UN memberikan standar yang memungkinkan kita mengetahui posisi siswa dan seberapa jauh mereka telah melangkah.
Standar ini bukanlah cara untuk menyamaratakan siswa, melainkan alat yang membantu kita menilai apakah semua anak---baik di kota besar maupun desa kecil---mendapat akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas.
Pendukung UN percaya bahwa tanpa tolok ukur seperti UN, pendidikan akan kehilangan arah. UN memungkinkan kita memahami di mana posisi siswa secara objektif.
Standar yang diterapkan dalam UN sebenarnya adalah upaya untuk menjaga keadilan pendidikan, memastikan setiap siswa memperoleh hak yang sama dalam menimba ilmu.
Dengan adanya standar ini, kita dapat lebih objektif menilai keberhasilan pendidikan, baik di tingkat siswa, sekolah, maupun nasional.
Namun, Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR, mengingatkan bahwa fungsi UN harus dilihat lebih dalam.
Menurutnya, UN bisa berfungsi sebagai data evaluatif untuk memetakan kondisi pendidikan secara nasional, bukan sekadar menjadi penentu kelulusan. "UN seharusnya menjadi sumber informasi pendidikan, bukan sebagai patokan lulus atau tidak," ujarnya.
Demokrasi dalam Pendidikan: UN Sebagai Penghubung
Dalam konteks demokrasi, UN berperan sebagai penyamarataan kesempatan bagi siswa di seluruh Indonesia. Dari sekolah terpencil di pedalaman hingga sekolah favorit di kota besar, semua siswa menghadapi ujian yang sama.
UN adalah pengalaman kolektif yang mempertemukan jutaan siswa dari berbagai latar belakang dan budaya dalam satu ruang evaluasi. Mereka duduk bersama, menjawab soal yang sama, dengan persiapan yang berbeda, namun tujuan yang serupa: kelulusan.
UN adalah bentuk dari demokrasi dalam pendidikan. Setiap anak, dari latar belakang ekonomi apa pun, punya kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam ujian ini.
Hari-hari UN adalah hari yang penuh harapan, ketegangan, dan kekuatan emosional bagi siswa di seluruh negeri. Ketegangan ini mengajarkan mereka disiplin dan tanggung jawab, kualitas yang kelak mereka butuhkan di dunia nyata.