Hal itu tentunya menyebabkan banyak sekali dampak negatif bagi negara yang bersangkutan, seperti pembunuhan massal, bencana kelaparan, dan perbudakan. Oleh sebab itu, setelah melihat buruknya akibat yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian, banyak negara menetapkan perundangan terkait dengan hal itu.
Peraturan Hukum Terkait Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Di Indonesia sendiri, peraturan tentang ujaran kebencian sudah tercantum dalam KUHP. Pada Nomor 2 huruf (f) SE, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (1) Penghinaan, (2) Pencemaran nama baik, (3) Penistaan, (4) Perbuatan tidak menyenangkan, (5) Memprovokasi, (6) Menghasut, dan (7) Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.
Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: (1) Suku, (2) Agama, (3) Aliran keagamaan, (4) Keyakinan atau kepercayaan, (5) Ras, (6) Antargolongan, (7) Warna kulit, (8) Etnis, (9) Gender, (10) Kaum difabel, dan (11) Orientasi seksual.
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: (1) Dalam orasi kegiatan kampanye, (2) Spanduk atau banner, (3) Jejaring media sosial, (4) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), (5) Ceramah keagamaan, (6) Media massa cetak atau elektronik, dan (7) Pamflet.
Menyikapi Beredarnya Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Kemudian, bagaimana kita menyikapi munculnya ujaran kebencian? Barangkali kisah berikut dapat memberi sebuah solusi. Suatu ketika, ada seorang tokoh masyarakat yang mendatangi seorang guru dalam kondisi marah.
Kemarahan itu muncul setelah ia termakan desas-desus yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya bahwa si guru telah melakukan pemukulan terhadap orang lain. Padahal, hal itu tidaklah betul-betul terjadi.
Namun, karena sudah terlanjur memercayainya, ia menjadi murka. Ia langsung menegur, mencela, dan bahkan mencaci-maki si guru. Namun, alih-alih membalas, Si Guru tetap duduk tenang di kursi.
Setelah si tokoh masyarakat selesai, barulah si guru bersuara, “Tuan yang terhormat, apakah engkau sering menerima tamu di rumahmu?”
“Ya, aku sering mendapat tamu,” katanya.
“Kemudian, apakah engkau memberi mereka makanan sewaktu datang?”
“Ya, tentu saja.”