Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hikayat Mayat "Menggeliat"

10 November 2018   10:09 Diperbarui: 10 November 2018   10:49 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: www.time.com

Hal-hal "mistis" kadang terjadi dalam situasi darurat. Satu di antaranya ialah ketika Fred meniup peluit dengan kencang hingga suaranya melengking menerobos kesunyian rimba, lalu berjalan tergesa-gesa menembus semak, dan dengan wajah yang pucat, berkata kepada kami semua: "Aku menemukan mayat manusia di balik semak!"

Fred adalah turis mancanegara yang sekaligus ahli biologi yang tengah berlibur sembari menapaki kembali jejak Alfred Wallace di Indonesia. Ia merupakan seorang peserta yang ikut berkunjung ke sebuah hutan konservasi bersama kami.

Awalnya Fred tidak bertingkah macam-macam. Walaupun seorang ekspatriat, ia mudah bergaul dengan peserta tur lain, yang jumlahnya total 8 orang. Semua menerimanya karena perilakunya yang baik, sopan, dan lucu.

Namun, semua sikap Fred berbalik "180 derajat" ketika kami mengalami krisis. Sebab, dalam perjalanan pulang, minibus yang kami tumpangi tiba-tiba mogok di tengah hutan. Situasi bertambah genting saat malam mulai "memeluk" rimba dan dingin "menyergap" udara.

Di hutan yang dihuni banyak binatang buas, kami "sendirian" tanpa koneksi internet dan bala bantuan. Sejak saat itulah, Fred menunjukkan sifat aslinya dan kami mulai menganggapnya gila!

Kegilaan Fred mungkin tidak akan "kumat" kalau perjalanan kami lancar-lancar saja seperti saat perjalanan pergi. Seperti sempat kusinggung, sebelumnya kami mengunjungi sebuah hutan konservasi. Di sana kami semua berkesempatan menyaksikan kehidupan satwa langka dari dekat. 

Setelah selesai berkunjung, pulanglah kami semua ke penginapan. Mayoritas rombongan sudah lelah sehabis menyusuri hutan. Bisa kulihat wajah mereka yang berminyak, mengantuk, dan tersungut-sungut.

Mini bus yang kami naiki pun melaju pelan, melintasi jalanan berbatu dan bergelombang. Namun, baru jalan beberapa kilometer, mini bus tua ini tiba-tiba mogok. Sialnya ia justru berhenti di tepi hutan! Sialnya lagi hari sudah mulai gelap dan perjalanan untuk sampai ke penginapan masih 35 kilometer!

Sebagai pemandu wisata yang bertanggung jawab penuh kepada rombongan, aku pun bertindak cepat. Kupanggil Her, sopir sekaligus pemilik minibus ini.

"Bisa kaubetulkan mini bus ini secepatnya, Her?" Kataku.

Her turun memeriksa kondisi mesin. Tak lama kemudian ia memanggilku.

"Sepertinya tidak bisa, bro," katanya. "Lihatlah."

Her menunjukkan mesin mini bus kepadaku, dan semuanya menyemburkan uap seperti besi panas membara yang dicelup ke dalam air.

"Radiatornya bocor, bro," kata Her lagi, dengan suara mantap seperti seorang dokter yang sudah memastikan jenis penyakit pasiennya.

Sayangnya, "penyakit" yang diidap mini bus tua-butut ini terbilang "kelas berat", susah disembuhkan, kecuali langsung dibawa ke bengkel. Namun, di tengah hutan seperti ini, di mana kami bisa menemukan bengkel?

Segera saja otakku berpikir keras. Kuambil smartphoneku yang baterai dan sinyalnya hampir sekarat ini. Kuhubungi orang-orang di penginapan. Kuminta mereka menjemput kami, dan satu orang bersedia membawa mobil Sedan berkapasitas 4 orang. Kutelepon juga penjaga yang tinggal di pondok. Ia bisa menjemput kami satu per satu naik motor.

Sambil menunggu datangnya bala bantuan, kukumpulkan orang-orang dari dalam mini bus, dan kuberitahukan masalah yang sedang kami hadapi. Sebagian menutup mulut dengan tangannya dengan ekspresi terkejut; sebagian lagi berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya.

"Mobil akan datang dua jam lagi, dan motor perlu waktu setengah jam bolak-balik," kataku, dengan suara yang terdengar seperti kepala basarnas. "Aku ingin wanita dan anak-anak berangkat lebih dulu naik motor ke pondok, sementara lelaki menunggu Sedan, dan baru akan pergi menyusul ke pondok."

Segera saja kutunjuk siapa yang pergi sesuai urutan. Kupilih Anggi sebagai "kloter awal". Ia adalah "mahasiswa kekinian" yang senang main instagram dan bikin blog di Kompasiana.

Oleh karena kakinya terkilir akibat tadi melihat kuskus dari sarangnya, Anggi tentu perlu mendapat pertolongan secepatnya. "Dede-dede gemes", seperti Anggi, memang harus diprioritaskan dalam kondisi genting begini!

Tak lama kemudian, penjaga yang bawa motor tiba di tempat kami. Lalu, berangkatlah Anggi sambil terus menyiarkan kondisi terkini kami lewat instagramnya. Sebelum bayangannya lenyap ditelan kegelapan, aku berdoa semoga ia selamat sampai tujuan. Kutitipkan doaku kepada si penjaga.

"Dede-dede gemes" yang kuberangkatkan berikutnya adalah Kanaya. Ia adik kelasnya Anggi. Di antara semua anggota rombongan, hanya ia yang sering bertindak "ekstrem". Misalnya ia kerap menjerit histeris begitu mendengar suara kresek-kresek dari balik semak.

Sebelum jalan, Anggi sempat berbisik kepadaku bahwa Kanaya punya fobia terhadap tempat gelap. Setiap berada di tempat gelap, ia harus menyalakan senter. Kalau tidak, bisa-bisa ia jatuh pingsan lantaran terus dirongrong fobia.

Kasus Kanaya agak "berat". Namun, masih bisa kukendalikan. Makanya, begitu motor tiba setengah jam kemudian, buru-buru kuberangkatkan ia. Kuharap dalam perjalanan, ia tidak berteriak-teriak di depan liang telinga si penjaga.

Sebab, itu jelas akan mengusik konsentrasi si penjaga sewaktu ia mengemudikan motor. Bisa kaubayangkan betapa ribetnya kalau kau harus memboncengi orang yang menjerit-jerit persis di depan wajahmu.

Dengan memberangkatkan Kanaya, setidaknya aku telah menyelamatkan dua "dede gemes". Biarlah mereka berkumpul kembali di pondok. "Kakak-beradik" yang tadinya sempat berpisah akhirnya bisa bersua lagi.

Namun demikian, putusan yang mesti kuambil berikutnya justru jauh lebih berat. Sebab, aku mesti memilih satu di antara anggota keluarga. Keluarga itu adalah Lukman (40 tahun), Prita (35 tahun), dan Kevin (8 tahun).

Jelas ini adalah pilihan yang sulit bagiku. Bahkan, sempat aku nyaris "adu mulut" atau bahkan "adu jotos" dengan Lukman lantaran Lukman menolak dipisahkan dari anaknya saat aku bersikeras meminta anaknya berangkat berikutnya.

Maklum, Lukman sepertinya tipe orangtua yang posesif. Ia kurang berkenan kalau anaknya jauh dari jangkauannya. Apalagi anaknya, Kevin, mengidap asma. Ia tentu tidak ingin terjadi apa-apa kepada anaknya, terutama dalam situasi yang genting seperti ini.

"Pokoknya, Kevin tetap bersama kami!" kukuhnya.

Aku pun melunak. Dalam kondisi begini, tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang keras kepala begitu. Aku mundur pelan-pelan. Lalu, kudekati Her.

"Her, kau berangkat berikutnya," kataku.

Her, yang wajahnya sudah belopotan dengan minyak, melongo menatapku.

"Mengapa aku? Kau bisa mendahulukan yang lain."

"Aku ingin kau memastikan keselamatan Anggi dan Kanaya di pondok," kataku. "Tidak baik kalau kita meninggalkan mereka tanpa pengawasan. Lagipula, di pondok mungkin saja kau bisa menemukan sukucadang untuk mobil ini."

Her pun menurut. Ia memasukkan semua kunci inggris ke kotak, dan merapikan semua barang di bagasi. Sebelum berangkat, kuberikan smartphoneku kepada Her lantaran smartphonenya rusak.

"Kalau kau sudah tiba, hubungi nomor Prita," kataku.

Sengaja kupilih nomor Prita lantaran selain diriku, smarphone Pritalah yang masih bisa mengakses internet untuk komunikasi.

Kujabat tangan Her yang berminyak.

"Hati-hati di jalan, bro," kataku.

Lelaki tua itu hanya tersenyum kepadaku. Tanpa berkata-kata, ia menatapku seolah ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kini tersisa satu orang lagi yang ingin kuberangkatkan naik motor. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Fred. Kupilih Fred lantaran untuk berjalan normal ia agak susah. Pasalnya ia mesti memakai tongkat. Sepertinya kakinya sudah tidak sanggup menopang bobot tubuhnya sehingga ia perlu menggunakan alat.

Apalagi, "lelaki sepuh" yang kini menginjak usia 78 tahun ini juga tidak punya smartphone. Satu-satunya alat komunikasi yang dimilikinya ialah "ponsel zaman dinosaurus". Jadi, daripada terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, sebaiknya segera kukirim ia ke pondok.

Namun, saat kucari-cari, Fred justru hilang. Lukman kemudian bilang kalau tadi ia izin buang air besar sebentar. Jadi, sambil duduk di pintu mini bus, kutunggu ia.

Tak lama kemudian, Fred muncul dengan heboh. Seperti kuceritakan di awal, berulang kali, ia berkata menemukan mayat manusia.

"Kau harus melihatnya!" Katanya dengan suara gugup. "Ada mayat lelaki di sana!"

Jarinya yang keriput menunjuk semak-semak.

Aku mencoba menenangkan Fred. Dalam situasi darurat, halusinasi kadang merasuki pikiran seseorang, sehingga ia bisa berpikir yang bukan-bukan.

Hal itulah yang mungkin dialami Fred. Duh, kasihan betul lelaki tua ini! Kejadian pahit ini pasti membuatnya kehilangan akal sehat!

"Tenanglah, Fred," kataku. "Tidak ada mayat manusia di sana. Mungkin kau hanya salah lihat."

"Namun, aku benar-benar melihatnya!"

Sempat terjadi perdebatan di antara kami. Namun, perdebatan itu berakhir setelah jemputan motor tiba.

"Sekarang naiklah, Fred," pintaku. "Berangkatlah naik motor. Petugas akan membawamu ke pondok. Kau akan aman di sana."

Sewaktu melihat si petugas yang duduk tenang di atas motornya, Fred tiba-tiba berhenti berkata-kata. Kulihat wajahnya semakin pucat dan jentik-jentik keringat dingin terbit di pori-porinya.

"Aku tidak mau pergi dengannya," katanya dengan suara gemetar.

Aku mencoba meyakinkan Fred. Namun, ia terus saja menolak. Lelaki tua ini sepertinya tak hanya mulai kurang waras, tetapi juga tambah keras kepala! Baiklah. Lagi-lagi aku menggunakan cara asersif; legawa.

"Sepertinya Fred akan tetap bersama kami," kataku kepada si penjaga. "Kembalilah ke pondok, dan nanti kita akan bertemu di sana."

Tanpa berkata-kata, si penjaga mengangguk, menghidupkan motornya, lalu berangkat kembali ke pondok.

Sekitar 15 menit kemudian, Sedan tiba. Oleh karena Fred ogah berangkat naik motor, terpaksa kami berjejalan di dalam mobil. Sesak? Jelas! Pasalnya, mobil dengan kapasitas 4 orang itu harus diisi oleh 6 orang, termasuk sopir! Bah!

Di dalam mobil, kegilaan Fred pelan-pelan "surut". Biarpun mesti bersempit-sempit ria, ia tampak lebih kalem. Mungkin ia lelah sehabis berkoar-koar tadi.

Kuamati juga peserta lainnya. Semuanya tampak pasif, kecuali Prita. Prita yang duduk di kursi depan masih sibuk memainkan smartphonenya. Segera saja aku terpikir sesuatu.

"Prita, apa tadi Her meneleponmu?" Kataku.

"Tidak," katanya. "Tidak ada telepon masuk."

"Bisakah kupinjam ponselmu?" Pintaku. "Aku hanya ingin memastikan kondisi di pondok."

Prita meminjamkan ponselnya, dan segera saja aku menghubungi Her. Namun, hanya terdengar suara "tut-tut-tut" yang panjang di telepon. Sepertinya gangguan sinyal masih menghambat komunikasi kami. Oleh sebab itu, aku hanya bisa berdoa semoga semua baik-baik saja.

Rasa waswasku sedikit berkurang sewaktu kami tiba di pondok. Akhirnya setelah melewati banyak kesulitan di jalan, masalah kami selesai juga. Setelah ini, kami bisa istirahat sejenak, membersihkan diri, menyantap sedikit camilan untuk meredam suara perut yang sejak tadi keroncongan.

Namun, sewaktu kutemui penjaga pondok dan kutanya kabar Anggi, Kanaya dan Her, jawaban yang kuterima seolah menghempas diriku keras-keras! Pasalnya, si penjaga mengaku tidak melihat kehadiran mereka.

Bagaimana bisa? Kataku di dalam batin. Kemudian kujelaskan bahwa tadi ada yang menjemput mereka naik motor. "Seorang lelaki," kataku. "Ia pakai jaket hijau; motornya RX King."

Namun, si penjaga membantahnya. "Tak ada satu pun petugas kami, yang pergi menjemput peserta tadi," katanya. "Kami juga baru tahu kalau mobil Anda mogok dan sempat minta bantuan kami, tapi maaf kami tidak bisa bantu tadi."

Kebingungan menyergap diriku. Kalau kata-katanya benar, siapa yang tadi menjemput Anggi, Kanaya, dan Her naik motor? Lalu, kalau tidak berada di pondok ini, di mana mereka sekarang?

Saat pikiranku terombang-ambing dalam kegalauan, Fred tiba-tiba mendekatiku dan berbisik, "Sebetulnya tadi aku ingin bilang kepadamu kalau wajah si petugas yang datang menjemput naik motor mirip dengan wajah mayat yang kulihat di semak-semak!"

Seketika semua bulu kudukku tegak berdiri.

Salam.
Adica Wirawan, Founder of Gerairasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun