Sebelum jalan, Anggi sempat berbisik kepadaku bahwa Kanaya punya fobia terhadap tempat gelap. Setiap berada di tempat gelap, ia harus menyalakan senter. Kalau tidak, bisa-bisa ia jatuh pingsan lantaran terus dirongrong fobia.
Kasus Kanaya agak "berat". Namun, masih bisa kukendalikan. Makanya, begitu motor tiba setengah jam kemudian, buru-buru kuberangkatkan ia. Kuharap dalam perjalanan, ia tidak berteriak-teriak di depan liang telinga si penjaga.
Sebab, itu jelas akan mengusik konsentrasi si penjaga sewaktu ia mengemudikan motor. Bisa kaubayangkan betapa ribetnya kalau kau harus memboncengi orang yang menjerit-jerit persis di depan wajahmu.
Dengan memberangkatkan Kanaya, setidaknya aku telah menyelamatkan dua "dede gemes". Biarlah mereka berkumpul kembali di pondok. "Kakak-beradik" yang tadinya sempat berpisah akhirnya bisa bersua lagi.
Namun demikian, putusan yang mesti kuambil berikutnya justru jauh lebih berat. Sebab, aku mesti memilih satu di antara anggota keluarga. Keluarga itu adalah Lukman (40 tahun), Prita (35 tahun), dan Kevin (8 tahun).
Jelas ini adalah pilihan yang sulit bagiku. Bahkan, sempat aku nyaris "adu mulut" atau bahkan "adu jotos" dengan Lukman lantaran Lukman menolak dipisahkan dari anaknya saat aku bersikeras meminta anaknya berangkat berikutnya.
Maklum, Lukman sepertinya tipe orangtua yang posesif. Ia kurang berkenan kalau anaknya jauh dari jangkauannya. Apalagi anaknya, Kevin, mengidap asma. Ia tentu tidak ingin terjadi apa-apa kepada anaknya, terutama dalam situasi yang genting seperti ini.
"Pokoknya, Kevin tetap bersama kami!" kukuhnya.
Aku pun melunak. Dalam kondisi begini, tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang keras kepala begitu. Aku mundur pelan-pelan. Lalu, kudekati Her.
"Her, kau berangkat berikutnya," kataku.
Her, yang wajahnya sudah belopotan dengan minyak, melongo menatapku.