Mataku tiba-tiba terbuka setelah telingaku mendengar sebuah suara yang aneh. Sepertinya ada seseorang yang sedang menggeser pintu pagar pelan-pelan. Mungkinkah itu adalah "maling" yang sudah lama kutunggu kedatangannya?
Sekarang mungkin jam 2 dini hari. Sebab, tak ada lagi suara deru kendaraan yang lewat di depan rumah, dan suara musik dangdut yang disetel tetangga pun telah raib ditelan kesunyian.
Sementara, istriku masih bisa tidur dengan lelapnya, meskipun sebentar lagi si "maling" mungkin akan masuk membobol rumah dan menguras kekayaan kami. Sepertinya suara dengkurnya mengalahkan suara langkah kaki si "maling", sehingga ia terus terlelap, seperti bayi yang langsung tertidur setelah capai menangis.
Aku tentu tidak ingin membangunkan istriku malam-malam begini. Membangunkan "macan" yang sedang tertidur sama saja dengan mencari mati. Lebih baik kubiarkan ia terus bermimpi tanpa perlu tahu peristiwa yang bakal terjadi. Aku pun keluar kamar diam-diam untuk mengamati situasi yang sedang terjadi.
Aku mengambil sebuah senapan laras panjang di lemari. Sudah lama kusimpan senapan ini. Senapan ini memang sengaja kubeli untuk menyambut kedatangan si "maling". Aku selalu membayangkan bahwa apabila si "maling" jadi berkunjung, aku akan "menghadiahinya" beberapa butir peluru. Pasti meriah mendengarkan suara letusan tembakan, kupikir. Apalagi kalau yang menerimanya ialah orang yang selalu kunanti, sekaligus kubenci.
Sayangnya, senapan ini hanya bisa "tertidur" lama di lemari lantaran si "maling" belum juga muncul selama bertahun-tahun. Namun, sepertinya, pada malam ini, ia punya kesempatan untuk "unjuk gigi". Makanya, segera kuisi senapan ini dengan banyak amunisi agar pesta tembak-tembakan pada malam ini berlangsung heboh!
Seperti seorang tentara, aku bergerilya memasuki ruang tamu. Lampu sengaja tetap kumatikan. Kubiarkan ruangan itu diselimuti kegelapan. Sebab, cahaya hanya akan merusak suasana. Aku ingin memberi kejutan kepada si "maling" seperti aku ingin merayakan ulang tahun seseorang dengan membawakannya kue secara diam-diam.
Sambil menggenggam senapan yang lumayan berat, aku berhasil mendekati jendela. Kini jarak antara aku dan si "maling" sudah sedemikian dekat. Kami hanya dipisahkan oleh tembok dan jendela yang langsung menghadap jalan ini. Biarpun jantungku berdetak cepat dan napasku tersengal-sengal, kupegang senapan ini erat-erat.
Namun, tak ada suara aneh lagi yang terdengar dari arah pagar. Mungkinkah si "maling" sudah melewati pagar, lalu merapatkan punggungnya ke tembok, dan sebentar lagi akan melancarkan aksinya? Entahlah.
Kusiapkan diriku sebaik mungkin untuk menghadapi baku tembak yang mungkin saja terjadi. Kuarahkan mulut senapan ke jendela. Dengan ujung senapan, kusibak pelan-pelan gorden merah jambu yang menutupi jendela. Mataku memandang tajam ke arah situ, dan ternyata...Â
***
Aku sedang mengoleskan selai kacang hazelnut ke permukaan roti ketika Berta, istriku, datang memberi sebuah rambu: "Jangan lupa pergi ke Dokter Joni!"
Istriku memang selalu begitu. Hampir setiap hari ia memberi peringatan ini-itu seolah aku mudah melupakan banyak hal yang akan kulakukan. Biarpun niatnya baik, tetapi kalau disampaikan berulang-ulang dengan nada yang monoton, aku merasa jenuh juga!
Aku hanya bisa mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tahu, kalau aku membantah dengan sebuah kalimat, Berta bisa membalasku dengan seribu kalimat. Aku tentu tidak ingin pagi hari yang tenang ini dirusak oleh suara omelannya.
Belum selesai aku menelan roti, Berta sudah menyampaikan rambu lain: "Jangan lupa minum obat." Ah, ini bagian yang paling kubenci. Aku memang tidak suka minum obat.
Aku merasa tubuhku masih sehat, masih sangat bugar, biarpun umurku kini sudah kepala lima. Tidak ada keluhan apapun yang muncul di tubuhku. Kolesterolku rendah. Gula darah terjaga. Semuanya oke. Kalau sehat begini, untuk apa setiap hari aku mengonsumsi obat yang rasanya pahit itu?
Andaikan dulu tidak berobat ke Dokter Joni, mungkin aku tidak akan dipaksa minum obat setiap hari. Sebab, biarpun tubuhku baik-baik saja, kata Dokter Joni, ada bagian dari tubuhku yang keliru. Katanya, "pikiran"-kulah yang sakit.
Aku diam saja menanggapi kata-kata tadi. Namun, di dalam hati, aku berkata, "Bukan pikiranku, tapi pikiranmulah yang salah, Dok!"
Sebagai dokter yang sudah punya "jam terbang tinggi", Dokter Joni tentu tidak merasa bahwa pikirannya keliru. Ia kemudian meresepkan sebuah obat, yang mesti aku konsumsi setiap hari.
Alih-alih membantah Berta, lagi-lagi aku menganggukkan kepala. Seperti kata pepatah, diam itu emas, terutama dalam situasi demikian. Aku memilih mengalah, walaupun sejatinya hatiku masih ngedumel!
Namun, seketika perasaan itu terabaikan setelah aku melihat berita di televisi. Sebuah berita tentang Operasi Tangkap Tangan yang menimpa seorang pejabat. Pejabat tadi diduga melakukan penggelembungan harga "lem" dan "bulpen" saat menyusun anggaran pada tahun lalu.
Kasus yang agak "klasik" sebetulnya. Akan tetapi, aku hanya tertawa kecil menyimaknya. Sepertinya "junior"-ku belum begitu profesional dalam melakukannya. Ia mestinya lebih banyak belajar dari para "senior" agar sepak terjangnya sukar terendus aparat.
Untungnya Berta tidak melihat berita seperti itu pada masa lalu. Kalau menonton, mungkin ia akan menyerukan rambu berikutnya: "Jangan lupa korupsi!"
***
Kunjungan ke Dokter Joni sejatinya dijadwalkan pukul 11, tetapi aku minta jadwalnya diubah, karena aku ingin beribadah sebelum berobat. Beribadah memang belum tentu menjamin bahwa dosa-dosa yang pernah kubuat pada masa lalu akan dikikis, atau bahkan dihapus sepenuhnya.
Sepertinya dosa-dosaku sudah terlampau tinggi ibarat gunung kapur yang terbentuk secara alami. Akan sulit memupus dosa setinggi itu hanya dengan sekali-dua kali beribadah.
Meskipun begitu, setidaknya, dengan beribadah, hatiku menjadi lebih damai. Selain kesehatan, kedamaian adalah sesuatu yang selalu diharapkan, terutama oleh orang-orang yang sudah berumur seperti diriku.
Kedamaian membikin hidup menjadi jauh lebih lapang dan ringan. Sekaya apapun dirimu, kalau kau susah merasa damai, jangan harap kau bisa menikmati secuil harta yang kaumiliki.
Setelah selesai berkunjung ke rumah ibadah, dengan mantap, aku berangkat diantar sopir ke klinik Dokter Joni. Dalam perjalanan aku terkenang pertemuan dengan Dokter Joni sebelumnya.
Sejatinya Dokter Joni seumuran denganku. Kami sama-sama masuk "klub gocap". Hanya bedanya, ia masih bekerja, sementara aku sudah pensiun sejak empat tahun lalu.
Sebetulnya Dokter Joni adalah orang yang ramah. Tutur katanya pelan dan lemah lembut. Biarpun jarang bikin lelucon, ia termasuk tipe orang yang menyenangkan. Sejujurnya aku menyukainya sebagai seorang teman, tetapi tidak sebagai dokter. Sebab, ia masih saja menganggap bahwa otakku bermasalah.
Biarpun sudah ribuan kali, aku berkata bahwa aku baik-baik saja, nyatanya lewat "kacamata" Dokter Joni, aku tetaplah seorang pasien yang mengidap suatu penyakit tertentu, yang harus mendapat penanganan khusus dan wajib mengonsumsi obat-obatan yang diresepkannya secara teratur.
"Yang gila itu Joker, bukan aku, Dok."
Ingin sebetulnya kusampaikan kalimat tadi kepada Dokter Joni. Namun, kalimat itu hanya nyangkut di tenggorokanku saja, sebab, sudah pasti Berta akan mengamuk kalau aku sampai mengucapkannya.
Berta sepertinya lebih percaya pada diagnosis Dokter Joni, daripada kata-kata suaminya sendiri, yang sudah hidup bersamanya selama bertahun-tahun!
***
Aku bertemu dengan Berta di klinik, dan kami kemudian menemui Dokter Joni bersama-sama. Sebelumnya ia mesti menghadiri acara arisan antarsosialita. Untungnya ia sadar diri, sehingga ia langsung bergegas begitu acaranya selesai. Kalau tidak, mungkin aku akan menunggunya lama di klinik.
Saat berjumpa dengannya, wajah Berta tampak cerah. Sepertinya ia baru menang arisan. Demikian tebakanku. Aku tidak berani bertanya langsung karena khawatir hal itu bisa memicu ledakan granat di hati Berta.
Biarpun begitu, setidaknya dengan "aura positif" tersebut, pertemuan kami menjadi lebih hangat, sehingga langkah kami untuk menjumpai Dokter Joni jadi jauh lebih enteng.
Namun, keceriaan tadi mendadak berubah menjadi "mendung" begitu kami memasuki ruangan praktik Dokter Joni. Sebetulnya ruangan itu cukup sejuk oleh embusan angin ac, yang disetel pada suhu 22 derajat celcius.
Sayangnya, kesejukan tersebut tidak mempan mendinginkan perasaan Berta. Setelah duduk menghadap Dokter Joni, ia langsung tancap gas. Ia berbicara begitu cepat, sampai-sampai aku sulit mencerna kata-katanya. Ada beberapa kata yang menempel di telingaku karena kata itu terus diulang beberapa kali, seperti "kumat", "tembak", dan "mati"!
Setelah Berta selesai memuntahkan unek-unek di kepalanya, alih-alih mengizinkan aku menjelaskan pokok persoalan, Dokter Joni malah menyuruhku duduk di sofa. Agar lebih rileks ia memintaku untuk melepas sepatu dan melonggarkan ikat pinggang. Ia juga bertanya apakah suhunya sudah cukup nyaman, dan aku berkata iya. Aku diminta merebahkan diri, membikin diriku senyaman mungkin, sementara Dokter Joni duduk di dekatku.
Dokter Joni membawa sebuah metronom, dan jarinya yang gemuk menggoyangkan bandul. Bandul itu terus bergerak bolak-balik, menciptakan suara detak yang sangat monoton. Ia kemudian meletakkan metronom itu di meja di dekatku, dan aku diminta mendengarkan suara metronom tersebut.
Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.
Selagi aku menyimak suara metronom yang itu-itu saja, Dokter Joni menutup tirai jendela, sehingga sinar matahari sulit membanjiri ruangan. Seketika ruangan itu tampak redup, seperti nyala lilin di tengah gelap malam. Dalam kondisi demikian, rasa kantuk pelan-pelan menyusup ke batinku. Aku mulai menguap dan mataku terasa berat.
"Kalau kau merasa mengantuk, pejamkan saja matamu," kata Dokter Joni pelan.
Aku memejamkan mata, menuruti kata-katanya.
"Semakin lama, kau akan semakin rileks."
"Coba kau rasakan sensasi di wajahmu. Otot-otot wajah yang tegang pelan-pelan kendur, dan napasmu pun bertambah lambat. Kau memasukki keadaan yang sungguh santai, tenang, dan damai."
"Sekarang aku akan memandumu menelusuri masa lalu, dan aku ingin kau kembali ke kejadian tadi malam. Apakah kau masih bisa mengingatnya?"
"Ya," aku menjawab dengan suara agak berat.
"Sekarang katakan apa yang sedang kaulakukan pada waktu itu?"
"Aku sedang berdiri di dekat jendela."
"Bisa kaugambarkan kondisimu lebih detil?"
"Tubuhku berkeringat."
"Apakah di situ sangat panas?"
"Tidak. Udara cukup dingin. Namun, kulitku terus mengeluarkan keringat."
"Apakah kau merasa takut?"
"Sepertinya begitu."
"Takut sama siapa?"
"Maling. Aku merasa seseorang berupaya masuk ke dalam rumah."
"Lalu, apa yang akan kauperbuat berikutnya?"
"Aku mencoba mengusirnya. Aku membawa sepucuk senapan laras panjang. Tanganku berkeringat, tetapi terus kugenggam senapan itu kuat-kuat."
"Lanjutkan..."
"Aku sudah siap baku tembak dengan 'maling' itu. Sudah lama aku menunggunya, tetapi selama bertahun-tahun, ia belum juga muncul. Namun, aku terus merasa bahwa suatu saat ia pasti datang."
Ada sebuah jeda yang lumayan panjang.
"Aku mendengar suara."
"Suara apa?"
"Langkah kaki. Suaranya berat. Semakin lama, semakin dekat."
"Apa yang terjadi selanjutnya?"
"Awalnya aku takut. Namun, pelan-pelan kukumpulkan keberanian. Setelah itu, kusibak gorden jendela, dan kuarahkan senapan kepadanya."
"Apakah kau melihatnya?"
"Ya."
"Kau mengenali wajahnya?"
"Ya."
"Siapa dia?"
"Aku!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H