Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Trik Bijak Menyikapi Ujaran Kebencian

8 November 2016   07:13 Diperbarui: 13 Agustus 2020   07:25 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tahun 1980, John Ross Taylor harus masuk penjara di Ontario karena ia didakwa telah menyampaikan ujaran kebencian ke masyarakat. 

Uniknya, ia tak menyuarakan propagandanya lewat orasi di depan publik. Tak juga melalui media sosial, seperti yang marak terlihat belakangan ini. Tak pula menggunakan spanduk atau poster yang bertuliskan kritik tajam. Namun, lewat sambungan telepon.

Ya, Taylor menyampaikan orasi rasialnya lewat telepon. Ia memanfaatkan celah hukum Kanada, yang waktu itu belum menyebut telepon sebagai sarana untuk mengungkapkan ujaran kebencian.

Namun, namanya juga perbuatan kurang pantas. Suatu saat pasti ada ganjarannya. Tindakannya kemudian terendus oleh pihak keamanan, dan ia pun ditahan atas dakwaan telah menyebarkan kebencian di masyarakat.

Kasus Taylor ternyata berbuntut panjang. Walaupun ia sudah dijatuhi hukuman penjara sekian tahun, setelah sidang, tersiar polemik yang mempertanyakan apakah itu telah melanggar hak kebebasan berpendapat seseorang? Bukankah selama ini negara menjamin kebebasan beropini setiap warganya?

Kebebasan berpendapat memang dilindungi dalam Konstitusi Kanada. Bahkan, dalam Piagam Kanada, tercantum bahwa setiap warga negara bebas menyatakan pendapatnya. Namun demikian, di dalam piagam itu, terdapat pula kalimat yang menjelaskan bahwa hal itu haruslah sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, setiap warga negara berhak menyatakan opininya, tetapi sebatas tidak melanggar koridor hukum. Jadi, kebebasan masyarakat tidaklah betul-betul mutlak dalam menyampaikan pendapat.

Seputar Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Lantas, apakah yang dimaksud ujaran kebencian alias 'hate speech' itu? Apa sajakah kriterianya? Media apa sajakah yang biasanya menjadi sarana untuk mengungkapkan ujaran kebencian? Dan, yang terpenting, bagaimana kita menyikapi soal ujaran kebencian itu?

Sebagaimana dikutip dari situs www.indiatimes.com, ujaran kebencian adalah istilah yang digunakan untuk upaya menyampaikan berbagai wacana negatif terkait dengan kebencian pembicara atau prasangka terhadap kelompok tertentu di masyarakat.

Penyampaian ujaran kebencian bertujuan merendahkan, mengintimidasi, dan menghasut timbulnya kekerasan terhadap agama, ras, jenis kelamin, etnis, kebangsaan, orientasi seksual, kecacatan, pandangan politik, dan kelas sosial tertentu.

Ujaran kebencian sebetulnya memiliki sejarah yang panjang. Sejarah mencatat bahwa ujaran kebencian yang disampaikan oleh para pemimpin negara yang tengah bertikai pada Perang Dunia telah menyebabkan timbulnya perang dahsyat.

Hal itu tentunya menyebabkan banyak sekali dampak negatif bagi negara yang bersangkutan, seperti pembunuhan massal, bencana kelaparan, dan perbudakan. Oleh sebab itu, setelah melihat buruknya akibat yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian, banyak negara menetapkan perundangan terkait dengan hal itu.

Peraturan Hukum Terkait Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Di Indonesia sendiri, peraturan tentang ujaran kebencian sudah tercantum dalam KUHP. Pada Nomor 2 huruf (f) SE, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: (1) Penghinaan, (2) Pencemaran nama baik, (3) Penistaan, (4) Perbuatan tidak menyenangkan, (5) Memprovokasi, (6) Menghasut, dan (7) Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.

Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: (1) Suku, (2) Agama, (3) Aliran keagamaan, (4) Keyakinan atau kepercayaan, (5) Ras, (6) Antargolongan, (7) Warna kulit, (8) Etnis, (9) Gender, (10) Kaum difabel, dan (11) Orientasi seksual.

Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: (1) Dalam orasi kegiatan kampanye, (2) Spanduk atau banner, (3) Jejaring media sosial, (4) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), (5) Ceramah keagamaan, (6) Media massa cetak atau elektronik, dan (7) Pamflet.

Menyikapi Beredarnya Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Kemudian, bagaimana kita menyikapi munculnya ujaran kebencian? Barangkali kisah berikut dapat memberi sebuah solusi. Suatu ketika, ada seorang tokoh masyarakat yang mendatangi seorang guru dalam kondisi marah.

Kemarahan itu muncul setelah ia termakan desas-desus yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya bahwa si guru telah melakukan pemukulan terhadap orang lain. Padahal, hal itu tidaklah betul-betul terjadi.

Namun, karena sudah terlanjur memercayainya, ia menjadi murka. Ia langsung menegur, mencela, dan bahkan mencaci-maki si guru. Namun, alih-alih membalas, Si Guru tetap duduk tenang di kursi.

Setelah si tokoh masyarakat selesai, barulah si guru bersuara, “Tuan yang terhormat, apakah engkau sering menerima tamu di rumahmu?”

“Ya, aku sering mendapat tamu,” katanya.

“Kemudian, apakah engkau memberi mereka makanan sewaktu datang?”

“Ya, tentu saja.”

“Namun, kalau mereka tak mau memakannya, makanan itu menjadi milik siapa?”

“Makanan itu menjadi milikku.”

“Demikian pula, tuan yang terhormat, sewaktu engkau tadi memberiku tuduhan yang tidak berdasar, aku tidak mau menerimanya. Jadi, kata-kata kasar yang kau sampaikan tadi adalah milikmu. Silakan kau ambil kembali karena kata-kata itu adalah milikmu.”

Jadi, sewaktu seseorang menyampaikan suatu ujaran kebencian, dan kita tak mau menerimanya karena itu tak sesuai fakta, kata-kata itu menjadi milik orang yang bersangkutan.

Salam.

Referensi:

  • Bermacam Hal yang Perlu Diketahui soal Edaran Kapolri tentang "Hate Speech"”, www.kompas.com, diakses pada tanggal 7 November 2016.
  • Learning with the times — In India, there is no law that defines hate speech”, www.indiatimes.com, diakses pada tanggal 7 November 2016.
  • When is it hate speech?: 7 significant Canadian cases”, www.cbc.ca,diakses pada tanggal 7 November 2016.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun