Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Balada Pemanah Sembilan Matahari dan Dewi Bulan

18 September 2016   19:53 Diperbarui: 18 September 2016   20:21 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hou Yi, apakah kamu merindukan Chang’e di bulan?

Dengan gagah berani, dulu kamu memanah sembilan matahari,

mengakhiri musim-musim yang penuh kecemasan,

memadamkan kebakaran yang memberangus hutan-hutan

seperti di pedalaman Sumatera dan Kalimantan.

Anak-anak pun dapat bersekolah seperti sedia kala

tanpa takut lagi terkena ISPA, atau Virus Zika.

Sementara, di hulu, mata air yang dulunya kering

seperti air matamu kini mengalirkan keberkahan

ke tenggorokan lembu-lembu yang kehausan.

“Hidup Hou Yi! Hidup Hou Yi!”

Seantero rakyat negeri Zhong Hua menggemakan namamu.

Tarian barongsai yang disertai tabuhan genderang

menyambut kepulanganmu ke kampung halaman.

Hou Yi, kamu pantas menjadi seorang pahlawan!

Seorang petapa suci menghampirimu, Hou Yi.

“Tuan yang baik, tuan yang baik,

“kamu sudah menyelamatkan banyak kehidupan.

“Kamu telah mengembuskan kedamaian ke perkampungan.

“Maka, terimalah sebotol air suci keabadian.”

Namun, dengan lembut, Hou Yi, kamu menolaknya!

“Mengapakah Tuan? Bukankah keabadian adalah dambaan semua insan?

Bukankah kita ingin terbebas dari cengkeraman Dewa Kematian?”

“Wahai guru yang bijaksana,” katamu dengan suara penuh wibawa,

“untuk apa aku hidup abadi seorang diri tanpa Chang’e di sisi?”

“Biarlah Chang’e yang menyimpan air abadi ini

sebagai bukti cinta dari suami kepada istrinya.”

Namun, air itu kemudian mengundang malapetaka

lantaran para bandit berusaha merebutnya.

Hou Yi pun mendapat firasat buruk dalam semedinya.

Pada suatu malam yang bersih dari awan,

seratus bandit tiba-tiba menyerbu rumahmu, Hou Yi!

Ribuan anak panah berapi menghujani atap rumah.

Kobaran api pun menyala terang seperti mawar merah.

Kamu sudah terkepung dalam nyala api, Hou Yi!

Dewa Kematian mulai menampakkan taringnya.

Kamu memeluk Chang’e yang menggigil ketakutan.

Rona wajahnya tampak redup ibarat lilin diembusi angin.

“Chang’e, reguklah air abadi itu” katamu dengan lirih.

“Kekallah seperti sekuntum Edelweiss yang putih jernih.”

“Kakak, bagaimana aku bisa meninggalkanmu sendiri?

"Bukankah dahulu di depan altar leluhur, kita telah mengikat janji

"akan terus setia bersama sebagai sepasang suami-istri?”

Chang’e memeluk erat-erat tanganmu yang kekar, Hou Yi.

Seperti Sungai Yang Tze, kristal-kristal air matanya menuruni pipi.

“Chang’e, adikku sayang, aku akan terus menyayangimu.

“Mohon minumlah air abadi ini demi keselamatanmu.

“Bawalah semua doaku bersamamu sebagai isyarat rindu.”

Kamu menatap lekat-lekat mata Chang’e yang sendu.

Ibarat benteng, kata-kata itu meneguhkan keyakinannya.

Chang’e kemudian mereguk habis air abadi itu.

Tubuhnya tiba-tiba memancarkan cahaya serupa aurora.

Kobaran api menjadi padam terhalau sinar terang.

Atap rumah terbelah dan Chang’e melayang di udara.

Para bandit diam terpana melihat peristiwa ajaib itu.

“Selamat tinggal, kakak, jalinan jodoh yang kita ikat

“dalam banyak kehidupan berakhir sampai di sini.

“Mulai sekarang kamu akan melupakan wajahku,

“dan aku pun akan belajar melupakan wajahmu.”

Chang’e pun akhirnya terbang ke bulan selamanya.

Kue Bulan Adalah Makanan Khas yang Disantap pada Festival Kue Bulan yang Jatuh pada Bulan September/ dokumentasi pribadi
Kue Bulan Adalah Makanan Khas yang Disantap pada Festival Kue Bulan yang Jatuh pada Bulan September/ dokumentasi pribadi
Catatan: balada di atas terinspirasi dari mitologi Dewi Bulan dari Negeri Tiongkok. Mitologi tersebut menjadi cikal-bakal Festival Kue Bulan (Tung Ciu Pia), yang dirayakan setiap tanggal 15 bulan delapan (September) dalam kalender lunar. Festival Kue Bulan kini tak hanya dirayakan di Tiongkok, tetapi juga di berbagai negara lainnya, termasuk Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun