Aku baru saja selesai membuang puntung rokok ke genangan air di depan halte bus kosong ketika pria tua itu muncul. Jasnya kebesaran, seperti milik seseorang yang sudah lama mati, dan tangannya menggenggam sebuah kotak kue kecil. Krim di atasnya terlihat mulai mencair, meninggalkan noda lengket di tepi karton.
"Hei, kamu," katanya, tanpa pendahuluan. "Mau jadi kurir Tuhan?"
Aku memandangnya, mencoba memastikan apakah dia serius. Bukan karena aku keberatan dipanggil begitu---aku sering dianggap orang aneh---tapi karena jarang ada orang yang mendekatiku dengan pertanyaan seperti itu.
"Maksudmu Tuhan?" tanyaku, memancing penjelasan. "Tuhan yang mana?"
"Tuhan yang lapar," jawabnya datar, seolah-olah itu sudah jelas. Ia mengangkat kotak kue itu sedikit, seperti seorang pelayan yang sedang memamerkan menu spesial hari ini. "Dia suka kue. Dan aku butuh seseorang untuk memberikannya ke Dia."
Aku tidak langsung menjawab. Pertama, karena aku ragu pria ini waras. Kedua, karena aku juga ragu pada kewarasanku sendiri, sebab alih-alih menertawakannya dan berjalan pergi, aku malah bertanya, "Kenapa aku?"
Dia mengangkat bahu. "Karena kamu di sini."
Tidak ada argumen yang bisa kubantah dari situasi ini. Aku memandang sekeliling, mencari orang lain yang mungkin lebih layak ditawari pekerjaan absurd ini, tapi halte bus kosong.
"Apa aku dibayar?" tanyaku akhirnya.
"Tidak."
"Tentu saja," gumamku sambil mendengus. Tapi sesuatu dalam caranya menatapku---mata yang keruh, tapi anehnya penuh keyakinan---membuatku ragu untuk langsung menolaknya.