Kelompok tersebut terbentuk secara alamiah. Kelompok itu seolah mempunyai daya magnet untuk menarik orang-orang yang mempunyai karakteristik yang mirip.
Untuk mengatasi konflik tersebut, kita tentunya perlu melakukan pembauran kelompok. Kita membentuk kelompok secara acak, dan hal itu sudah sering saya lakukan sewaktu mengajar di kelas.
Awalnya interaksi antarsiswa berjalan dengan lambat. Namun, pada beberapa kelompok, interaksi tersebut mulai meningkat seiring proses pembauran di kelas.
Pengajaran Empati
Supaya pembauran tersebut berhasil, guru perlu mengajarkan keterampilan berempati. Empati adalah kemampuan seseorang dalam melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang lain. Dengan berempati, kita dapat memahami perasaan orang lain, sehingga hal itu akan memunculkan sikap tenggang rasa.
Langkah pertama untuk memunculkan perasaan empati adalah kesadaran diri. Dalam buku Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman menyebut kesadaran diri pada urutan pertama. Hal itu berarti bahwa kesadaran diri adalah pintu utama yang membuka kecakapan emosi lainnya, seperti tanggung jawab dan penyelesaian konflik secara bijaksana.
Seseorang yang mempunyai kesadaran diri mampu memonitor perasaannya dari waktu ke waktu. Ia memiliki kepekaan yang tinggi terhadap suasana hatinya. Saat merasa jengkel, ia mengetahui bahwa kejengkelan muncul dalam batinnya.
Namun, ia tidak larut dalam perasaan jengkel tersebut lantaran ia mampu melepas perasaan negatif itu dengan tepat. Ia dapat mengekspresikan perasaan tersebut tanpa menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Hal itu berlaku pula untuk perasaan-perasaan lainnya, seperti sedih dan stres, yang sering dialami anak di sekolah.
Ada banyak cara untuk menumbuhkan kesadaran diri dalam batin. Salah satu yang biasa saya gunakan adalah Respon Relaksasi. Respon Relaksasi adalah sebuah teknik yang diperkenalkan oleh Herbert Benson, seorang dokter yang berasal dari Harvard University. Respon Relaksasi sebetulnya teknik yang menggabungkan sugesti dan pernapasan.