Lalu, apakah saya lebih suka bergaul dengan orang yang marahnya terang-terangan? Enggak juga. Justru orang tersebut yang menurut saya bisa menciptakan “luka” yang lebih dalam.
Pernah punya bos yang “doyan” bentak karyawannya di depan orang lain? Pernah punya pacar yang kalau sedang murka tampak seram seperti Hulk? Pernah punya guru yang “getol” memarahi muridnya dengan kata-kata yang tajam hingga “melumpuhkan” motivasi belajar? Semua itu tentu enggak enak rasanya.
Lantas, apa yang mesti saya lakukan ketika saya sendiri atau orang-orang di sekitar saya sedang marah? Jelas itu pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, berdasarkan pengalaman, saya lebih baik menenangkan diri terlebih dulu. Percuma kita balas memarahi orang yang lagi “kesetanan” begitu. Percuma kita meladeni orang yang sedang “buang sampah kemarahan” dari batinnya seperti itu.
Saya teringat sebuah kisah yang sudah dituturkan sejak lama. Barangkali kisah ini bisa memberi sedikit jawaban atas persoalan di atas. Suatu ketika, seorang petapa dari India mendatangi seorang guru dengan penuh kemarahan.
Ia murka setelah mengetahui kalau murid-muridnya menjadi pengikut guru tersebut. Karena sudah “gelap mata”, tanpa pikir panjang, ia langsung mencaci-maki si guru di depan banyak orang.
Jika menjadi si guru, kita tentu merasa dihina, dilecehkan, dan dizalimi. Bahasa sederhananya, kita “dipersekusi” oleh orang tersebut. Sudah sewajarnya dan sepantasnyalah kita membalas perbuatan tersebut.
Namun, yang dilakukan si guru justru sebaliknya. Ia hanya berdiam diri, mendengarkan “ocehan ngalor-ngidul” yang disampaikan oleh si petapa, hingga si petapa diam juga akhirnya karena merasa sudah lega dan lelah sehabis menumpahkan kekesalannya.
Setelah si petapa tampak tenang, barulah si guru “angkat bicara”.
“Petapa, apakah Anda sering menerima tamu di kediaman Anda?”
“Ya, saya sering.”
“Ketika tamu Anda datang, apakah Anda memberi mereka suguhan berupa makanan atau minuman?”