Membaca itu mudah, kata mereka, cukup buka buku, serap kata-katanya, dan selesai. Tapi kita tahu itu tidak selalu benar.
Membaca buku, aktivitas yang dulu dianggap sepele, kini terasa seperti mendaki gunung Himalaya. Di era ketika segala sesuatu bisa dijangkau dalam sekejap, kata-kata dalam buku tampaknya kehilangan cengkeraman.
Mata masih menyapu halaman, tetapi pikiran entah terbang kemana. Seperti janji yang terlupakan.
Apakah kita sudah terlalu tua untuk membaca buku, atau kita hanya tertelan oleh kebiasaan baru yang datang dengan harga mahal: konsentrasi yang tak bertahan lama?
Mari kita hadapi ini secara blak-blakan. Fenomena kehilangan fokus ini bukan hanya persoalan teknis membaca, tapi juga soal eksistensi, soal harga diri.
Ketidakmampuan kita untuk tetap berada dalam buku mungkin adalah pertanyaan besar zaman ini---apa yang telah kita tukarkan demi kecepatan informasi? Dan yang lebih penting, bisakah kita mendapatkannya kembali?
Fenomena Zoning Out: Sandiwara Fokus dan Realitas yang Lain
Kita bisa menyebutnya "zoning out" atau pikiran mengembara. Anda membaca satu halaman, dan mendadak otak memutuskan untuk berlibur.
Tiba-tiba Anda memikirkan tagihan listrik, atau bertanya-tanya mengapa Anda tidak membeli sepatu baru bulan lalu. Mata masih tertuju pada halaman buku, tetapi pikiran sudah berada jauh di tempat lain.
Ada suara kecil yang berkata, "Ayo, kembali ke buku," tetapi suara itu tertahan. Lebih mudah menyerah dan membuka media sosial, mencari hiburan cepat yang memuaskan tanpa tuntutan untuk berpikir.
Tentu saja, fenomena ini bukanlah hal baru. Di dunia medis, ada sebuah istilah yang disebut hyper-intention, dijelaskan oleh Viktor Frankl dalam Man's Search for Meaning.