ujung-ujungnya korup, apa gunanya halus kalau masalah Jakarta yang semrawut tidak pernah selesai, kalau biroksasi yang seharusnya melayani justru memperdagangkan kekuasaan yang dimilikinya. Apa gunanya komunikatif pada orang yang jelas melanggar peraturan dan menantang. Apa gunanya anggaran terserap tinggi kalau ujung-ujungnya dikorupsi dan tidak jatuh pada masyarakat. Itulah persepsi kebanyakan masyarakat dan itulah yang terjadi pada gubernur-gubernur sebelum Jokowi Ahok.
Sekarang lebih banyak masyarakat mempersepsikan Ahok sebagai pemimpin transformatif, visioner, berani, tegas, jujur dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Ini alasan mengapa relawan Ahok tumbuh subur dan elektabilitas Ahok tetap tinggi.
Kembali kepertanyaan tadi apakah Ahok akan menang? Selain kasar, rendahnya serapan anggaran, tidak harmonis dengan DPRD, mengorek kasus hukum, maka lawan-lawan Ahok akan memainkan isu-isu primordialisme. Jika ditambah dengan parpol bersatu kemudian hanya mengajukan calon terbaiknya yang juga punya karakter untuk head to head dengan Ahok. Maka pertarungan bakal seru.
Tetapi saya belum yakin kalau parpol bersatu hanya mengajukan 1 calon. Selain karena susahnya untuk kompromi menentukan siapa cagub siapa cawagub, juga resikonya sangat tinggi bagi parpol jika mereka bersatu dan akhirnya juga kalah, mau ditaruh dimana muka mereka. Tetapi apakah ada 2, 3 atau 4 calon, pertarungan akan seru dan kemungkinan Ahok kalah bisa saja terjadi.
Meskipun Ahok punya kredibilitas dan sudah diakui oleh sebagian besar masyarakat tetapi harus diakui Parpol punya mesin yang cukup efektif sampai tingkat RT/RW. Jika calon yang diajukan punya kredibilitas, pelumasnya cukup maka mesin ini bisa bekerja optimal apalagi isu-isu yang dimainkan mengena dan diterima masyarakat.
Ketika Ahok secara berani mengumumkan maju lewat jalur independen “Genderang Perang“ mulai ditabuh. Sejak detik itu pertarungan mulai sengit dan akan terus meningkat sampai hari pencoblosan selesai.
Lalu dimana pertarungan itu terjadi “Marketing is battle of perception“, kata Al Ries, saya setuju bahwa peperangan sebenarnya berada di otak masyarakat (persepsi). Persepsi adalah cara manusia memandang dunianya. Menurut Kotler persepsi proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti.
Intinya perang informasi! Sehingga pertarungan sesungguhnya ada di tim-tim dibelakang para calon. Sejauh mana mereka tahu betul apa kelebihan dan kekurangan calonnya, tahu betul kelebihan dan kekurangan musuhnya, (dalam MarkBen – Marketing Beneran disebut Who am I). Dan tahu betul apa keinginan masyarakat atau public aspiration (dalam MarkBen disebut Who are They). Dari sini mereka akan adu pintar, adu strategi, adu isu, adu program untuk meyakinkan masyarakat.
Public aspiration ini yang sulit untuk diketahui secara tepat, selain berbeda satu kelompok dibanding kelompok lainnya, pelajar SMA, mahasiswa, pengangguran, pekerja serabutan berbeda dengan yang bekerja tapi belum memuaskan, berbeda dengan pekerja yang sudah mapan. Beda keinginannya, beda kebutuhan, beda masalahnya, beda mimpinya. Berbeda antara yang pria dan wanita, berbeda antara yang tinggal di pemukiman padat, kompleks perumahan atau di perumahan elit. Berbeda antara pasangan muda dengan pasangan yang sudah tua, berbeda tingkat pendidikan, berbeda asal suku, berbeda jenis agamanya. Itulah tantangannya.
Matthew McGregor tim kampanye Obama setengah protes ketika banyak pihak menilai bahwa kemenangan Obama karena hebatnya memanfaatkan internet “Twitter tidak memenangkan pemilu, orang yang memenangkan pemilu,” katanya sinis.
Tim Obama serius mempelajari, menganalisis dan memonitor trend, isu berdasarkan lokasi dan karakteristik pendukungnya. Temuannya dijadikan bahan kampanye di TV dan media lain. Atau untuk memperbaiki pesan atau jawaban yang ditanya oleh para pendukungnya.
Selain itu Tim punya database pendukung yang didapat dari interaksi kegiatan dengan masyarakat. Data ini dimanfaatkan optimal oleh tim untuk menyampaikan pesan atau kepentingan lainnya. Pesan yang disampaikan tim obama mulai dari pokok masalah, bahasa dan cara penyampaiannya disesuaikan dengan karakteristik penerimanya (segmented). Dibedakan dari usia, jenis kelamin, status sosial dan lain-lainnya (Who Are They) sehingga pesan-pesan yang disampaikan mengena tepat sesuai kebutuhan, masalah dan aspirasi mereka (Public Aspiration).
Jika diibaratkan produk, Ahok oleh sebagian besar masyarakat dipersepsi punya kualitas tak terbantahkan (perceived quality). Selain itu Ahok mendapatkan banyak keuntungan yaitu sebagai gubernur petahana, elektabilitas saat ini tinggi. Tetapi Tim dan Teman Ahok tetap tidak boleh lengah dan hanya mengandalkan semangat dan niat baik saja. Perlu tim yang solid dan cerdas karena peperangan sesungguhnya baru dimulai dan akan terus meningkat.
“Andai Ahok seorang muslim “ kata istri saya berandai-andai mungkin permainan sudah selesai. Atribut yang dibawa Ahok bisa menjadi handicap. Inilah yang harus dicermati Tim.
Tetapi meminjam istilah orang Medan, “Ini Jakarta Bung”. Kota metropolis yang plural dengan tingkat melek politiknya tertinggi di bumi pertiwi. Sehingga dampak perang issu primordialisme tidak akan tinggi. Selain itu ini menjadi ujian bagi kedewasaan berdemokrasi, kematangan nilai Pancasila bagi warga DKI.
Jika Ahok kalah, kita sudah mendapat pelajaran berharga bagaimana mencapai kekuasaan dan menjalankan amanat itu. Tetapi jika Ahok nanti yang menang, kita sebagai bangsa Indonesia boleh berteriak bangga kepada dunia. “Lihat! Kami penduduk mayoritas muslim, mayoritas suku melayu, punya Gubenur Tionghoa yang Kristen”, dahsyat!
Jadi Ahok bukan preketek seperti yang dikatakan Dani, tetapi cetar membahana badai seperti yang dibilang Syahrini.
Slamet Riyadi adalah Founder & CEO The MarkBen Consulting. Orang pertama yang memperkenalkan Novelty sebagai Strategi Marketing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H