"Beli sahamnya sih mudah, tapi nanti jualnya yang susah"
Kalimat di atas "mewakili" isi pikiran saya sewaktu saya memeriksa sejumlah saham di daftar watchlist. Saham-saham di daftar tersebut umumnya minim transaksi alias sepi peminat.
Hal itu tentu dimaklumi, sebab fundamental saham-saham tadi rata-rata jelek. Penjualannya turun, labanya minus, dan utangnya bertumpuk. Hal itulah yang membikin investor enggan meliriknya, sehingga harganya pun dipatok terlalu rendah.
Namun, situasi yang buruk bisa berubah menjadi baik kalau manajemen berhasil membenahi kinerja perusahaan suatu saat nanti. Jika hal itu terwujud, kerugian yang selama ini dialami bisa diubah menjadi keuntungan, dan sudah pasti hal itu akan berimbas pada harga sahamnya.
Makanya, biarpun sekarang sedang menderita kerugian, saya tetap memasukkan saham-saham tadi ke daftar watchlist. Saya hanya perlu memeriksa perkembangan perusahaan lewat laporan keuangan yang dipublikasikan setiap kuartal, dan kalau suatu saat perusahaan mencatatkan laba yang besar, barulah saya membeli sahamnya.
Strategi ini boleh disebut sebagai "turnaround investing". Strategi ini sebetulnya diperoleh setelah saya membaca buku "Value Investing: Beat The Market in Five Minutes" karya Teguh Hidayat.Â
Dalam menerapkan strategi ini, investor hanya perlu mencari perusahaan besar yang sahamnya sedang dihargai murah.
Menemukan saham perusahaan besar di Bursa Efek Indonesia sebetulnya cukup mudah dilakukan. Kita hanya perlu mengamati beberapa saham yang pendapatannya di atas rata-rata di setiap sektor.
Misal, di sektor farmasi, ada beberapa saham yang membukukan pendapatan yang terbilang besar. Sebut saja saham KLBF (Kalbe Farma) yang pendapatannya mencapai 16 triliun rupiah, kemudian TSPC (Tempo Scan) 8 triliun rupiah, dan KAEF (Kimia Farma) 6 triliun rupiah.