Sudah tiga hari belakangan, pikiran saya terus saja “melekati” sebuah pesan yang pernah saya baca di Facebook. Ibarat olesan lem, pesan itu terus “menempel” kuat di benak saya, sampai-sampai tangan saya terasa “gatal” untuk menuliskannya. Saya memang enggak tahu persis latar belakang munculnya pesan itu. Namun, begitu saya membacanya kata demi kata, kalimat demi kalimat, barulah diketahui kalau pesan itu menyiratkan kemarahan yang "dalam". Anehnya, enggak ada kata-kata kasar. Enggak ada pula sumpah serapah yang tertuang dalam teks, lazimnya orang yang kalap terbakar murka.
Apakah pesan itu sekadar sindiran atau teguran halus? Jelas bukan, sebab di dalamnya tertulis bahwa si penulis pesan merasa adanya perubahan sikap suaminya beberapa bulan belakangan. Menurutnya, sikap suaminya menjadi lebih dingin dan kerap menampilkan perilaku yang uring-uringan.
Lebih lanjut, ia menyimpan dugaan bahwa suaminya telah berselingkuh dengan salah seorang rekan wanita di kantornya! Entah karena suatu sebab, ia enggak bisa ngobrol langsung dengan wanita yang disebutnya sebagai “Pengganggu Rumah Tangga Orang” itu. Makanya, ia kemudian menyampaikan perasaannya kepada kakaknya si wanita lewat akun Facebook-nya.
Alih-alih langsung “menumpahkan” semua kekesalannya, si penulis pesan justru mengungkapkan emosinya dengan bahasa yang halus, seperti sudah disinggung di atas. Bahkan, saking halusnya, pada akhir pesannya, ia bahkan sampai mendoakan kebaikan bagi wanita tersebut dan keluarganya.
Saya enggak mengetahui kelanjutan perkara tersebut. Namun, yang unik, baru kali ini, saya melihat sebuah kemarahan yang diungkapkan dengan bahasa yang sedemikian santun!
Apakah si penulis pesan enggan melancarkan “serangan” verbal secara langsung? Bisa saja. Namun, bagi saya, apa yang dilakukan oleh si penulis pesan sungguh bijaksana. Ia tampaknya sadar betul kalau “membombardir” seseorang dengan caci-maki itu hanya akan memperkeruh suasana.
Alih-alih muncul solusi terbaik, hal itu justru akan menutup rapat-rapat peluang untuk berdamai. Jika sudah terjadi demikian, kedua pihak harus bersiap menghadapi serangkaian “pertempuran” yang melelahkan!
Menurut saya, sikap yang diperlihatkan oleh si penulis pesan bisa disebut sebagai “marah dalam diam”. Sikap demikian biasanya ditunjukkan oleh mereka-mereka yang berkepribadian tertutup alias introvert. Bagi mereka, mengungkapkan kemarahan di depan umum itu perilaku yang konyol, bikin malu, dan kekanakan.
Makanya, sewaktu akan menunjukkan amarahnya, mereka cenderung berdiam diri, mencoba menahan emosi yang meletup-letup hebat di hatinya. Kalau sudah bersikap demikian, mereka akan menjadi lebih diam, cuek, dan tak acuh terhadap semua tegur sapa orang di sekitarnya. Bahkan, kalau sudah sedemikian sewotnya, kata-kata yang keluar dari bibir mereka maknanya sangat tajam menghujam hati!
Jujur saja, sewaktu berhadapan dengan orang demikian, saya takut. Kalau sudah marah, keinginan mereka susah ditebak. Enggak ada ekspresi wajah yang bisa dibaca. Enggak ada juga kata-kata yang bisa “ditangkap” untuk memahami apa yang mereka rasakan.
Hal itu justru akan memperumit masalah yang ada. Ujung-ujungnya konflik yang terjadi akan berlangsung lama, seperti “perang dingin”. Bukankah enggak enak rasanya kalau kita tinggal serumah dengan orang yang enggan saling sapa? Bukankah kurang nyaman rasanya kalau kita bekerja seruangan dengan orang yang sering jutek enggak jelas? Tentu saja!
Lalu, apakah saya lebih suka bergaul dengan orang yang marahnya terang-terangan? Enggak juga. Justru orang tersebut yang menurut saya bisa menciptakan “luka” yang lebih dalam.
Pernah punya bos yang “doyan” bentak karyawannya di depan orang lain? Pernah punya pacar yang kalau sedang murka tampak seram seperti Hulk? Pernah punya guru yang “getol” memarahi muridnya dengan kata-kata yang tajam hingga “melumpuhkan” motivasi belajar? Semua itu tentu enggak enak rasanya.
Lantas, apa yang mesti saya lakukan ketika saya sendiri atau orang-orang di sekitar saya sedang marah? Jelas itu pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, berdasarkan pengalaman, saya lebih baik menenangkan diri terlebih dulu. Percuma kita balas memarahi orang yang lagi “kesetanan” begitu. Percuma kita meladeni orang yang sedang “buang sampah kemarahan” dari batinnya seperti itu.
Saya teringat sebuah kisah yang sudah dituturkan sejak lama. Barangkali kisah ini bisa memberi sedikit jawaban atas persoalan di atas. Suatu ketika, seorang petapa dari India mendatangi seorang guru dengan penuh kemarahan.
Ia murka setelah mengetahui kalau murid-muridnya menjadi pengikut guru tersebut. Karena sudah “gelap mata”, tanpa pikir panjang, ia langsung mencaci-maki si guru di depan banyak orang.
Jika menjadi si guru, kita tentu merasa dihina, dilecehkan, dan dizalimi. Bahasa sederhananya, kita “dipersekusi” oleh orang tersebut. Sudah sewajarnya dan sepantasnyalah kita membalas perbuatan tersebut.
Namun, yang dilakukan si guru justru sebaliknya. Ia hanya berdiam diri, mendengarkan “ocehan ngalor-ngidul” yang disampaikan oleh si petapa, hingga si petapa diam juga akhirnya karena merasa sudah lega dan lelah sehabis menumpahkan kekesalannya.
Setelah si petapa tampak tenang, barulah si guru “angkat bicara”.
“Petapa, apakah Anda sering menerima tamu di kediaman Anda?”
“Ya, saya sering.”
“Ketika tamu Anda datang, apakah Anda memberi mereka suguhan berupa makanan atau minuman?”
“Ya, saya memberinya.”
“Kemudian, kalau mereka enggan menyantap hidangan itu, apa yang akan Anda lakukan?”
“Saya akan menyimpannya lagi.”
“Demikianlah petapa! Sebagaimana seorang tuan rumah yang menyediakan santapan untuk tamunya, Anda tadi memberi saya caci-maki. Namun, saya enggan menerimanya sedikit pun! Jadi, simpanlah kembali semua caci-maki itu untuk diri Anda sendiri, petapa!”
Makjleb!
Walaupun cerita di atas menjelaskan cara untuk mengatasi kemarahan diri sendiri dan kemarahan orang lain secara lebih elegan, dalam praktiknya, cara tersebut jelas bukan hal yang gampang dilakukan.
Apalagi, kalau kita terbiasa mengungkapkan kemarahan secara blak-blakan, butuh latihan yang jauh lebih lama dan lebih panjang.
Namun demikian, coretan di pintu belakang sebuah truk yang pernah saya baca barangkali bisa menjadi bahan renuangan: “Kendalikan amarahmu, sebelum amarahmu mengendalikanmu!”
Salam.
Adica Wirawan, founder Gerairasa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H