Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengenal Jurus "Turnaround Investing"

21 Januari 2020   09:01 Diperbarui: 22 Januari 2020   12:37 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi turnaround investing (sumber: https://internationalbanker.com)

"Beli sahamnya sih mudah, tapi nanti jualnya yang susah"

Kalimat di atas "mewakili" isi pikiran saya sewaktu saya memeriksa sejumlah saham di daftar watchlist. Saham-saham di daftar tersebut umumnya minim transaksi alias sepi peminat.

Hal itu tentu dimaklumi, sebab fundamental saham-saham tadi rata-rata jelek. Penjualannya turun, labanya minus, dan utangnya bertumpuk. Hal itulah yang membikin investor enggan meliriknya, sehingga harganya pun dipatok terlalu rendah.

Namun, situasi yang buruk bisa berubah menjadi baik kalau manajemen berhasil membenahi kinerja perusahaan suatu saat nanti. Jika hal itu terwujud, kerugian yang selama ini dialami bisa diubah menjadi keuntungan, dan sudah pasti hal itu akan berimbas pada harga sahamnya.

Makanya, biarpun sekarang sedang menderita kerugian, saya tetap memasukkan saham-saham tadi ke daftar watchlist. Saya hanya perlu memeriksa perkembangan perusahaan lewat laporan keuangan yang dipublikasikan setiap kuartal, dan kalau suatu saat perusahaan mencatatkan laba yang besar, barulah saya membeli sahamnya.

Turnaround Investing

Strategi ini boleh disebut sebagai "turnaround investing". Strategi ini sebetulnya diperoleh setelah saya membaca buku "Value Investing: Beat The Market in Five Minutes" karya Teguh Hidayat. 

Dalam menerapkan strategi ini, investor hanya perlu mencari perusahaan besar yang sahamnya sedang dihargai murah.

Menemukan saham perusahaan besar di Bursa Efek Indonesia sebetulnya cukup mudah dilakukan. Kita hanya perlu mengamati beberapa saham yang pendapatannya di atas rata-rata di setiap sektor.

Misal, di sektor farmasi, ada beberapa saham yang membukukan pendapatan yang terbilang besar. Sebut saja saham KLBF (Kalbe Farma) yang pendapatannya mencapai 16 triliun rupiah, kemudian TSPC (Tempo Scan) 8 triliun rupiah, dan KAEF (Kimia Farma) 6 triliun rupiah.

Biarpun sama-sama tergolong perusahaan farmasi yang besar, valuasi ketiga perusahaan tadi ternyata berbeda-beda. Salah satu indikator yang dipakai untuk mengukur valuasi saham tersebut adalah Price Book Value (PBV).

Price Book Value

PBV sejatinya adalah perbandingan antara Nilai Buku (Book Value) dan harga saham di pasar. Nilai Buku merupakan hasil bagi antara jumlah Ekuitas yang disetorkan investor dan jumlah saham beredar. Dalam analisis fundamental, Nilai Buku sering disebut sebagai "kekayaan" yang dimiliki investor.

Umumnya, Nilai Buku ditaksir sedikit lebih tinggi daripada harga pasar. Sebagai contoh, kalau sebuah saham mempunyai Nilai Buku sebesar Rp 1.000/ saham, sementara harga sahamnya di pasar adalah 1.100, maka valuasinya masih terbiang wajar karena nilai PBV-nya 1,1 x (1.100: 1.000).  

Namun, kalau PBV-nya di atas 2 x, itu artinya investor bersedia membayar dobel  untuk mendapatkan selembar saham yang Nilai Bukunya hanya Rp 1.000/saham. Hal ini menunjukkan bahwa saham tadi sudah dihargai terlalu mahal.

Sebaliknya, jika PBV-nya di bawah 1 x, saham ini terbilang murah. Sebab, untuk memperoleh saham dengan Nilai Buku sebesar Rp 1.000/saham, investor cuma perlu membayar di harga yang lebih rendah.

Untuk mempermudah penjelasan, marilah kita kembali ke saham KLBF, TSPC, dan KAEF yang sudah disebutkan sebelumnya. Saat artikel ini ditulis, ketiga saham itu PBV yang bervariasi.

Saham KLBF PBV-nya 4,9 x, TSPC 1,1 x, dan KAEF 0,8 x. Dari data barusan, kita bisa menyimpulkan bahwa saham KLBF relatif "mahal", TSPC nilainya "wajar", dan KAEF termasuk "murah".

Investor yang memakai strategi "turnaround investing" umumnya akan memilih saham KAEF karena harganya yang menarik. 

Namun demikian, investor sebaiknya jangan langsung membeli saham tersebut sebab ada aspek lain yang perlu dilihat untuk memantapkan keputusan investasi yang akan diambil.

Hal itu juga akan menghindarkan investor dari "value trap". "Value trap" maksudnya investor salah memersepsikan saham jelek sebagai saham bagus, hanya karena tertarik dengan harganya yang murah saja.

Untuk menghindari "jebakan" tersebut, investor tentu perlu membaca laporan keuangan kuartalan dan tahunan. Dari situ, investor bisa memahami kondisi keuangan yang terjadi di perusahaan dan menemukan sesuatu yang menyebabkan sahamnya dihargai sedemikian murah di pasar.

Laporan Keuangan KAEF

Sewaktu memeriksa laporan keuangan KAEF, saya menemukan bahwa perusahaan ternyata mengalami penurunan laba bersih selama 9 bulan terakhir. 

Penurunan tadi lebih disebabkan oleh beban keuangan (bunga bank yang mesti dibayar dalam tempo satu tahun), dan hal itulah yang sekiranya "menggerus" laba kotor yang berhasil dicetak perusahaan.

Dalam laporan keuangan kuartal III 2019, misalnya, beban keuangan yang ditanggung KAEF sebesar 357 miliar. Beban ini berasal dari akumulasi utang bank yang diambil KAEF pada beberapa tahun sebelumnya.

Makanya, jangan heran, meskipun laba kotornnya meningkat menjadi 2,5 trilun rupiah dari periode tahun lalu, tetap saja, laba tersebut akhirnya terpakai hanya untuk bayar bunga bank.

Alhasil, harga saham KAEF pun terus merosot sejak bulan April 2019. Saat tulisan ini diketik, saham KAEF bercokol di harga Rp 1.100-an, padahal pada bulan April 2019 harganya masih Rp 3.300-an!

pergerakan saham kaef (sumber: dokumentasi pribadi)
pergerakan saham kaef (sumber: dokumentasi pribadi)
Lantas, apakah saham KAEF termasuk "turnaround stock", yang sewaktu-waktu harganya bisa naik kembali? Bisa saja. Asalkan manajemen mampu meningkatkan pendapatan dan mengurangi beban pada periode berikutnya, hal itu mungkin akan terwujud.

Jadi, alih-alih langsung memborong saham KAEF sekarang, lebih baik investor terus memantau kinerja perusahaan beberapa kuartal ke depan. Hal ini dinilai lebih aman. Jika terdapat indikasi bahwa kondisi perusahaan sudah membaik, barulah investor bisa memutuskan membeli saham tersebut.

Likuiditas Saham

Aspek lain yang mesti dipertimbangkan juga adalah likuiditas saham. Katakanlah kinerja perusahaan membaik, dan Anda memutuskan membeli sahamnya dalam jumlah besar. Namun, oleh karena satu dan lain hal, alih-alih naik, harga sahamnya malah jalan di tempat.

Jika mengalami situasi demikian, Anda tentu sulit menjual saham tersebut, karena belum tentu ada orang lain yang ingin membeli saham tersebut dari Anda.

Alhasil, Anda mesti menunggu lama untuk bisa melepasnya dan belum tentu juga Anda bisa menjualnya di atas harga beli tadi karena calon pembeli umumnya akan menawar di harga paling rendah.

Sekiranya itulah risiko yang Anda hadapi jika ingin berinvestasi di saham yang sepi transaksi demikian. Biarpun harganya sudah murah, tidak ada jaminan bahwa ada investor yang berminat membelinya.

Makanya, saat menyeleksi saham-saham murah, saya sering mempertimbangkan aspek likuiditas. Saya mesti memastikan bahwa setiap hari selalu ada orang yang ingin membeli manakala saya ingin menjual saham tersebut suatu saat nanti.

Plus-Minus Turnaround Investing

Strategi "turnaround investing" memang bisa menawarkan imbal hasil yang fantastis. Nilainya bisa puluhan, hingga ratusan persen!

Hal itu tentu wajar terjadi. Sebab, kalau ada saham yang kinerjanya terus memburuk selama beberapa tahun, tetapi kemudian tiba-tiba membaik dalam waktu tertentu, biasanya akan ada banyak orang yang ingin memilikinya.

Hal itulah yang bisa menyebabkan harganya terbang sangat tinggi!

Namun demikian, bukan berarti strategi ini bebas dari risiko. Risiko yang mungkin ditanggung investor ialah salah menafsirkan kondisi keuangan perusahaan.

Bukannya membeli saham bagus yang dihargai murah, investor yang bersangkutan malah memilih "saham murahan", yang kualitasnya rendah.

Selain itu, risiko likuiditas juga mesti diwaspadai. Sebab, kalau sahamnya jarang sekali ditransaksikan, investor yang sudah telanjur membelinya bisa susah menjualnya pada kemudian hari.

Bisa-bisa investor yang bersangkutan menjual sahamnya lebih rendah dari harga beli agar lebih cepat lepas dari saham tersebut, dan akhirnya menderita kerugian yang besar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun