Hou Yi, apakah kamu merindukan Chang’e di bulan?
Dengan gagah berani, dulu kamu memanah sembilan matahari,
mengakhiri musim-musim yang penuh kecemasan,
memadamkan kebakaran yang memberangus hutan-hutan
seperti di pedalaman Sumatera dan Kalimantan.
Anak-anak pun dapat bersekolah seperti sedia kala
tanpa takut lagi terkena ISPA, atau Virus Zika.
Sementara, di hulu, mata air yang dulunya kering
seperti air matamu kini mengalirkan keberkahan
ke tenggorokan lembu-lembu yang kehausan.
“Hidup Hou Yi! Hidup Hou Yi!”
Seantero rakyat negeri Zhong Hua menggemakan namamu.
Tarian barongsai yang disertai tabuhan genderang
menyambut kepulanganmu ke kampung halaman.
Hou Yi, kamu pantas menjadi seorang pahlawan!
Seorang petapa suci menghampirimu, Hou Yi.
“Tuan yang baik, tuan yang baik,
“kamu sudah menyelamatkan banyak kehidupan.
“Kamu telah mengembuskan kedamaian ke perkampungan.
“Maka, terimalah sebotol air suci keabadian.”
Namun, dengan lembut, Hou Yi, kamu menolaknya!
“Mengapakah Tuan? Bukankah keabadian adalah dambaan semua insan?
Bukankah kita ingin terbebas dari cengkeraman Dewa Kematian?”
“Wahai guru yang bijaksana,” katamu dengan suara penuh wibawa,
“untuk apa aku hidup abadi seorang diri tanpa Chang’e di sisi?”
“Biarlah Chang’e yang menyimpan air abadi ini
sebagai bukti cinta dari suami kepada istrinya.”
Namun, air itu kemudian mengundang malapetaka
lantaran para bandit berusaha merebutnya.
Hou Yi pun mendapat firasat buruk dalam semedinya.
Pada suatu malam yang bersih dari awan,
seratus bandit tiba-tiba menyerbu rumahmu, Hou Yi!
Ribuan anak panah berapi menghujani atap rumah.
Kobaran api pun menyala terang seperti mawar merah.
Kamu sudah terkepung dalam nyala api, Hou Yi!
Dewa Kematian mulai menampakkan taringnya.
Kamu memeluk Chang’e yang menggigil ketakutan.
Rona wajahnya tampak redup ibarat lilin diembusi angin.
“Chang’e, reguklah air abadi itu” katamu dengan lirih.
“Kekallah seperti sekuntum Edelweiss yang putih jernih.”
“Kakak, bagaimana aku bisa meninggalkanmu sendiri?
"Bukankah dahulu di depan altar leluhur, kita telah mengikat janji
"akan terus setia bersama sebagai sepasang suami-istri?”
Chang’e memeluk erat-erat tanganmu yang kekar, Hou Yi.
Seperti Sungai Yang Tze, kristal-kristal air matanya menuruni pipi.
“Chang’e, adikku sayang, aku akan terus menyayangimu.
“Mohon minumlah air abadi ini demi keselamatanmu.
“Bawalah semua doaku bersamamu sebagai isyarat rindu.”
Kamu menatap lekat-lekat mata Chang’e yang sendu.
Ibarat benteng, kata-kata itu meneguhkan keyakinannya.
Chang’e kemudian mereguk habis air abadi itu.
Tubuhnya tiba-tiba memancarkan cahaya serupa aurora.
Kobaran api menjadi padam terhalau sinar terang.
Atap rumah terbelah dan Chang’e melayang di udara.
Para bandit diam terpana melihat peristiwa ajaib itu.
“Selamat tinggal, kakak, jalinan jodoh yang kita ikat
“dalam banyak kehidupan berakhir sampai di sini.
“Mulai sekarang kamu akan melupakan wajahku,
“dan aku pun akan belajar melupakan wajahmu.”
Chang’e pun akhirnya terbang ke bulan selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H