Selagi aku menyimak suara metronom yang itu-itu saja, Dokter Joni menutup tirai jendela, sehingga sinar matahari sulit membanjiri ruangan. Seketika ruangan itu tampak redup, seperti nyala lilin di tengah gelap malam. Dalam kondisi demikian, rasa kantuk pelan-pelan menyusup ke batinku. Aku mulai menguap dan mataku terasa berat.
"Kalau kau merasa mengantuk, pejamkan saja matamu," kata Dokter Joni pelan.
Aku memejamkan mata, menuruti kata-katanya.
"Semakin lama, kau akan semakin rileks."
"Coba kau rasakan sensasi di wajahmu. Otot-otot wajah yang tegang pelan-pelan kendur, dan napasmu pun bertambah lambat. Kau memasukki keadaan yang sungguh santai, tenang, dan damai."
"Sekarang aku akan memandumu menelusuri masa lalu, dan aku ingin kau kembali ke kejadian tadi malam. Apakah kau masih bisa mengingatnya?"
"Ya," aku menjawab dengan suara agak berat.
"Sekarang katakan apa yang sedang kaulakukan pada waktu itu?"
"Aku sedang berdiri di dekat jendela."
"Bisa kaugambarkan kondisimu lebih detil?"
"Tubuhku berkeringat."