Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Haruskah Berganti "Kereta" Saat Terjadi Krisis Investasi?

14 Maret 2019   10:09 Diperbarui: 14 Maret 2019   12:24 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musibah bisa datang kapan saja, dan sayangnya, hal itu justru terjadi pada hari Minggu lalu. Adalah Commuter KA 1722 Jurusan Jatinegara-Bogor yang terkena musibah pada tanggal 10 Maret kemarin. Sekitar pukul sepuluh pagi, kereta tersebut anjlok setelah tiga gerbongnya keluar dari jalur. 

Sebanyak 17 orang dikabarkan terluka dalam peristiwa tersebut. Semua korban pun segera dilarikan dan dirawat di beberapa rumah sakit, di Bogor.

Akibat kecelakaan tersebut, sempat terjadi kekacauan operasional di sejumlah stasiun. Para penumpang dari jurusan lain terpaksa diturunkan di stasiun terdekat. Makanya, ada begitu banyak orang yang sempat telantar di sana. Mereka yang tadinya ingin menikmati liburan pun terpaksa membatalkan niatnya. Hari Minggu yang seharusnya berlangsung "cerah" tiba-tiba berubah "mendung".

Gangguan kereta demikian bukannya sekali ini terjadi. Sepanjang ingatan saya, telah terjadi beberapa gangguan serupa yang sampai "melumpuhkan" operasional kereta. Satu kejadian tersebut justru saya alami sendiri. Biarpun versinya agak berbeda, peristiwa itu meninggalkan "jejak" yang kuat di ingatan saya.

Peristiwa itu terjadi sekitar setahun yang lalu. Pada saat itu, saya sedang dalam perjalanan pulang ke Bekasi. Dari Stasiun Manggarai, saya naik kereta K185 07. Kereta itu sejatinya cukup padat. Maklum, saat itu adalah jam pulang kerja. Ada begitu banyak orang yang berjejalan di dalam kereta.

Dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Klender, perjalanan kereta berlangsung dengan lancar. Tidak ada gangguan sedikit pun yang terjadi di sepanjang jalan. Semua aman-aman saja. Namun, begitu kereta melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Buaran, di tengah perjalanan, terjadi peristiwa yang bikin heboh.

Pasalnya, penumpang dari gerbong sebelah tiba-tiba berteriak bahwa telah terjadi kebakaran di dalam gerbong! Sontak hal itu menyebabkan kepanikan. Penumpang di gerbong sebelah jadi berlarian memasuki gerbong tempat saya berada.

Akibatnya sudah bisa ditebak. Para penumpang jadi saling berdesakan. Suara jerit histeris pun bergema di sepanjang gerbong. Penumpang yang panik ada yang sampai memecahkan kaca jendela. Oleh karena mengetahui sesuatu yang tidak beres, masinis kemudian menghentikan kereta. Pintu kereta pun dibuka secara paksa, dan para penumpang melompat menyelamatkan diri.


Tak lama kemudian, petugas datang menyisir setiap gerbong. Satu per satu gerbong diperiksa dengan saksama. Namun demikian, ternyata tak ada tanda-tanda kebakaran di dalamnya! Semua kepanikan tadi ternyata cuma omong kosong!

Lewat pengeras suara, masinis kemudian menyatakan bahwa kereta aman. Ia meminta para penumpang segera naik kembali sebab kereta akan melanjutkan perjalanan.

Para penumpang yang sedang berdiri di bawah tampak bimbang. Sebagian memutuskan naik, sebagian lagi tidak. Mereka tampaknya masih trauma. Makanya, mereka kemudian memilih moda transportasi lain ke tempat tujuan.

Oleh karena situasi aman terkendali, saya ikut naik bersama penumpang lain. Saya mengamati situasi di dalam gerbong cukup kacau. Smartphone ada yang beramburan di lantai, entah punya siapa. Lubang menganga tampak di permukaan jendela yang dipecahkan. Kepanikan telah menyebabkan orang-orang bertindak ekstrem!

Tetap Tenang Menghadapi Krisis Investasi Saham

"Krisis" yang saya ceritakan tadi sejatinya tak hanya terjadi pada moda transportasi tertentu, tetapi juga pada investasi saham. Dalam dunia saham, krisis demikian sudah berulang kali berlangsung. Makanya, investor perlu belajar bersikap tenang agar mampu mengatasinya dengan baik. Sebab, kalau terbawa kepanikan, investor bisa melakukan kesalahan, yang akan berujung pada kerugian.

Kalau boleh diumpamakan, saham ibarat sebuah "kereta", dan investor seperti "penumpang" yang naik ke kereta tersebut. Setiap investor tentu punya harapan bisa mendulang "cuan" alias untung dari investasi yang dilakukannya. 

Makanya, mereka sengaja memilih "kereta" (saham) mana saja yang mampu mengantar mereka untuk meraih tujuan tersebut. Kalau sudah menemukan "kereta" yang tepat, barulah mereka beli tiket dan kemudian duduk nyaman sampai tempat tujuan.

Namun, sayangnya, perjalanan "kereta" (saham) tadi ternyata tidak selalu berlangsung mulus. Bisa saja, terjadi beberapa "krisis", seperti yang sempat saya alami sebelumnya. "Krisis" itu dapat menyebabkan perjalanan terganggu dan "penumpang" (investor) menjadi gelisah.

"Krisis" tersebut bisa saja berupa jatuhnya harga saham. Alih-alih naik, harga saham yang telah dibeli justru anjlok sekian persen. Hal ini memang sesuatu yang wajar. Apalagi kalau kita baru membeli sebuah saham, penurunan harga yang sifatnya "sementara" begitu bisa saja terjadi. 

Kalau terjadi demikian, investor perlu bersikap tenang. Sebab, "krisis" tadi hanya sementara. Ia akan berlalu.

Namun, akan lain "cerita"-nya kalau harga saham tadi sudah anjlok cukup dalam, misal lebih dari 20% dari harga beli. Kalau begitu, tentu investor harus mengambil suatu "keputusan darurat" untuk menyelamatkan dana investasinya. Sebab, kalau dibiarkan terus, kerugian yang ditanggung bisa semakin besar, dan belum tentu harga sahamnya akan kembali dalam waktu cepat.

Makanya, investor mesti mematok nilai cut loss manakala saham yang dimiliki terus turun harganya. Saya pribadi punya toleransi cut loss sebesar 10%. Jadi, kalau saham yang saya beli mengalami "krisis" hingga harganya anjlok di bawah 10%, tanpa segan, saya langsung jual saham tadi.

Saya tidak peduli apakah harganya akan berbalik naik setelah saya lepas. Yang penting bagi saya adalah keamanan dana saya.

cut loss dilakukan untuk meminimalkan kerugian dalam investasi saham (sumber: https://www.finansialku.com)
cut loss dilakukan untuk meminimalkan kerugian dalam investasi saham (sumber: https://www.finansialku.com)
Akan tetapi, sebelum melakukan cut loss, saya juga mesti memeriksa penyebab jatuhnya harga saham tadi. Kalau penyebabnya adalah aksi profit taking investor lain, saya masih pegang terus saham tersebut. Sebab, aksi itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi.

Kalau sebelumnya ada banyak investor yang membeli suatu saham, harga saham tadi tentu akan melonjak. Lonjakan itu tidak terjadi terus-menerus. Pada satu titik lonjakan tadi akan sampai puncaknya, dan pada saat itulah, investor mulai merealisasi keuntungannya (profit taking). Makanya, wajar kalau harganya turun.

Namun, beda kasusnya kalau ada berita buruk yang sifatnya "permanen". Kalau sampai terjadi demikian, sebagus apapun saham yang dibeli, sebaiknya investor segera melepasnya. Sebab, harganya hampir dipastikan jatuh, dan susah kembali ke posisi beli semula.

Kasus saham Boeing bisa menjadi contoh. Oleh karena terjadi kecelakaan yang menimpa pesawat Boeing 737 Max 8 milik maskapai Ethiopian Airlines, saham Boeing langsung dilego para investor. Sahamnya pun "tersungkur" hingga lebih dari 5% pada sesi perdagangan di New York Stock Exchange. 

Kabar negatif tadi tampaknya "memberangus" minat investor untuk membeli atau menyimpan sahamnya. Sebab, hampir dipastikan, harga sahamnya akan sulit bangkit pascaperistiwa tersebut. 

Jadi, daripada terus mempertahankan sahamnya, tanpa segan, investor pun segera mengobralnya. Tidak ada gunanya terus memegang saham yang sedang "dihajar" kemelut begitu. 

Makanya, saat suatu saham terdampak "krisis" (anjlok), investor mesti bersikap dengan cermat. Kita mesti memeriksa penyebabnya terlebih dulu sebelum mengambil keputusan. Kita harus membedakan sentimen yang sifatnya "sementara" dan "permanen".

Kalau krisisnya hanya "sementara", pegang kuat-kuat saham tadi, atau bahkan tambah jumlah sahamnya kalau kita bisa. Setelah krisis tadi lewat, harga sahamnya bisa naik dan kita dapat menikmati cuan besar.

Sebaliknya, jika masalahnya bersifat "permanen", seperti yang terjadi pada Boeing, jangan ragu untuk segera menjual saham tadi. Biarpun dijual dalam kondisi rugi, itu masih jauh lebih baik. Bahkan, boleh dibilang kalau itu adalah langkah yang cerdik.

Sebab, kalau terus didiamkan seraya berharap suatu saat harganya akan berbalik naik, kerugian yang mesti ditanggung bisa saja bertambah lebar. Kalau sampai terjadi demikian, alih-alih menaiki "kereta" (saham) tadi dan melanjutkan perjalanan, sebaiknya kita berganti "kereta" (saham) lain, yang dinilai mampu membawa ke tempat tujuan (keuntungan).

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun